TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Tantangan Penyelesaian Diabetes Melitus pada Anak di Indonesia

Dalam menyelesaikan masalah diabetes pada anak ada beberapa tantangan yang jadi faktor penghambat

Popmama.com/Ayesha Puri

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan menunjukkan hasil ada empat masalah gizi balita di tanah air, yaitu stunting, wasting (kurus), underweight (gizi kurang), dan overweight (kelebihan berat badan). Mirisnya, angka kasus obesitas pada anak semakin mengkhawatirkan.

Hal ini sejalan dengan jumlah penderita diabetes melitus (DM) anak-anak yang terus bertambah dari tahun ke tahun.

Urgensi tersebut jadi salah satu pemantik Prodia mengadakan acara “Masyarakat Cegah Diabetes Prematur pada Anak dan Remaja” sebagai wadah guna mengedukasi para orangtua dan penduduk tanah air.

Dengan begitu, Mama dan Papa diharapkan lebih aware terhadap ancaman mematikan penyakit diabetes melitus pada si Kecil. Sehingga orangtua seyogyanya memilah asupan makanan anak tersayang supaya kadar gula darahnya terjaga.

Meskipun terdapat berbagai cara preventif supaya si Kecil terhindar penyakit ini, Prof. Aman B. Pulungan MD, Ph.D, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) sebagai profesor pediatrik anak mengungkapkan adanya “masalah internal” terkait yang menghambat penurunan kasus DM pada anak.

Ditemui dalam acara peluncuran Salad Buah Mayumi® pada Selasa (11/4/2023) di Wly's Kitchen Veranda Hotel, “Masalah penyelesaian diabetes pada anak adalah terkait akses pelayanan yang belum memadai,” tegas Profesor Aman B. Pulungan.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan setidaknya ada lima faktor penghambat lambannya penanganan kasus diabetes melitus pada anak.

Berikut ulasan Popmama.com mengenai tantangan penyelesaian diabetes melitus pada anak di Indonesia.

1. Faktor Ekonomi

Freepik

Tantangan dari aspek ekonomi, yaitu kurangnya cakupan asuransi nasional kepada pasien. Dokter pediatrik anak ini menjelaskan ada beberapa kebutuhan pengidap DM yang tidak ditanggung oleh pemerintah.

“Insulinnya ditanggung oleh BPJS tapi jarum suntiknya tidak ditanggung. Sehingga mereka harus membeli jarum suntiknya menggunakan uang pribadi. Setidaknya mereka harus suntik insulin sebanyak 4-6 kali sehari,” tutur Profesor Aman.

Jadi, salah satu cara menyiasatinya hal tersebut adalah dengan menggunakan alat suntik berulang kali. Bahkan terkadang ada yang jarumnya tumpul. Akibatnya akan memberikan rasa sakit ketika disuntikan kepada si Kecil. Idealnya jarum suntik hanya dipakai sekali saja.

Selain itu, tantangan lainnya adalah biaya pengobatan diabetes melitus relatif tinggi. Anak-anak pengidap DM harus rajin kontrol gula darah ke dokter serta melakukan kontrol glikemik secara mandiri. Perawatan tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit.

Jika si Anak dari keluarga berkecukupan maka hal tersebut tak jadi masalah. Berbeda dengan si Kecil yang berasal dari kalangan ekonomi rendah, keharusan membeli glukometer, suntik, dan yang lainnya sangat membebani keuangan keluarga. Alhasil, anak sulit sembuh dari penyakit menaun ini.

2. Faktor Sosial

Freepik/rawpixel.com

Hambatan dari faktor sosial adalah rendahnya kesadaran mengenai penyakit diabetes melitus. Masih banyak masyarakat yang mengira DM hanya bisa menyerang kalangan lansia. Faktanya, penyakit gula darah ini bisa menyerang siapa pun tanpa memandang usia.

Selain pemikiran kuno itu, para orangtua masih merasa tidak perlu mengajak anak melakukan kontrol gula darah. Terutama pada kasus anak obesitas atau anak yang terlalu kurus padahal sering makan.

Orangtua menganggap si Kecil yang gemuk adalah sehat. Sementara, anak yang kurus karena memang keturunan kurus. Padahal, dua kondisi tersebut merupakan tanda-tanda si Kecil mengidap diabetes melitus.

3. Faktor Geografis

Freepik/volody10

Melihat kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau turut jadi tantangan. Menurut Prof. Aman masalahnya adalah minimnya fasilitas layanan kesehatan (faskes) terdekat terutama di daerah pedesaan atau yang jauh dari kota.

Faskes berperan sebagai tempat pengidap pasien anak melakukan kontrol gula darahnya. Di sini,jga sebagai tempat paling pertama untuk menangani anak dengan kondisi darurat, misalnya tiba-tiba ia mengalami hiperglikemik.

Lokasi fasilitas kesehatan berpotensi menyebabkan pasien datang dalam keadaan berat atau KAD (ketoasidosis diabetikum) saat sampai di rumah sakit. Paling parah, status KAD pada si Kecil ini dapat mengakibatkan kematian.

4. Minimnya obat-obatan dan teknologi

Freepik/rawpixel.com

Tak hanya minim faskes, Prof. Aman juga mengungkapkan bahwa dunia kesehatan tanah air masih kekurangan obat-obatan dan teknologi. Termasuk pada masalah diabetes melitus pada anak.

Praktis perawatan yang diberikan para dokter anak kepada pengidap DM pun tidak maksimal. Imbasnya penyelesaian penyakit gula darah di kalangan anak-anak jadi lebih sulit karena membutuhkan waktu penanganan yang lebih lama.

Berbeda apabila kita sudah memiliki teknologi mutakhir dan obat-obatan yang lengkap. Pengobatan DM pada si Kecil ini akan lebih efektif dan efisien.

“Perlunya data nasional digital anak penyintas DM melalui registry sehingga terintegrasi melalui teknologi sehingga memperkuat telemedisin,” ungkap Prof. Aman.

5. Keterbatasan tenaga kesehatan

Freepik/Lifestylememory

Saat ini, Indonesia mempunyai sekitar 4.460 dokter spesialis anak. Dimana, hanya ada 53 dokter anak ahli endokrinologi di 17 provinsi. Kurangnya tenaga kesehatan ahli di bidang ini menjadi tantangan lain dalam penyembuhan penyakit diabetes melitus pada si Kecil.

Artinya masih banyak wilayah di Indonesia yang belum bisa memperoleh pelayanan dari para ahli secara baik. Pasien anak penderita DM ini mesti hijrah ke kota besar untuk mendapatkan perawatan maksimal.

Namun, tak semua Mama dan Papa mampu melakukan hal tersebut. Karena, lagi dan lagi terbentur kondisi ekonomi keluarga.

Keterbatasan sistem kesehatan juga mencakup sistem keuangan di bidang kesehatan. Berdasarkan data global, diabetes menyebabkan pengeluaran dalam bidang kesehatan sekitar 536,6 miliar dolar AS. Artinya penyakit diabetes melitus cukup membebani keuangan setiap negara.

6. Disrupsi mayor

Freepik/olkina_g

Di samping itu, faktor-faktor lain yang menghambat penanganan diabetes melitus pada anak antara lain konflik negara, adanya perang, serta pandemi.

Itulah penjelasan tantangan penyelesaian diabetes melitus pada anak di Indonesia. Kesadaran Mama dan Papa terkait penyakit ini berperan dalam mempercepat kesembuhan si Kecil. Kontrol glikemik yang baik juga menjadi kuncinya. 

Baca Juga:

The Latest