TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Aturan Hak Asuh Anak Setelah Perceraian

Siapakah yang berhak atas hak asuh anak setelah terjadinya perceraian?

Freepik

Perceraian adalah keputusan yang sulit bagi setiap orangtua, terutama jika melibatkan anak-anak. Dalam perceraian, salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan adalah hak asuh anak. Hak asuh tidak hanya soal dengan siapa anak akan tinggal, tetapi juga mencakup tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan pendidikan mereka.

Dalam situasi seperti ini, keputusan tentang hak asuh sering menjadi perhatian utama karena menyangkut masa depan dan kesejahteraan anak.

Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memahami proses hukum dan mencari solusi terbaik yang mengutamakan kepentingan anak. Kali ini Popmama.com akan memberikan informasi terkait aturan hak asuh anak setelah perceraian. Simak informasinya di bawahi ini.

1. Ketentuan atau hukum tentang hak asuh anak

Pexels/Afif Ramdhasuma

Perceraian termasuk ke dalam peristiwa hukum yang memiliki konsekuensi. Di antaranya, putusnya perkawinan, pengasuhan anak(jika memiliki), serta hukum atas harta bersama. Adapun ketentuan tentang hak asuh anak terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau biasa disebut UU Perkawinan. Pasal tersebut berbunyi:

  1. Baik bapak maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
  2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu. Bilamana bapak pada kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya itu.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Sesuai dengan pasal tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa hak pengasuhan anak akibat perceraian menjadi tanggung jawab kedua orangtua. Namun, apabila terjadi perselisihan di antara keduanya, maka pengadilan akan memutuskan kepada siapa hak pengasuhan anak diberikan.

Selanjutnya, setelah terjadi perceraian, ayah tetap memiliki tanggung jawab memberikan nafkah termasuk biaya kesehatan dan pendidikan kepada sang anak. Kewajiban itu berlaku sampai anak tersebut mandiri atau telah menikah. Selain itu, mantan suami diwajibkan memberikan nafkah kepada mantan istri sepanjang ia masih menjanda atau belum menikah dengan lelaki lain.

Selain itu, berdasarkan Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasangan yang bercerai tetap memiliki kewajiban berikut ini terhadap anak.

  1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
  2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
  3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
  4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti kepada anak.

2. Kepada siapa hak asuh akan diberikan?

Pixabay/Victoria_Borodinova

Ketika terjadi perceraian, hak asuh otomatis akan menjadi hak dari istri dengan catatan bahwa anak tersebut masih berusia dibawah 12 tahun. Namun, apabila usianya sudah lebih dari 12 tahun, anak berhak memilih untuk mendapat hak asuh dari ayah atau ibu.

Usia yang dianggap lebih dari 12 tahun , dimulai sejak anak tersebut berusia 12 tahun lebih 1 hari. Artinya, anak tersebut memiliki hak menentukan akan berada dalam asuhan Mama atau Papanya.

Namun, hakim dan pihak pengadilan juga dapat mempertimbangkan keputusan yang telah dibuat si anak. Misalnya, jika anak tersebut memilih Papanya, tetapi sang Papa terbukti melakukan KDRT baik terhadap Mama atau anaknya maka hakim dapat mengubah putusan untuk memberikan hak asuh kepada sang Mama dengan pertimbangan keselamatan sang anak.

Selain itu, untuk mereka yang beragama Islam, aturan tentang hak asuh anak akibat perceraian diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal ini dinyatakan, jika terjadi perceraian maka:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak ibunya.
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Sementara itu, bagi yang non-muslim, dasar hukumnya merujuk pada yurisprudensi (putusan pengadilan terdahulu) berikut ini.

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 menyatakan bahwa: "Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak, yaitu Ibu."
  2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan: "Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriteria, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya."

Secara keseluruhan, bila terjadi perceraian jelas bahwa hak asuh anak yang masih di bawah umur secara otomatis jatuh kepada Mamanya. Hak asuh itu tidak akan terhapus meski ibu tidak memiliki penghasilan. Sebab, Papa tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak meski hak asuh berada di tangan Mamanya.

3. Bagaimana jika mantan suami lalai dari kewajibannya?

Pexels/Vera Arsic

Dalam banyak kasus perceraian, mantan suami seringkali tidak melaksanakan kewajiban menafkahi anak-anaknya. Apabila hal ini terjadi, ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak mantan istri untuk menuntut mantan suaminya. Dasar hukum yang dapat digunakan adalah Pasal 196 HIR, yang menyebutkan bahwa:

"Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195 buat menjalankan keputusan itu. Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan supaya ia memenuhi keputusan itu dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari."

Aturan Pasal 196 HIR ini berlaku bagi yang beragama Islam ataupun non-muslim. Caranya, mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan agama yang memutus perkara perceraian. Selanjutnya ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan agama akan memanggil dan memperingatkan bekas suami untuk memenuhi kewajibannya memberikan nafkah kepada anak-anak sesuai dengan putusan perceraian paling lambat delapan hari setelah diperingatkan.

Apabila tata cara mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan agama tidak dipahami, Mama bisa datang ke pusat pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pengadilan di bagian informasi untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap. Selanjutnya, dalam Pasal 197 HIR disebutkan: 

"Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu."

Itulah informasi tentang aturan hak asuh anak setelah perceraian. Pada intinya, ak asuh anak bukan hanya tentang siapa yang berhak merawatnya, tetapi juga tentang bagaimana memastikan anak tetap tumbuh dengan cinta, dukungan, dan rasa aman meski orangtuanya telah berpisah.

Baca juga:

The Latest