Apa itu Istilah Second Child Syndrome?
Awal mula muncul istilah ini, hingga karakter anak kedua
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Second Child Syndrome atau Middle Child Syndrome adalah istilah yang menggambarkan fenomena psikologis yang sering dialami oleh anak kedua dalam keluarga.
Sebagian besar orangtua merasa bahwa anak kedua memiliki karakteristik yang berbeda dengan saudaranya yang lain.
Hal ini sebenarnya berangkat dari beberapa faktor, salah satunya anak kedua seringkali merasa kurang diperhatikan atau kurang dihargai dibandingkan dengan anak sulung atau anak bungsu, yang kemudian dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi, kepribadian, dan perkembangan emosi mereka.
Pada dasarnya, anak kedua sering dianggap menghadapi tantangan berbeda dalam mencari identitas mereka di antara saudara-saudara mereka, yang mengarah pada fenomena unik ini.
Berikut Popmama.com membahas mengenai Second Child Syndrome, mulai dari awal mula munculnya istilah ini hingga karakter dari anak kedua.
Awal Mula Muncul Istilah Second Child Syndrome
Second Child Syndrome atau Middle Child Syndrome adalah sebuah istilah yang diyakini bahwa anak kedua atau anak tengah seringkali tidak mendapatkan perhatian yang sama dibandingkan dengan saudara-saudaranya.
Dikutip dari hellosehat.com, menurut studi pada jurnal Zhytomyr Ivan Franko State University Journal Pedagogical Sciences, istilah anak kedua ini pertama kali dicetuskan oleh seorang dokter dan psikoterapis yang mengembangkan teori urutan kelahiran, Alfred Adler.
Dalam teori urutan kelahiran, Alfred mengatakan bahwa posisi kelahiran dapat memengaruhi kepribadian dan karakter seorang anak.
Berikut merupakan faktor-faktor yang memengaruhi:
1. Perhatian orangtua
Setelah kelahiran anak kedua, perhatian orangtua cenderung terbagi antara anak sulung dan anak baru lahir.
Anak pertama biasanya menerima perhatian penuh sebelum kelahiran saudara kandung, sementara anak kedua tidak selalu mendapatkan pengalaman yang sama. Terlebih lagi jika terdapat kehadiran anak ketiga, anak kedua cenderung harus hormat ke kakaknya dan harus mengalah untuk adiknya.
Kondisi ini bisa menimbulkan perasaan kurang diperhatikan pada anak kedua, yang kemudian mendorong mereka mencari perhatian dengan cara yang berbeda.
Anak kedua mungkin tumbuh dengan sifat lebih mandiri atau mencari validasi dari orang-orang di luar keluarga.
2. Pengaruh anak pertama
Anak kedua seringkali berada dalam bayang-bayang anak pertama, yang cenderung dijadikan panutan atau harapan besar oleh orangtua.
Pengaruh kakak bisa memberi tekanan tambahan pada anak kedua untuk mengikuti jejak atau bahkan mengungguli pencapaian kakaknya.
Hal ini bisa membentuk anak kedua menjadi lebih kompetitif atau bahkan pemberontak.
Pengaruh ini juga menciptakan dinamika persaingan, dimana anak kedua merasa perlu membedakan diri agar tidak hanya dikenal sebagai “adik.”
3. Dinamika keluarga
Setiap anak memiliki posisi yang unik dalam keluarga, dan anak kedua sering berada di tengah-tengah.
Posisi ini dapat memengaruhi hubungan mereka dengan orang tua dan saudara kandung lainnya.
Dinamika keluarga ini dapat membuat anak kedua berusaha menemukan perannya sendiri, berbeda dari anak sulung yang biasanya diandalkan sebagai pemimpin dan dari anak bungsu yang sering dimanjakan.
Dalam upaya menegaskan diri, anak kedua bisa tumbuh dengan sifat adaptif dan fleksibel tetapi juga rentan mengalami kebingungan identitas.
4. Ekspektasi dan peran
Ekspektasi orangtua terhadap anak kedua seringkali dipengaruhi oleh pengalaman mereka dengan anak pertama.
Pada anak pertama, orangtua cenderung memberikan perhatian lebih dikarenakan belum memiliki pengalaman yang banyak mengenai cara mengurus anak.
Berbeda dengan anak kedua, karena sudah memiliki pengalaman, orangtua mungkin tidak menaruh perhatian pada anak kedua dalam hal aturan atau harapan.
Ini bisa menguntungkan, tetapi bisa juga membuat anak kedua merasa kurang diperhatikan atau kurang diharapkan untuk mencapai standar tertentu.
