TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

7 Dongeng Panjang Kerajaan di Indonesia, Banyak Pelajaran untuk Anak

Tahukah kamu asal-usul nama Kota Trenggalek ternyata berasal dari suatu legenda

Tahukah Mama, tiap kisah yang terbentuk dari mulut ke mulut lisan rakyat Nusantara yang tidak terkait oleh waktu dengan maksud dan niat hanya untuk menghibur pendengarnya disebut sebagai cerita rakyat atau dongeng. Dongeng memiliki sifat yang tidak benar-benar nyata, terkadang malah terdengar tidak masuk akal. 

Cerita rakyat bertujuan untuk mendidik masyarakat (terutama rakyat lapisan bawah pada zaman kerajaan) dengan cara menyampaikan moral serta hal-hal positif kepada pendengarnya. Dari tiap konflik yang hadir di dongeng tersebut, pasti akan ada amanat yang berisi pelajaran hidup yang dapat kita petik dan terapkan di dunia nyata. 

Mama bisa juga lho menceritakan dongeng-dongeng sebagai pengantar tidur si Kecil! Karena itulah, Popmama.com hadirkan 7 dongeng panjang kerajaan yang bisa Mama bacakan pada anak mama. 

Jenis-Jenis Dongeng Ada Apa Saja?

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Dongeng ada beragam rupanya. Semuanya diatur sesuai dengan porsinya masing-masing agar dapat sesuai dengan isi pesan yang akan disampaikan oleh dongeng tersebut. Jangan heran kalau di dalamnya terdapat banyak bumbu-bumbu fantasi yang kadang membuat kita tidak percaya apa yang baru saja kita baca. Hahaha!

By the way, fantasi merupakan salah genre cerita yang penuh dengan hal-hal ajaib dan tidak nyata, seperti sihir, makhluk aneh, dan dunia yang berbeda dari dunia kita. Dalam cerita fantasi, si Kecil bisa bertualang ke tempat-tempat yang hanya ada di dalam imajinasi, seperti kerajaan dengan naga, penyihir, atau pahlawan super. Cerita fantasi berguna untuk mengembangkan imajinasi si Kecil. Dengan fantasi, si Kecil bisa belajar berpikir kreatif, berani bermimpi, dan nilai-nilai persahabatan serta kekeluargaan yang kental.

Ada beberapa jenis dongeng yang bisa si Kecil dengar atau baca, seperti:

  • Fabel: Cerita tentang binatang yang bisa bicara dan bertingkah seperti manusia. Misalnya, cerita Si Kancil, Kelinci dan Kura-Kura.
  • Legenda: Cerita tentang asal-usul tempat atau peristiwa. Contohnya, bagaimana Danau Toba terbentuk.
  • Mitos/Mite: Cerita tentang dewa atau makhluk ajaib di masa lalu. Contohnya, kisah Gunung Merapi.
  • Sage: Cerita tentang pahlawan atau kejadian penting dengan tambahan khayalan, seperti kisah Hang Tuah.
  • Cerita rakyat: Biasanya ini adalah kisah turun-temurun yang diajarkan oleh nenek moyang kita mengenai hal-hal penting dalam kehidupan.

Dongeng ini menyenangkan dan mengajarkan banyak hal pada si Kecil!

7 Dongeng Panjang Kerajaan

1. Legenda putri mandalika

Facebook/Wonderful Lombok Sumbawa

Alkisah di Kerajaan Sekar Kuning, Raden Panji Kusuma dan Dewi Seranting memiliki seorang putri cantik bernama Putri Mandalika. Mandalika dikenal sebagai putri yang baik hati dan dicintai rakyatnya. Ketika Mandalika beranjak dewasa, banyak pangeran dari berbagai kerajaan datang untuk meminangnya, membawa berbagai hadiah untuk memenangkan hatinya.

Namun, Putri Mandalika merasa terbebani oleh lamaran-lamaran itu. Ia pun semakin bingung setelah mendengar bahwa para pangeran saling bersaing dan mengancam akan berperang jika tidak dipilih. Untuk mencari solusi, Putri Mandalika meminta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta melalui semedi.

Setelah tiga hari bersemedi di tebing Pantai Seger, Putri Mandalika mengundang semua pangeran dan rakyat untuk mendengar keputusannya. Di hadapan mereka, ia menyatakan menerima semua lamaran agar tidak ada perang yang akan membawa penderitaan bagi rakyat. Ia kemudian melompat ke laut, mengorbankan dirinya demi kedamaian.

Putri Mandalika tidak pernah ditemukan, namun ribuan cacing laut berwarna-warni yang muncul di air dipercaya sebagai jelmaan sang putri. Rakyat memanfaatkan cacing-cacing tersebut untuk mengolah tanah dan makanan, yang membawa kesejahteraan bagi mereka.

