TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Kisah Wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang Ditebas saat Salat

Kisah meninggalnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib menjadi kesedihan bagi keluarga dan sahabat

Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam, dikenal sebagai sepupu dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Perannya dalam mengembangkan Islam sangat berpengaruh, mulai dari pertempurannya di medan perang hingga kepemimpinannya sebagai khalifah.

Ali juga memiliki karakteristik istimewa yang membedakannya dari sahabat-sahabat lainnya, seperti gelarnya "Karamallahu Wajhah," sebuah penghormatan khusus atas ketulusan iman dan akhlaknya. Memahami kisah hidupnya, termasuk kematian tragisnya, memberikan kita wawasan mendalam tentang keteguhan iman dan pengorbanannya demi Islam.

Ini dia kisah hidup dan kisah wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dari kehidupan hingga wafatnya oleh Popmama.com.

1. Masa kecil Ali bin Abi Thalib dan awal mulanya masuk islam

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Ali bin Abi Thalib lahir di Hejaz, Makkah pada hari Jumat tanggal 13 Rajab sebelum hijarh sekitar tahun 599 Masehi, di dalam keluarga Bani Hasyim yang terhormat. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW dan sejak kecil telah diasuh oleh beliau. Saat berusia delapan atau sepuluh tahun, Ali adalah anak pertama yang memeluk Islam.

Ia pertama kali mendapati Nabi dan istrinya, Khadijah, sedang melaksanakan salat, dan bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Setelah Nabi menjelaskan tentang Islam, Ali memutuskan untuk bergabung tanpa berkonsultasi dengan ayahnya, Abu Thalib. Keputusan ini menjadi awal dari perjalanan panjang Ali dalam mendukung dakwah Nabi Muhammad SAW dan membantu menyebarkan ajaran Islam.

2. Sifat dan peran Ali dalam Islam

en.yassine.net

Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan berani. Ia sering dijadikan tempat bertanya oleh para sahabat ketika mereka menemukan masalah yang sulit dijawab. Rasulullah sendiri mengakui kecerdasan Ali dengan menyebutnya sebagai “gerbang ilmu,” sebagaimana diriwayatkan dalam hadis: “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya.”

Ali juga memainkan peran penting dalam perang-perang Islam, termasuk Perang Badar dan Khandaq. Keberaniannya di medan perang menjadi salah satu alasan mengapa ia dihormati oleh kawan maupun lawan.

3. Kisah cinta dengan Fatimah Az-Zahrah

Dok. Canva.com

Ali menikah dengan putri Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahrah. Pernikahan mereka adalah lambang kesederhanaan dan ketakwaan. Meskipun hidup dalam kondisi yang jauh dari kemewahan, mereka saling mendukung dan mencintai satu sama lain. Dari pernikahan ini, lahirlah Hasan dan Husain, yang juga memainkan peran penting dalam sejarah Islam.

Cinta dan kesetiaan Ali terhadap Fatimah begitu kuat, dan ia tetap menghormatinya bahkan setelah Fatimah wafat.

4. Keberanian Ali dalam mensupport Islam

Pinterest.com

Keberanian Ali bin Abi Thalib tidak hanya terbukti di medan perang, tetapi juga dalam dukungannya terhadap dakwah Nabi. Salah satu momen penting adalah ketika Ali tidur di tempat tidur Nabi saat beliau dikejar oleh para musuh yang berniat membunuhnya pada malam hijrah ke Madinah.

Tindakan ini menunjukkan dedikasi dan kesetiaannya kepada Nabi dan agama Islam. Ali juga terus mensupport Islam meski harus menghadapi banyak ancaman dan tantangan dari pihak yang tidak menyukai penyebaran agama ini.

5. Gelar "Karamallahu Wajhah" untuk Ali bin Abi Thalib

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Sayyidina Ali memiliki gelar khusus, yaitu "Karamallahu Wajhah" yang artinya "Semoga Allah memuliakannya." Gelar ini unik karena tidak diberikan kepada sahabat lainnya. Salah satu alasan utama mengapa Ali diberi gelar ini adalah karena sepanjang hidupnya, ia tidak pernah menyembah berhala, bahkan sebelum memeluk Islam.

Selain itu, Ali juga dikenal sangat menjaga pandangannya, bahkan tidak pernah melihat aurat dirinya sendiri maupun orang lain. Gelar ini adalah bentuk penghormatan atas keteguhan iman dan kesuciannya.

6. Masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Setelah wafatnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat dalam sejarah Islam. Masa kekhalifahan Ali penuh dengan tantangan, termasuk konflik internal dan pemberontakan dari beberapa pihak yang tidak setuju dengan kepemimpinannya.

Meskipun demikian, Ali tetap memimpin dengan bijaksana dan adil. Salah satu pertempuran besar yang terjadi pada masa kekhalifahannya adalah Perang Jamal dan Perang Shiffin, yang memperdalam perpecahan politik di kalangan umat Islam.

