Kisah Sunan Gunung Jati, Berdakwah dengan Politik di Bumi Pasundan
Di tangan Sunan Gunung Jati Ajaran Islam berkembang melesat di cakupan wilayah Cirebon
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sosok Sunan Gunung Jati dipercaya menjadi sosok nomor satu atas berkembangnya Islam di tanah Pasundan. Bila Wali Songo lain menyebarkan Islam di Jawa bagian tengah dan timur, Sunan Gunung Jati menyebarkan di Jawa bagian Barat.
Berikut adalah kisah Sunan Gunung Jati, yang berdakwah dengan jalur politik di Bumi Pasundan yang telah Popmama.com rangkum. Yuk kita lanjut Ma.
1. Putra dari Pangeran Mesir
Sunan Gunung Jati lahir di Kairo, Mesir pada tahun 1448 dengan nama asli Sultan Syarif Hidayatullah Al-Azhamatkhan dan biasa disebut dengan Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah adalah putra dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dengan Nyai Rara Santang yang merupakan puteri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi
Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).
Dalam menuntut ilmu, Syarif Hidayatullah telah menunjukkan bakat dan kedisiplinan. Sehingga ia bisa dikatakan cerdas dan cepat dalam menyerap ilmu yang diterima.
Sang ibu melihat keseriusan anaknya dalam menimba ilmu, lantas mengirimnya ke kota suci Mekah untuk memperdalam pendidikannya.
Di kota Mekah, Syarif Hidayatullah berguru dengan Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Beberapa waktu kemudian, ia kembali ke Mesir untuk belajar kepada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili.
Setelah itu, ia tetap melanjutkan pendidikannya untuk berguru pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh. Beberapa ulama lain sempat menjadi gurunya di berbagai daerah.
Hingga pada akhirnya dia menimba ilmu di Pesantren Ampeldenta Surabaya dan berguru kepada Sunan Ampel.
Pada saat ia berguru kepada Sunan Ampel, beliau meminta dirinya untuk berdakwah dan menyebarkan Islam di daerah Cirebon.
Semasa berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu.
Atas arahan Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah pun mendirikan pondok pesantren di kota tersebut. Kemudian mengajarkan Islam kepada masyarakat sekitar.
Oleh para pengikut dan murid-muridnya, ia diberi gelar Syekh Jati. Dan karena beliau berdakwah di daerah pegunungan, ia diberi gelar dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Sebuah gelar yang terus melekat pada dirinya, hingga yang kita kenal sekarang ini.
2. Menjadi Pemimpin Kesultanan Cirebon
Setelah mertuanya, Pangeran Cakrabuana meninggal. Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Pemimpin di Kesultanan Cirebon.
Dengan duduk di kekuasaan tersebut, dakwahnya berkembang dengan pesat seiring dengan kancahnya di jalur politik. Ajaran Islam berkembang melesat di cakupan wilayah Cirebon.
Dalam perjalanannya, kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memiliki kerjasama dan keterikatan yang mendalam. Karena keduanya merupakan kesultanan Islam yang tujuannya pun mengembangkan Islam di Tanah Jawa.
Usia Raden Patah selaku Pimpinan Kesultanan Demak dengan usia Syarif Hidayatullah tidak terpaut jauh pada saat itu. Kedua kesultanan ini saling mengisi dan bahu membahu dalam segala hal.
Raden Patah pun diangkat menjadi Sultan di pulau Jawa (bukan hanya di Demak). Membuat Cirebon menjadi sejenis negara bagian dari Kesultanan Demak.
Memang, inilah strategi yang direncanakan oleh Sunan Ampel, selaku yang di tuakan pada Wali Songo. Bahwa agama Islam disebarkan di pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai perintisnya.
3. Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati
Dipegangnya kekuasaan tertinggi di Kesultanan Cirebon oleh Syarif Hidayatullah membuat Cirebon berkembang dengan pesat.
Sebelum Sunan Gunung Jati menjadi Pemimpin, kedudukan Kesultanan Cirebon hanyalah sebagai daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran.
Kerajaan Pajajaran pada masa itu adalah kerajaan terbesar di Jawa Barat, dengan latar belakang Hindu - Budha.
Pada masa kepemimpinan beliau, Cirebon mengalami perluasan wilayah keraton dari sebelumnya. Ia juga membangun Masjid Keraton, beserta benteng yang mengelilingi kota Cirebon, lengkap dengan gerbang penjagaannya.
Kesultanan Cirebon didukung oleh Kesultanan Demak dalam memperluas wilayah kekuasaannya. Perlahan tapi pasti, hal itu secara bertahap dilakukan.
Beberapa wilayah kekuasaan Pajajaran seperti Galuh, Sumedang dan Citarum perlahan-lahan diambil alih oleh Cirebon.
Demak pun tidak main-main dalam dukungannya. Alat tempur seperti meriam pun dengan mudahnya mengalahkan tombak, anak panah, pedang dan lainnya milik tentara Pajajaran.
Terdapat sejumlah alasan yang membuat Kerajaan Cirebon mengalami masa keemasan pada saat dipimpin Sunan Gunung Jati, yaitu:
- Berhasil membuat Cirebon merdeka dari Kerajaan Sunda Pajajaran.
- Berhasil melebarkan kekuasaannya hingga separuh Jawa Barat dan Banten.
- Berhasil mengislamkan penduduk di wilayahnya.
- Membangun infrastruktur pelabuhan, keraton, jalan, dan masjid.
- Membuat pasukan keamanan.
Selama hidupnya, Sunan Gunung Jati memiliki 6 istri dan memiliki 6 anak, beberapa orang istrinya tidak memberikan keturunan.
Istri dan keturunannya adalah sebagai berikut:
- Nyimas Babadan, tidak punya keturunan
- Nyimas Pakungwati, tidak punya keturunan
- Nyimas Rara Jati, anak pertama Pangeran Jayakelana dan anak kedua Pangeran Bratakelana
- Nyimas Kawunganten, anak pertama Ratu Winaon dan anak kedua Pangeran Saba Kingkin
- Nyimas Rara Tepasan, anak pertama Ratu Ayu Wangunan dan anak kedua Pangeran Pasarean
- Putri Ongtien, tidak punya keturunan.
Sunan Gunung Jati meninggal pada usia 120 tahun. Tepatnya pada tahun 1568. Beliau dimakamkan di Bukit Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat.
Itulah sejarah singkat dan kisah Sunan Gunung Jati, yang berdakwah dengan politik di Bumi Pasundan. Semoga bisa menambah pengetahuan dan wawasan anak remaja mama tentang sejarah Indonesia.
Baca juga:
- Kisah Sunan Ampel, Penyebar Islam di Pulau Jawa dari Kerajaan Champa
- Kisah Sunan Kalijaga, Sosok Ulama Penyebar Islam di Pulau Jawa
- Sejarah dan Kisah Sunan Kudus, Berdakwah dengan Toleransi