Konsumsi Protein Hewani Efektif Mencegah Stunting Sejak Dini
Mengonsumsi protein hewani terbukti dapat menurunkan prevalensi stunting
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Indonesia saat ini masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan gizi. Permasalahan gizi tersebut meliputi kekurangan gizi yang dapat menyebabkan stunting dan gizi berlebih yang dapat menyebabkan obesitas. Keduanya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Di Indonesia, berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi stunting sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam RPJMN 2020-2024, yakni 14%.
“Tidak mudah untuk mengatasinya tapi saya percaya jika kita bekerja keras seperti saat pandemi Covid-19, ini bisa dilakukan,” kata Presiden Jokowi saat membuka Rakornas Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia.
Stunting memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka panjang, stunting memengaruhi perkembangan otak dan kemampuan kognitif. Pada akhirnya ini berpengaruh pada kualitas SDM.
Melalui momen Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap 25 Januari, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaksanakan seminar media yang mengangkat tema “Peranan Protein Hewani dalam Mencegah Stunting di Indonesia”.
Narasumber seminar tersebut adalah dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), ketua pengurus pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Prof. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, PhD, SpA(K).
Rangkuman informasi tentang stunting dan peranan protein hewani dalam mencegah stuntin bisa disimak pada ulasan Popmama.com berikut ini, ya, Ma.
Apa Itu Stunting?
Definisi stunting menurut WHO tahun 2020 adalah balita berperawakan pendek (stunted) dengan tinggi atau panjang badan di bawah 2 standar deviasi grafik pertumbuhan WHO. Perawakan pendek ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronik atau berulang.
Namun perlu diperhatikan, tidak semua anak yang bertubuh pendek itu dikatakan stunting. Bisa jadi tubuh pendek itu disebabkan karena faktor keturunan.
Penting untuk diingat, yang membuat diagnosis apakah bayi atau balita itu stunting adalah dokter spesialis anak, ya, Ma.
Penyebab Kekurangan Gizi Kronik atau Berulang
Dalam penjelasannya, Prof. Sjarif juga menyebutkan beberapa penyebab bayi atau balita mengalami kekurangan gizi kronik. Menurut WHO, ada 2 faktor, yaitu asupan gizi tidak adekuat dan kebutuhan gizi meningkat.
Asupan gizi tidak adekuat atau tidak memadai bisa disebabkan oleh faktor kemiskinan, penelantaran, dan ketidaktahuan orangtua.
Sedangkan kebutuhan gizi bayi atau balita meningkat karena penyakit tertentu, misalnya:
- Penyakit yang berhubungan dengan kebersihan, diare berulang karena kebersihan yang buruk di rumah,
- Penyakit infeksi yang disebabkan oleh imunisasi yang bisa dicegah,
- Berat badan lahir rendah, prematur, serta kelainan metabolisme bawaan.
Apa Dampak Stunting dan Kekurangan Gizi Kronik pada Sumber Daya Manusia?
“Dalam jangka pendek, efek stunting belum terlalu jelas. Namun itu baru akan terasa si Anak memasuki dunia sekolah. Misalnya ia akan mengalami kesulitan dalam bahasa, matematika, atau mengikuti pelajaran,” kata Prof. Sjarif.
Stunting dan kekurangan gizi menyebabkan perkembangan otak terganggu sehingga memengaruhi kemampuan kognitif anak kelak.
Jika stunting dan kekurangan gizi ini tidak ditangani dengan cepat, kemungkinan anak hanya mencapai 65% IQ normal, yaitu kurang dari 90. Artinya, ia hanya bisa bersekolah maksimal sampai bangku SMP aja.
Dalam jangka panjang, tambah Prof. Sjarif lagi, IQ akan turun sekitar 15-20 poin.
Untuk mengatasinya, terapi nutrisi dan stimulasi bermain dibutuhkan agar bayi atau balita bisa mencapai kecerdasan normal sesuai usianya.
