Kisah Sunan Kalijaga, Sosok Ulama Penyebar Islam di Pulau Jawa
Dikenal sebagai sosok paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di pulau Jawa
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Menyebarnya Islam di pulau Jawa dimulai sejak sekitar abad 14 dan 15 Masehi. Tokoh-tokoh yang memopulerkan Islam pada masa itu disebut dengan Wali Songo.
Terdiri dari 9 ulama, tokoh Wali Songo adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Pada artikel ini, Popmama.com akan membahas kisah Sunan Kalijaga sosok ulama yang menyebarkan Islam di pulau Jawa. Simak terus ya Ma.
1. Latar belakang Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir di Tuban pada tahun 1450. Ayahnya seorang bangsawan bernama Tumenggung Wilatikta dengan gelar Raden Ahmad Sahuri yang merupakan Adipati Tuban VIII. Sedangkan ibunya adalah putri dari Raden Kidang Telangkas bernama Dewi Nawangarum.
Nama asli Sunan Kalijaga adalah Pangeran Santi Kusumo. Karena beliau merupakan seorang anak dari Adipati Tuban, gelar sebagai Raden Mas Syahid/Raden Said juga disandangnya. Adipati adalah pemimpin sebuah Kadipaten atau wilayah dibawah Kerajaan Majapahit.
2. Sejarah masa remaja
Pada saat masa remaja, Raden Said adalah sosok berandalan dengan nama alias Brandal Lokajaya yang seringkali melakukan tindak kejahatan seperti mabuk-mabukan, berjudi, mencuri, dan kejahatan lainnya.
Karena sifatnya yang seperti itu, ayahnya yang merupakan seorang bangsawan dan penguasa Tuban pun malu karena memiliki anak yang sering berbuat onar. Lantas beliau pun mengusir Sunan Kalijaga muda dari rumahnya.
3. Diusir dari Kadipaten Tuban
Saat itu, Tuban sedang dilanda kemarau yang berkepanjangan, tetapi pemerintah terus menarik pajak dan upeti dari rakyat. Padahal ladang dan pertanian warga gagal panen dan membuat rakyat kelaparan.
Berbagai bentuk protes disampaikan kepada ayahnya, tetapi keputusan tersebut berasal dari kerajaan Majapahit melalui Kadipaten Tuban. Ayahnya pun tak dapat berbuat banyak karena urusan pajak bukanlah wewenang seorang Adipati.
Sebagai ungkapan kekecewaan dan bentuk protes, maka Raden Said memutuskan untuk mencuri gudang makanan Kadipaten dan membagikan makanan tersebut kepada rakyat miskin secara diam-diam. Walaupun terlihat dan bersikap layaknya berandalan, Sunan Kalijaga muda memiliki hati yang mulia.
Ternyata karena sering dilakukan, pencurian Raden Said akhirnya ketahuan oleh pihak Kadipaten. Hal ini lagi-lagi membuat ayahnya murka dan malu, akhirnya setelah Raden Said di usir dari rumah, kali ini diusir dari Kadipaten Tuban.
4. Hidup dari hutan ke hutan
Setelah Raden Said diusir dari Kadipaten Tuban oleh ayahnya, ia pun hidup di hutan. Kegiatan yang di lakukannya pun masih sama, yaitu merampok para pejabat dan bangsawan.
Hasil rampokan dari harta para pejabat dan bangsawan tersebut, tetap digunakan untuk kebutuhan rakyat kecil. Sunan Kalijaga memberikan harta rampasan tersebut kepada rakyat, untuk dibelikan makanan dan bertahan hidup di masa sulit.
Pada masa inilah identitas samaran Raden Said sebagai Brandal Lokajaya Populer karena sering membantu rakyat kecil dari hasil rampasannya.
5. Pertemuan dengan Sunan Bonang
Suatu hari di hutan, Brandal Lokajaya melihat lelaki tua menggunakan tongkat yang gagangnya berkilau layaknya emas. Kemudian tersiratlah keinginannya untuk memiliki tongkat tersebut.
Bergegaslah dia untuk mengejar pria tua tersebut untuk merampas tongkatnya hingga membuatnya kaget dan jatuh tersungkur.
Tongkat yang sudah dirampas tersebut ternyata bukanlah emas, lantas Raden Said mengembalikan tongkat tersebut.
Saat berusaha bangkit dari jatuhnya, Raden Said menemukan pria tua tersebut menangis. Raden Said menanyakan mengapa ia menangis, lelaki tua itu menjawab karena tanpa sengaja telah mencabut rumput saat tersungkur.
Kemudian terjadilah percakapan antara lelaki tua itu dengan Raden Said. Lelaki tua itu menasehati bahwa mencuri itu tidak baik, walaupun membagikan hasil curiannya kepada rakyat miskin.
