Tingginya Kasus Kekerasan pada Anak dan Perkawinan Dini di Jawa Barat
Orangtua dan guru perlu memberikan edukasi pada anak tentang pentingnya kesetaraan gender
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tepat pada Jumat (23/9/2022), Procter & Gamble (P&G) bersama Save the Children Indonesia baru saja menggelar acara ‘#BerpihakPadaAnak: Stop Perkawinan Anak dan Kekerasan pada anak’ di SMP Negeri 1 Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
Acara ini mempunyai tujuan untuk mengakselerasikan kesetaraan gender dan pentingnya kesempatan pendidikan tinggi yang setara bagi anak perempuan dan laki-laki usia 10-14 tahun di Jawa Barat.
Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian program We See the Equal yang telah dilaksanakan P&G dan Save the Children sejak tahun 2018 di Indonesia.
Buat informasi selengkapnya, berikut Popmama.com telah merangkumnya khusus untuk Mama.
1. Usia anak dianggap sebagai momentum penting untuk mengedukasi tentang kesetaraan gender
Acara ini turut dihadiri oleh 230 peserta yang terdiri dari 100 siswa remaja SMP kelas 1, 2, dan 3, kemudian 100 orangtua siswa, serta 30 guru.
Acara diisi serangkaian kegiatan edukasi interaktif mengenai kesetaraan gender, pencegahan perkawinan dini pada anak, dan jenis-jenis kasus kekerasan pada anak.
Usia anak-anak dipilih lantaran dianggap sebagai momentum penting untuk mengedukasi tentang kesetaraan gender dalam masyarakat.
Ketidaksetaraan gender menjadi isu penting karena sering kali menjadi akar penyebab berbagai macam permasalahan di masyarakat, khususnya anak.
Salah satu alasannya yakni kurangnya akses pendidikan yang setara dan berkualitas, sehingga membuat generasi muda rentan terkena kekerasan serta perkawinan usia dini.
2. Maraknya kasus kekerasan pada anak dan perkawinan dini di Jawa Barat
Pada tahun 2021, data SIMFONI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa Jawa Barat menempati posisi tertinggi di Indonesia dengan kasus kekerasan pada anak sebanyak 1.766 kasus.
Tak hanya kasus kekerasan, Badan Pusat Statistik (PBS) tahun 2020 menunjukkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) bahwa angka perkawinan anak di Jawa Barat menempati posisi terbanyak kedua di Indonesia (11,48%).
“Perkawinan anak dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan bagi anak untuk memikul tanggung jawab secara fisik atau psikologis, di mana kondisi mereka sesungguhnya tidak siap. Begitu pula dengan tindakan kekerasan pada anak yang juga telah melanggar hak-hak dasar anak,” jelas Ayank Irma selaku Pakar Kesehatan, Psikolog, dan Parenting dalam acara kolaborasi antara P&G dan Save the Children, Jumat (23/9/2022).
3. Anak perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama untuk bermimpi setinggi mungkin
Menurut Ayank Irma, penyebab utama pernikahan dini sampai saat ini masih dilatar belakangi adanya kesulitan ekonomi. Oleh karena itu, kita khususnya orangtua dan tenaga pengajar di sekolah perlu membuka pikiran anak remaja tentang dunia yang lebih luas.
Kehidupan anak tidak hanya terbatas di sini, anak juga bisa mempunyai mimpi setinggi mungkin untuk diraihnya di kemudian hari. Laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk bermimpi.
“Kita harus menekankan bahwa hidup anak tidak hanya terbatas di sini, banyak mimpi lainnya yang bisa mereka raih. Ketika seorang remaja belum siap menikah secara mental, anak tersebut secara kemampuan belum punya pola pikir yang matang sampai usia 25 tahun. Apalagi bagi anak perempuan, ketika adanya suami dan anak, bisa mengakibatkan stres. Makanya banyak ibu muda di luar sana mengalami depresi,” jelas Ayank Irma.
4. Usia ideal untuk mengajarkan tentang menghindari pernikahan dini
Saat berada di usia sekolah, anak-anak mulai belajar mengenai peran keluarga. Dari usia tersebut, orangtua bisa juga ikut terlibat memberi edukasi. Contohnya, menjelaskan konsep keluarga secara basic ketika datang ke pernikahan salah seorang kerabat.
Kemudian, di usia 7-8 tahun biasanya usia anak sekarang sudah muncul tanda-tanda pubertas. Dari situ, anak perlu diajarkan tentang pendidikan seks. Pengajaran pendidikan seks sedini mungkin diperlukan untuk mencegah berkembangnya pikiran-pikiran negatif pada anak.
“Kemudian, di usia 10-14 tahun kita (orangtua dan guru) bisa membantu mengingatkan atau mengulang-ngulang tentang pembelajaran yang dulu diajarkan. Seiring berjalannya waktu, anak-anak perlu pengulangan pembelajaran untuk menekankan pernikahan dini,” pungkas Ayank Irma.
Semoga dengan adanya program yang dibuat oleh P&G dan Save the Children Indonesia bisa membantu menekan terjadinya kekerasan pada anak dan pernikahan dini khususnya di wilayah Jawa Barat ya, Ma.
Baca juga:
- Cara Cegah Kekerasan Seksual pada Anak Menurut IDAI
- Waspada, Inilah 5 Bahayanya Sering Melakukan Kekerasan pada Anak
- Kasus Kekerasan pada Anak Berujung Kematian di Malang hinga Filipina