Selain itu, anak kedua sering merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, yang kadang memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi berbeda.
Karakter Anak Kedua
Dikarenakan faktor-faktor tersebut, membuat anak kedua memiliki karakter yang berbeda dengan anak sulung atau anak bungsu, berikut diantaranya:
1. Mandiri dan adaptif
Anak kedua sering merasa bahwa perhatian orangtua tidak sebesar perhatian yang diberikan pada anak pertama atau anak bungsu.
Kondisi ini mendorong mereka untuk lebih mandiri dalam menjalani kegiatan sehari-hari, seperti mengambil keputusan kecil atau menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Mereka sering belajar lebih cepat dalam hal bersosialisasi dan beradaptasi dengan peran yang berbeda dalam keluarga.
Ketika menghadapi perubahan, anak kedua biasanya lebih fleksibel karena sudah terbiasa dengan tantangan untuk menarik perhatian.
Kemandirian dan kemampuan adaptasi mereka menjadi modal yang baik dalam menghadapi lingkungan sosial atau akademik yang menuntut kecepatan beradaptasi.
2. Kompetitif
Merasa sering dibandingkan dengan kakak atau harus memenuhi standar yang sama, anak kedua seringkali mengembangkan sifat kompetitif.
Mereka berusaha membuktikan diri kepada orangtua dan sekitarnya bahwa mereka juga bisa menjadi anak yang berprestasi atau bahkan unik.
Kompetisi ini tidak selalu negatif, seringkali mendorong mereka mencapai hal-hal baru yang tidak diharapkan dari mereka.
Dalam lingkungan sekolah, misalnya, anak kedua cenderung menunjukkan semangat lebih untuk menonjol atau menjadi pusat perhatian.
Kompetisi dengan kakak atau saudara ini bisa membuat anak kedua memiliki daya juang yang tinggi dalam mencapai impian mereka.
3. Berjiwa bebas
Anak kedua seringkali tidak dibebani ekspektasi besar seperti anak sulung, yang dianggap sebagai pelopor keluarga.
Akibatnya, anak kedua lebih memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka sendiri tanpa banyak tekanan dari orangtua.
Mereka bisa mengembangkan kreativitas, minat, atau cara pandang yang unik terhadap dunia.
Karena kurangnya ekspektasi yang ketat, anak kedua seringkali memiliki sifat yang lebih bebas dan lebih spontan dalam menjalani kehidupan.
Sifat ini memungkinkan mereka untuk lebih berani mengambil keputusan di luar standar, seringkali menjadikan mereka individu yang kreatif dan berpikiran terbuka dalam menghadapi berbagai hal.
4. Mencari perhatian dengan cara yang berbeda
Karena merasa perhatian orangtua lebih banyak terfokus pada anak pertama atau terakhir, anak kedua bisa merasa kurang mendapat pengakuan.
Untuk mengatasi hal ini, mereka mungkin mencari perhatian melalui cara-cara unik, seperti mengembangkan hobi yang berbeda, menjadi humoris, atau bahkan membuat pernyataan yang tidak biasa.
Cara ini adalah upaya mereka agar lebih diakui sebagai individu yang berbeda dari kakak atau adik mereka.
Meski seringkali berusaha mandiri, mereka tetap ingin keberadaan mereka dihargai.
Kreativitas dalam mencari perhatian ini dapat membantu anak kedua membangun kepercayaan diri dengan menonjolkan sisi uniknya.
5. Berani mengambil resiko
Anak kedua cenderung berani mengambil resiko, sebagian karena mereka merasa perlu “mencari jalannya sendiri.”
Karena kakak dianggap panutan, mereka seringkali merasa terdorong untuk berbeda dan membuat pilihan yang tidak biasa.
Keberanian ini terbentuk dari keinginan untuk keluar dari bayang-bayang kakak, sehingga anak kedua lebih terbuka untuk mencoba hal baru atau berani menghadapi tantangan.
Mereka sering mengambil risiko sebagai bagian dari proses menunjukkan jati diri.
Sifat ini membuat mereka lebih fleksibel dan tidak takut pada kegagalan, yang bisa memberi mereka keuntungan dalam kehidupan, terutama dalam menghadapi dunia kerja atau pergaulan.
Demikian rangkuman mengenai Second Child Syndrome.
Baca juga:
- Apa Itu Plantstrong Diet, Benarkah Pola Makan Paling Sehat di Dunia?
- Panduan Mengatur Pola Makan Anak Diabetes
- Panduan Mengatur Pola Makan Anak Obesitas