Pengorbanan Putri Mandalika menginspirasi para pangeran untuk menjadi pemimpin yang lebih bijaksana dan mencintai rakyat mereka, seperti yang diinginkan putri sepanjang hidupnya.

2. Joko budug dan putri kemungning

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Alkisah, di daerah Ngawi, Jawa Timur, tersebutlah seorang raja bernama PRABU ARYO SETO yang bertahta di Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia mempunyai seorang putri yang rupawan bernama PUTRI KEMUNING. Sesuai namanya, tubuh sang Putri sangat harum bagaikan bunga kemuning.

Suatu hari, Putri Kemuning tiba-tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba-tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Sang Prabu menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda yang mau menikahi putrinya itu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh baginda, seperti memberikan putrinya obat-obatan tradisional berupa daun kemangi dan beluntas, namun penyakit sang putri belum juga sembuh. Sang Prabu juga telah mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan sang Putri.

Hati Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan.

Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat baginda larut dalam semedi, tiba-tiba terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.

“Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah DAUN SIRNA GANDA. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu.

Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun untuk mengadakan sayembara.

“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,” ujar Sang Prabu di depan rakyatnya.

Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja.

Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah JAKA BUDUG. Jaka Budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam wilayah KERAJAAN RINGIN ANOM. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh penyakit budug. Penyakit aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meski demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Namun, ia merasa malu dengan keadaan dirinya.

Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu.

Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu.

“Ampun, Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri,” pinta Jaka Budug.

Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah.

“Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu.

“Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu.

Pada mulanya, Prabu Aryo Seto ragu-ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya.

“Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang Prabu.

Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya.

Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati-hati. Begitu ia mendekat, tiba-tiba naga itu menyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi-tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat sedikit kewalahan. Lama-kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis.

Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari penyakit budug.

Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Seketika itu pula seluruh badannya menjadi bersih dan halus. Tak sedikit pun bintik-bintik merah yang tersisa.

Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan. dengan perasaan gembira. Setibanya di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya berseri-seri. Sang Prabu hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, barulah Sang Prabu percaya dan terkagum-kagum.

Jaka Budug kemudian mempersembahkan daun sirna ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Sungguh ajaib, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan daun sirna ganda itu. Kini, tubuh Sang Putri kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning.

Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Selang berapa lama setelah mereka menikah, Prabu Aryo Seto meninggal dunia. Setelah itu, Jaka Budug pun dinobatkan menjadi pewaris tahta Kerajaan Ringin Anom. Jaka Budug dan Putri Kemuning pun hidup berbahagia.

3. Legenda baturraden

Instagram/msofyanaffandy

Legenda Baturraden berasal dari daerah Banyumas, Jawa Tengah, dan mengisahkan tentang seorang pangeran dari Kerajaan Pajang yang jatuh cinta pada seorang gadis desa. Pangeran itu adalah putra seorang raja yang gagah perkasa dan memiliki segala kemewahan hidup. Suatu hari, saat ia berjalan-jalan ke kaki Gunung Slamet, ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang bekerja sebagai pelayan di istana. Gadis itu dikenal dengan nama Suta, seorang perempuan biasa namun berhati lembut.

Meski perbedaan status sosial sangat besar antara keduanya, pangeran jatuh cinta pada Suta dan memutuskan untuk menikahinya. Namun, kisah cinta mereka tidak direstui oleh ayah sang pangeran, karena Suta dianggap berasal dari kalangan biasa. Akibatnya, pangeran dan Suta diusir dari istana dan terpaksa hidup sederhana di sebuah tempat di lereng Gunung Slamet.

Tempat tersebut kemudian dikenal sebagai "Baturraden," yang berasal dari kata "Batur" (pelayan) dan "Raden" (gelar bangsawan). Ini menggambarkan perbedaan status sosial di antara mereka. Meski hidup dengan penuh kesederhanaan, pangeran dan Suta hidup bahagia bersama.

Legenda ini menjadi simbol cinta sejati yang tidak memandang status sosial dan mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu diukur dari kemewahan atau kekuasaan. Kini, Baturraden juga dikenal sebagai salah satu objek wisata terkenal di Banyumas, menawarkan keindahan alam lereng Gunung Slamet yang memukau.

4. Raden saraswati dan buaya putih: asal-usul trenggalek

decanherald.com

Dahulu kala di wilayah sebelah barat bumi perdikan Sendang Kamulyan ada sebuah padepokan. Padepokan itu bernama Padepokan Sinawang yang telah menganut agama Islam.

