TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Anak di Gaza Terpaksa Diberi Obat Penenang, Demi Ringankan Rasa Sakit

Realitas di Gaza, anak-anak terluka parah diberi obat penenang

Instagram.com/motaz_azaiza

Sebuah tim dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengunjungi sebuah rumah sakit di Gaza yang menerima korban serangan fatal di sebuah kamp pengungsi. Mereka mendengarkan kisah tragis tentang keluarga-keluarga yang terbunuh dan melihat anak-anak yang sekarat.

Sebanyak 100 orang diterima di Rumah Sakit Al Aqsa untuk perawatan darurat, dengan sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak. Meskipun demikian, semua korban yang mengalami luka parah akibat serangan Israel memerlukan perawatan medis segera.

Artikel Popmama.com ini telah merangkum situasi anak di Gaza terpaksa diberi obat penenang demi ringankan rasa sakit saat meninggal.

1. Postingan tim WHO

Instagram.com/eye.on.palestine

Dilansir dari media X milik Sean Casey pada Jumat (29/12), Koordinator Tim Medis Darurat WHO ini melaporkan bahwa para dokter memberikan pereda nyeri kepada Ahmed, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun yang terluka parah. "Dia dirawat dengan obat penenang untuk meringankan penderitaannya saat dia meninggal," Dalam sebuah video yang diambil di dalam Al-Aqsa, Casey mengatakan sambil menangis.

2. Ledakan terjadi secara tiba-tiba

aljazeera.com

Anak yang malang tersebut terkena pecahan peluru dan puing-puing. Bagian otaknya terbuka, "Dia sedang menyeberang jalan di depan tempat penampungan tempat keluarganya tinggal dan bangunan di sampingnya meledak," sambung Casey.

Tidak ada dokter yang mampu menangani kasus neurologis yang kompleks, seperti banyak kasus di Gaza. 

3. Usaha terbaik sudah dilakukan

Twitter.com/DrTedros

Meskipun Rumah Sakit Al-Aqsa memiliki sumber daya medis dan bahan bakar yang diperlukan untuk menjalankan generator, Casey menyatakan bahwa fasilitas tersebut menerima lebih banyak pasien daripada jumlah staf dan tempat tidur yang tersedia. Menurutnya, banyak pasien yang terluka tidak dapat bertahan menunggu perawatan.

“Para dokter dan perawat di sini (Rumah Sakit Al-Aqsa Gaza) selalu berusaha melakukan yang terbaik, namun usaha terbaik mereka tidak akan pernah cukup sampai adanya gencatan senjata,” lanjut Sean Casey.

4. Korban yang terus bertambah

Instagram.com/motaz_azaiza

Petugas medis rumah sakit tidak dapat mengawasi jumlah korban yang terus meningkat yang masuk ke rumah sakit tersebut setiap hari, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu.“Kita tidak seharusnya melihat anak-anak seperti Ahmed menderita dan sekarat karena pengeboman dan serangan, dan rumah sakit yang tidak lagi memiliki kapasitas yang cukup untuk merawat mereka,” ucap Sean.

Sementara tim WHO berupaya memberikan bantuan medis di Rumah Sakit Al Aqsa di Gaza, realitas pahit menggambarkan penderitaan anak-anak yang terluka parah akibat serangan, bahkan anak di Gaza terpaksa diberi obat penenang demi ringankan rasa sakit saat meninggal. Dengan fasilitas kesehatan yang berjuang mengatasi lonjakan pasien dan keterbatasan sumber daya, tergambar betapa mendalamnya dampak konflik terhadap korban yang semakin bertambah.

Sean Casey, Koordinator Tim Medis Darurat WHO, menyoroti urgensi gencatan senjata sebagai langkah kritis untuk menghentikan penderitaan yang tidak terkendali di tengah konflik ini.

Baca juga:

The Latest