7. Kisah wafatnya Ali bin Abi Thalib

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Pada malam 17 Ramadhan 40 Hijriah, suasana di kota Kufah terasa tenang, namun takdir telah menulis sebuah kisah tragis yang akan mengguncang umat Islam selamanya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sang Khalifah keempat, seorang pemimpin yang adil, bijaksana, dan berani, sedang bersiap untuk menunaikan salat Subuh di masjid. Seperti biasa, dengan ketundukan hati dan penuh keikhlasan, ia melangkah dengan tenang menuju rumah Allah.

Sejak kecil, Ali telah dikenal sebagai sahabat terdekat Rasulullah SAW. Anak dari Abu Thalib, paman Nabi, dan Fathimah binti Asad, Ali tumbuh dengan keteguhan iman dan kecerdasan luar biasa. Pada usia enam tahun, ia telah diasuh oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, mempelajari setiap langkah, perilaku, dan kebijaksanaan dari sang Nabi. Ali menjadi salah satu dari orang-orang pertama yang memeluk Islam, anggota dari Assabiqunal Awwalun, dan sepanjang hidupnya ia membuktikan kesetiaannya kepada agama Allah dengan tak kenal lelah.

Ali dikenal tak hanya karena keberaniannya di medan perang, namun juga kecerdasannya yang diakui oleh para khalifah sebelum dirinya. Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman sering kali meminta pendapatnya dalam menyelesaikan masalah yang pelik. Setelah Khalifah Utsman wafat dalam sebuah tragedi berdarah, umat Islam berbalik kepada Ali untuk memimpin mereka, dan ia diangkat menjadi khalifah pada tahun 35 Hijriah. Namun masa kekuasaannya tidaklah mudah. Fitnah merajalela, dan perpecahan di kalangan umat mulai menggerogoti kesatuan Islam.

Di tengah pergolakan tersebut, sekelompok pemberontak mulai menyebarkan kabar palsu bahwa Mu'awiyah seharusnya menjadi khalifah, bukan Ali. Di balik konspirasi ini, Ibnu Muljam, seorang pengkhianat dengan hati penuh dendam, merancang sebuah rencana keji. Ia berangkat ke Kufah dengan tekad menghentikan kepemimpinan Ali. Dengan pedang beracun yang ia beli dengan harga seribu dirham dan dilumuri racun seharga seribu lagi, Ibnu Muljam menunggu saat yang tepat untuk menyerang.

Saat Subuh itu tiba, di masjid yang hening, Ali bersiap memulai ibadahnya. Namun tiba-tiba, kilatan cahaya muncul di antara kegelapan. “Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali!” teriak Ibnu Muljam sebelum pedangnya menebas kepala Ali. Ali jatuh, darahnya membasahi bumi. Orang-orang segera mengepung Ibnu Muljam, dan dalam kekacauan itu, Hasan, putra Ali, diberitahu tentang ayahnya yang terluka parah.

Ketika Ali dibawa ke rumahnya, Ummu Kultsum, putri Ali, menangis tersedu-sedu, “Wahai musuh Allah, ayahku pasti akan baik-baik saja, dan Allah akan menghinakanmu,” tangisnya dengan kepedihan yang mendalam. Namun dengan dinginnya hati, Ibnu Muljam menjawab, “Untuk siapa kau menangis? Pedang ini telah kupersiapkan dengan racun yang mematikan. Tebasanku bisa membunuh seluruh penduduk kota ini jika mereka terkena.”

Dokter-dokter terbaik di Kufah dipanggil untuk mengobati luka Ali, termasuk seorang tabib bernama Atsir ibn 'Amr Al-Sukuni. Dengan hati-hati, Atsir mencoba segala cara untuk menyelamatkan nyawa Ali, termasuk menggunakan urat dari paru-paru kambing untuk mengeluarkan racun dari luka Ali. Namun takdir telah berbicara. Luka itu terlalu dalam, dan racun telah mencapai otaknya.

Pada Jumat pagi, 17 Ramadhan 40 Hijriah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, seorang pejuang sejati, pemimpin yang saleh, dan sahabat tercinta Nabi, menghembuskan napas terakhirnya. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi umat Islam. Ali, yang sepanjang hidupnya berdiri teguh untuk keadilan dan kebenaran, kini telah tiada.

Meninggalkan 33 anak, Ali tidak hanya meninggalkan warisan dalam bentuk keluarga, namun juga dalam bentuk kebijaksanaan dan keteladanan. Kehilangan Ali adalah kehilangan besar bagi umat, namun ajaran dan perjuangannya tetap hidup, menjadi cahaya yang menuntun generasi-generasi selanjutnya dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan iman. 

Ali bin Abi Thalib, sang Singa Allah, meskipun telah wafat, tetap abadi dalam hati mereka yang mencintai kebenaran.

Kisah hidup dan kisah wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga mengajarkan kita tentang keteguhan iman dan pengorbanan.

Baca juga:

The Latest