Pada waktu itu, wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang sedang dirundung duka. Putri Raja satu-satunya yang bernama Raden Ayu Saraswati sedang sakit. Sakitnya sangat aneh. Tubuh Raden Ayu Saraswati mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Siapa pun yang mencium baunya pasti akan segera menutup lubang hidungnya.

Raja sudah berusaha mengobati putrinya. Semua ahli pengobatan di wilayah kerajaan sudah didatangkan. Namun, tak seorangpun yang dapat mengobati penyakit aneh Raden Ayu Saraswati.

“Bagaimana ini, Paman Patih? Aku akan malu sekali kalau keadaan putriku diketahui para raja yang berkunjung kemari!” keluh Raja pada wakilnya.

“Pendapat hamba, sebaiknya putrid Baginda dititipkan untuk sementara waktu di padepokan (perguruan) Sinawang yang berada di sebelah barat kerajaan. Mungkin di sana nanti putri Baginda dapat menemukan jalan untuk sembuh,” usul Patih Kerajaan.

“Usulmu baik sekali, Paman Patih! Besok, Paman Patih sendiri yang harus mengantarkan putriku ke sana!” kata Raja.

Keesokan harinya, Patih Kerajaan mengantarkan Raden Ayu Saraswati ke Padepokan Sinawang. Ki Ageng Sinawang yang memimpin padepokan menyambutnya dengan hormat.

Para murid Padepokan Sinawang juga ikut menyambut kedatangan Patih Kerajaan. Namun, semua murid padepokan itu tak tahan dengan bau amis yang menyebar dari tubuh Raden Ayu Saraswati. Mereka pun menutup lubang hidungnya masing-masing.

“Maafkan saya, Ki Ageng! Saya adalah Patih Kerajaan Majapahit, sedangkan yang bersama saya ini adalah putrid Baginda Raja. Namanya Raden Ayu Saraswati. Namun, saat ini Tuan Putri sedang sakit. Tubuhnya mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Untuk itu, Baginda hendak menitipkan Tuan Putri di sini agar Ki Ageng membantu mengobatinya!”

“Oh, kiranya tamu kami adalah Tuan Patih Kerajaan Majapahit! Maaf bila sambutan kami kurang sopan. Kami dengan senang hati akan menerima Raden Ayu Saraswati tinggal di sini bersama murid-murid saya yang lain,” jawab Ki Ageng Sinawang.

Setelah mendengar jawaban Ki Ageng Sinawang, Patih Kerajaan Majapahit segera mohon pamit. Ki Ageng Sinawang pun memperkenalkan Raden Ayu Saraswati kepada murid-murid padepokan yang lain.

Banyak murid padepokan itu yang menutup hidung saat diperkenalkan dengan Raden Ayu Saraswati. Mereka saling berbisik memberi julukan Raden Ayu Saraswati dengan nama Rara Amis.

Raden Ayu Saraswati tak peduli dengan julukan Rara Amis yang diberikan kepadanya. Ia giat mengikuti petunjuk Ki Ageng Sinawang yang membantu untuk mengobati penyakitnya. Oleh Ki Ageng Sinawang, Raden Ayu Saraswati disuruh berendam di Sungai Bagong setiap pagi.

Pagi itu adalah hari ke empat puluh Raden Ayu Saraswati berendam di sungai Bagong. Namun, bau amis di tubuhnya belum berkurang sedikitpun. Bahkan baunya semakin bertambah menyengat. Hamper saja Raden Ayu Saraswati putus asa. Untunglah Ki Ageng Sinawang pandai memberinya semangat.

Saat baru beberapa jam Raden Ayu Saraswati berendam muncul seorang pemuda tampan berenang mendekatinya.

“Oh, maafkan aku, Nini! Aku tak tahu kalau ada seorang wanita sedang berendam di sini! Tapi, kenapa di sini baunya amis sekali, ya?” kata pemuda tampan itu sambil membaui udara yang berbau amis sampai hidungnya kembang kempis.

“Aku juga minta maaf, Tuan! Akulah yang menyebabkan bau amis di sini. Entah mengapa, tubuhku mengeluarkan bau amis. Aku berendam di sini untuk mengobati sakitku ini!” kata Raden Ayu Saraswati terus terang.

“Jadi tubuh Nona mengeluarkan bau amis? Kalau aku dapat menghilangkan bau amis dari tubuh Nona, bersediakah Nona menjadi istriku?” tanya pemuda tampan itu.

“Aku sudah hampir putus asa dengan penyakitku ini. Kalau Tuan bisa menyembuhkannya, aku akan menuruti apa pun keinginan Tuan!”

“Nona sudah berjanji, harus Nona tepati! Nah, sekarang aku akan mulai mengobatimu!”

