Indonesia Darurat Pekerja Anak: Masyarakat Harus Disadarkan!
Masyarakat Indonesia harus senantiasa disadarkan terkait masalah pekerja anak
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa persoalan eksploitasi dan kekerasan anak masih kerap terjadi di Indonesia. Jumlah kasus yang ada bahkan meningkat seiring berjalannya waktu.
Salah satu bentuk eksploitasinya ialah berupa pemaksaan untuk bekerja di umur yang masih belia. Sebuah data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020 menunjukkan bahwa sekitar 9 dari 100 anak dalam rentang usia 10–17 tahun sudah bekerja.
Bahkan, 3 dari 4 anak tidak diberi upah atas pekerjaan yang mereka lakukan. Dan sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar angka kasus pekerja anak di Indonesia.
Berkaitan dengan hal itu, pada Rabu (23/6/2021), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, berupaya untuk terus menurunkan angka dari jumlah pekerja anak sampai serendah-rendahnya.
Untuk melihat berita selengkapnya, Popmama.com telah merangkum informasinya di bagian berikut ini!
1. Kasus pemekerjaan anak masih marak di Indonesia
Berdasarkan data survei yang telah dilakukan oleh Sakernas pada tahun 2020, masih banyak anak berumur 10–17 tahun sudah memasuki dunia kerja. Sekitar 88,77% dari mereka bekerja di sektor informal.
Hal tersebut belum cukup menyedihkan mengingat banyak dari mereka yang tidak diberi upah atau bahkan menerima pekerjaan penuh risiko yang seharusnya bukan diemban oleh seorang anak. Secara spesifik, lebih dari 4 juta anak berada di bawah tekanan Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA).
Banyak masyarakat yang mungkin belum sadar akan hal ini. Sebab, sebagian besar kasus eksploitasi kerja anak terjadi di masyarakat pedesaan. Dari semua sektor esensial Indonesia, sektor pertanianlah yang dianggap menjadi penyumbang terbesar jumlah kasus yang ada.
2. Bahaya BPTA yang mengancam anak
Terkait isu mempekerjakan anak di bawah umur sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Indonesia. Dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan, sudah ditegaskan bahwa seorang pengusaha dilarang untuk menjadikan seorang anak–yakni setiap orang yang usianya di bawah 18 tahun (sesuai dengan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Meskipun dalam peraturan tersebut juga, ada beberapa pengecualian untuk boleh mempekerjakan anak dalam catatan mereka tidak dieksploitasi dan tidak diberi pekerjaan yang membahayakan.
Hanya saja, merujuk pada sektor pertanian Indonesia, ada banyak bahaya yang menunggu di balik punggung anak.
Mereka yang masih muda belum terlalu terlatih dalam melakukan pekerjaan, seperti memberi pupuk, menyemprotkan pestisida. Tak jarang juga mereka tidak dilengkapi oleh alat pelindung diri yang memadai sehingga cidera akibat pekerjaan bisa kapan saja terjadi.
Sayangnya, rantai masalah ini sulit terputus karena lingkungan masyarakat petani masih belum menunjukkan sifat ramah terhadap perlindungan anak.
Mereka umumnya berada di bawah garis kemiskinan sehingga mengira kalau mempekerjakan anak bisa mengangkat ekonomi keluarga.
Belum lagi soal pendidikan. Karena dibelenggu oleh kemiskinan membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anak. Atau, dengan sekadar ijazah SD atau SMP tentunya tidak akan membawa mereka menuju pekerjaan yang mencukupi. Alhasil, bekerja di usia belia adalah opsi terakhir.
3. Keterlibatan masyarakat dalam mengurangi jumlah pekerja anak
Cukup mengejutkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengerti bahaya dari mempekerjakan anak. Sukur, selaku Ketua Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Desa Maccolli Loloe, mengaku bahwa ia awalnya tidak mengerti bahaya dari pekerjaan di kebun kakao bagi anak.
“Terus terang, pertama kali saya dengar risiko berbahaya pada anak ke kebun, itu membingungkan. Apa coba hubungan anak dengan kebun kakao?” ungkapnya.
Padahal, berdasarkan Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak, ada sebanyak 54 pasal yang mengatur tentang hak-hak yang wajib diterima oleh anak, yakni mulai dari hak untuk hidup dan tumbuh sehat (Pasal 6) sampai dengan hak untuk dilindungi dari pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan mereka (Pasal 32).
Barulah setelah mengikuti sejumlah sosialisasi, masyarakat seperti Sukur mulai memahami bahwa anak bisa saja mengalami kecelakaan kerja karena belum terlatih atau ketidaksiapan mereka.
Tidak hanya itu saja, di samping supaya publik mulai menyadari bahwa Indonesia darurat eksploitasi anak, keterlibatan masyarakat juga dapat membantu program pemerintah dalam menekan jumlah pekerja anak di Indonesia.
4. Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak pada tahun 2022
Mengetahui dampak buruk yang akan dirasakan oleh anak, pemerintah Indonesia pun berupaya untuk mewujudkan Indonesia Bebas Pekerja Anak. Di samping itu, masalah ini juga telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo agar Kemen PPPA mampu mengatasinya.
“Penghapusan pekerja anak di Indonesia merupakan salah satu dari lima arahan prioritas Presiden Joko widodo kepada Kemen PPPA,” kata Menteri PPPA, Bintang Puspayoga.
Pemerintah Indonesia memulainya dengan merombak sistem perlindungan anak yang berlaku agar lebih cakap dalam menjamin hak dan perlindungan anak. Salah satunya adalah dengan adanya penerapan Skema Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA)–tercatat, sebanyak 435 kota/kabupaten di Indonesia telah melaksanakannya–dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Dalam penjelasannya, Bintang juga merinci sejumlah strategi yang akan diimplementasikan oleh pemerintah, yakni:
- Mengembangkan basis data pekerja anak;
- Memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan terkait pekerja anak;
- Mengutamakan isu pekerja anak dalam kebijakan dan program perlindungan khusus anak di kota/kabupaten.
Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti JARAK (Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak) dan Save the Children Indonesia, juga ikut mengerahkan usaha dalam memberantas pekerja anak di Indonesia. Contoh aksi nyata yang mereka lakukan adalah dengan memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai persoalan perlindungan anak.
Dengan adanya program-program tersebut, Bintang mengharapkan jumlah pekerja anak akan berkurang sampai serendah-rendahnya dan sekiranya Indonesia mampu bebas sepenuhnya dari pemekerjaan anak di tahun 2022 yang akan datang.
Mama sudah baca informasi tentang isu pekerja anak yang masih marak dilakukan di Indonesia. Semoga impian pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Indonesia Bebas Pekerja Anak bisa tercapai tepat waktu di tahun 2022 nanti ya, Ma.
Baca Juga:
- Kemen PPPA: Sinetron Suara Hati Istri: Zahra, Melanggar Hak Anak
- Viral Nenek Memukuli Cucu, Diduga Eksploitasi Jadi Pengemis
- Kemen PPPA Kecam Ayah Kandung yang Tega Aniaya Anaknya di Serpong