Melakukan kebaikan dari hasil kejahatan sama saja seperti mencuci dengan air kencing, ucap lelaki tua.
Ternyata diketahui lelaki tua tersebut bernama Sunan Bonang. Lantas Sunan Bonang menunjuk ke arah pohon Aren. Raden Said melihat buah pohon tersebut merupakan emas. Ia berusaha mengambil buah tersebut, tetapi jatuh kemudian pingsan.
Saat Raden Said sadar, lelaki tua itu sudah tidak ada. Dan buah Aren emas tersebut adalah buah biasa setelah diperiksa kembali. Tak ada yang istimewa.
Raden Said tahu bahwa beliau bukanlah orang biasa, dan memiliki keinginan untuk berguru dengannya. Ia mencari-cari lelaki tua itu di sekitar, tetapi tak berhasil menemukannya.
Selang waktu yang cukup lama, Raden Said menemukan lelaki tua itu kembali yang sedang menyebrangi sungai. Ia memanggil dan menyampaikan niatnya untuk berguru.
Lelaki tua tersebut menjawab lalu memerintahkan Raden Said untuk menunggu di tepi sungai dan menitipkan tongkatnya. "Jangan pergi kemanapun sebelum saya kembali" ucapnya.
Perintah Sunan Bonang pun dituruti oleh Raden Said. Raden Said pun bertapa di pinggir sungai dan menanti dengan sabar. Setiap ada orang lewat Raden Said kerap dijuluki sebagai penjaga kali.
Setelah tiga tahun akhirnya Sunan Bonang kembali, dan menemukan tubuh Raden Said sudah tertutup semak belukar serta dedaunan.
Ia membersihkan tubuh Raden Said dari belukar dan dedaunan yang menutupinya. Lantas membangunkan Raden Said dan menyuruhnya untuk bersuci dan mengatakan, "Sudah waktunya anak muda, sudah waktunya kamu mempelajari ilmu sejatinya hidup ini, bersihkan tubuhmu dan jauhkan dari sifat iri dan dengki".
Sejak itulah Raden Said berguru kepada Sunan Bonang, dan sejak itu pula Raden Said resmi menjadi salah satu wali dengan nama Sunan Kalijaga.
6. Media dakwah
Selama berguru kepada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dapat lulus dalam banyak ujian. Beliau diajarkan ilmu syariat, Haqiqot dan Thoriqoh yang dapat menyelamatkan manusia dunia dan akhirat.
Modal itulah yang beliau gunakan pada dakwah-dakwahnya. Metode dakwah yang dipilihnya pun melalui cara yang unik dan sedikit berbeda, Sunan Kalijaga melakukan pendekatan pada aspek seni dan budaya.
Seperti gamelan dan wayang, yang sedang di gandrungi masyarakat pada masa itu. Gamelan dan wayang digunakan untuk mengundang masyarakat agar datang menuju masjid.
Tradisi lainnya adalah Grebeg dan Sekaten. Ide ini datang saat beliau mencoba mengajak masyarakat untuk datang ke masjid.
Grebeg dan Sekaten menarik perhatian warga yang pada saat itu berbarengan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sunan Kalijaga juga mengajak masyarakat untuk menghiasi kompleks masjid. Awalnya masyarakat sungkan untuk bergabung, tetapi perlahan mereka berdatangan untuk melewati gapura dan dipandu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
7. Peninggalan Sunan Kalijaga
Berkembangnya Islam di tanah Jawa dan Nusantara pada abad 15 ini, berbarengan dengan mulai runtuhnya Kerajaan Majapahit yang menganut kepercayaan Hindu.
Pada masa tersebut terjadi perang Paregreg yang membawa Kerajaan Majapahit menuju kehancuran.
Semasa Hidupnya, Sunan Kalijaga meninggalkan beberapa hasil karya seni yang secara turun temurun dapat dinikmati hingga saat ini, diantaranya adalah:
- Lagu Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul
- Baju Takwa
- Perayaan Sekatenan, Gerebeg Maulud
- Wayang Kulit
- Tokoh Wayang Kulit Punokawan, yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong
- Masjid Kadilangu di Desa Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak dan memiliki 3 anak bernama Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga Wafat pada tahun 1513 di Desa Kadilangu, dekat kota Demak dan dimakamkan di desa yang sama.
Demikianlah kisah sosok ulama Sunan Kalijaga yang telah menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dan hasil-hasil karyanya yang dapat kita temui hingga hari ini. Sampaikan kisah Sunan Kalijaga ini pada si Kecil untuk menambah wawasannya ya, Ma.
Baca juga:
- Lirik Lagu "Gundul-Gundul Pacul" Beserta Sejarahnya
- Kenali, Ini 9 Nama-Nama Wali Songo
- Sejarah dan Kisah Sunan Giri, Berdakwah Lewat Karya Seni