Gejala Stunting
Stunting diawali dengan balita normal yang mengalami kekurangan gizi. Kekurangan gizi ini ditandai dengan:
- Kenaikan berat badan tidak adekuat atau tidak memadai,
- Perlambatan penambahan panjang badan,
- Perawakan pendek.
Kapan stunting terjadi? Berikut adalah beberapa tahap di mana bayi atau balita bisa mengalami stunting:
- 20% terjadi saat lahir,
- 20 % stunting terjadi selama 6 bulan pertama kehidupan bayi,
- 50% terjadi pada usia 6-24 bulan,
- 10% terjadi saat anak berusia 3 tahun.
Ingat, diagnosis dan penanganan stunting harus dilakukan oleh dokter, ya, Ma.
Asupan Protein Hewani untuk Mengatasi Stunting
“Asupan protein yang cukup dapat meningkatkan tinggi badan,” tambah Prof. Sjarif lagi.
Vitamin dan mineral (zat gizi mikro) dibutuhkan namun itu tidak secara efektif meningkatkan tinggi badan. Jadi, asupan vitamin dan mineral saja tidak cukup, harus diimbangi dengan protein.
Menurut sebuah penelitian, stunting pada anak dikaitkan dengan kekurangan asam amino esensial.
Lalu, dari mana asam amino esensial ini bisa diperoleh? Bahan makanan sumber protein hewani mengandung asam amino esensial yang lengkap dan cukup bila dibandingkan dengan protein nabati. Konsumsi lebih dari satu jenis protein hewani terbukti dapat menurunkan risiko stunting.
Apakah protein nabati saja tidak mencukupi? Jumlah asam amino esensial yang terkandung pada protein nabati itu lebih sedikit.
Jadi, untuk mendapatkan jumlah yang cukup, bayi atau balita harus mengonsumsi sejumlah besar makanan sumber protein nabati. Padahal seperti yang Mama tahu, seperti kacang-kacangan, tempe, atau tahu itu berukuran besar (bulky). Dengan perut kecilnya, bayi tidak bisa mengonsumsi sejumlah besar makanan sumber protein nabati untuk memenuhi kebutuhan asam amino esensialnya.
Hasil survey DHS terhadap bayi berusia 6-23 bulan di 49 negara menunjukkan tingginya prevalensi stunting terkait dengan rendahnya kandungan sumber pangan hewani dalam MPASI.
Pencegahan Stunting pada Bayi sejak Dini
Prof. Sjarif menjelaskan pencegahan stunting sejak dini. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Mengonsumsi sumber pangan hewani yang tersedia di lingkungan, misalnya jika di pasar lebih banyak telur dan daging ayam, makan konsumsilah kedua jenis itu. Konsumsi telur sebutir sehari saat usia 6-9 bulan terbukti menurunkan prevalensi stunting sebesar 47%.
- Inisiasi menyusu dini (1 jam setelah melahirkan).
- Makanan pendamping ASI diberikan paling lambat saat bayi berusia 6 bulan. Kondisi ini berbeda-beda pada setiap bayi. Tergantung pada kebutuhannya. Bisa saja di usia 4 bulan, ASI tidak mencukupi kebutuhan nutrisi hariannya.
- Pemberian MPASI tepat waktu, mengandung nutrisi yang seimbang, dan aman.
- Bagi bayi dan balita yang mengalami kekurangan berat badan, terapi nutrisi harus diterapkan.
- Bagi bayi dan balita yang sudah didiagnosis stunting, dilakukan pemberian ASI dan terapi nutrisi sesuai dengan kondisinya.
Stunting pada masa balita terbukti menurunkan kualitas SDM maka harus dicegah sedini mungkin.
Nah, itu penjelasan tentang peran protein hewani dalam mencegah stunting, Ma. Semoga si Kecil selalu sehat dan tumbuh dengan baik, ya, Ma!
Baca juga:
- Cegah Stunting, Jokowi Ingatkan Pentingnya Gizi bagi Ibu Hamil
- 6 Cara Mencegah Stunting pada Anak Sejak Awal Kehamilan
- Beda Anak Pendek karena Stunting dan Faktor Genetik, Mama Harus Tahu!