Pemuda tampan itu berdiri tegak dengan kedua telapak tangan berada dalam air sungai. Secara perlahan air sungai tiba-tiba bergolak seperti air mendidih. Namun, air itu tidak panas. Justru air itu terasa sejuk di kulit Raden Ayu Saraswati.

Tak lama kemudian, pemuda tampan itu menarik kedua tangannya dari dalam air. Air sungai seketika tenang kembali. Setelah itu, pemuda itu mulai mengobati tubuh Saraswati dengan cara menjilat tubuhnya. Beberapa saat kemudian selesailah sudah pengobatan itu.

“Sekarang bau amis di tubuh Nona sudah hilang. Nona harus mau menjadi istriku!”

Ternyata benar! Tubuh Raden Ayu Saraswati sudah tidak mengeluarkan bau amis lagi. Justru sekarang tubuhnya mengeluarkan bau harum.

“Tuan, aku Saraswati akan menurut menjadi istri Tuan!” kata Raden Ayu penuh rasa gembira.

“Baiklah, Saraswati! Aku Sraba ingin segera melamarmu. Ayo, tunjukkan di mana rumahmu!”

Raden Ayu Saraswati mengajak Sraba menghadap Ki Ageng Sinawang. Sraba pun mengutarakan keinginannya untuk menikahi Raden Ayu Saraswati. Ki Ageng Sinawang pun mengutus salah satu muridnnya untuk mengabarkan berita pernikahan Raden Ayu Saraswati ke Kerajaan Majapahit.

Pernikahan Raden Ayu Saraswati dan Sraba dilakukan secara sederhana. Sang Raja pun dating untuk merestui pernikahan putrinya. Setelah itu, Raden Ayu Saraswati meminta pada ayahandanya agar diizinkan hidup berumah tangga di padepokan Ki Ageng Sinawang. Raja itu tak keberatan.

Tak lama kemudian, Raden Ayu Saraswati pun hamil. Pada saat Raden Ayu Saraswati sedang hamil itu, Sraba ingin mengurung diri di sebuah kamar.

“Aku hendak bertapa selama beberapa hari untuk memohon kepada Tuhan agar anak kita kelak menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak. Pesanku, selama kandunganmu belum lahir, janganlah Dinda mengambil jemuran sebelum senja tiba. Dinda juga tidak boleh masuk ke kamar tempat pertapaanku sebelum aku sendiri yang keluar.”

“Baik, Kakanda! Akan aku ingat baik-baik pesan, Kanda!”

Raden Ayu Saraswati mula-mula sangat memegang teguh pesan suaminya. Namun, ketika mendekati hari kelahiran bayinya, ia mulai melanggar pesan suaminya. Raden Ayu Saraswati mengambil jemuran sebelum senja tiba.

Sejak melanggar pesan suaminya itu, perasaan Raden Ayu Saraswati tidak menentu. Ia sangat rindu untuk bertemu dengan suaminya. Dengan nekat, Raden Ayu Saraswati masuk ke kamar tempat suaminya bertapa.

Raden Ayu Saraswati sangat kaget ketika melihat seekor buaya putih di kamar pertapaan suaminya.

“Bu..bu..buaya! Ke..kenapa ada buaya di sini ?”

“Jangan takut Dinda Saraswati! Aku sebenarnya adalah Sraba suamimu. Karena engkau telah melanggar pesan-pesanku maka aku kembali ke wujud asliku. Aku sebenarnya adalah buaya putih penguasa Sungai Bagong. Hari ini juga aku akan kembali ke Sungai Bagong. Hanya pesan terakhirku, kelak jika anak kita lahir laki-laki, berilah nama Menak Sopal! Sudah Dinda Saraswati! Aku akan pergi!” kata buaya putih itu yang kemudian menghilang.

Beberapa bulan kemudian, Raden Ayu Saraswati benar-benar melahirkan bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan buaya putih jelmaan suaminya, bayi laki-laki itu diberinya nama Menak Sopal.

5. Asal-usul wonogiri

Facebook/Kota Wonogiri

Legenda asal mula nama Wonogiri berawal dari masa kepemimpinan Raden Patah di Demak Bintoro, ketika agama Islam mulai menyebar di Jawa melalui para Walisanga. Pada suatu waktu, diadakan rapat besar untuk membangun Masjid Agung Demak, di mana setiap wali diminta mencari kayu besar untuk dijadikan tiang penyangga masjid. Sunan Giri, salah satu Walisanga, pergi ke selatan Pulau Jawa untuk mencari kayu jati.

Setelah perjalanan panjang, Sunan Giri tiba di hutan dengan pohon jati besar, namun merasa diikuti oleh sosok misterius. Sosok itu terus membuntutinya hingga Sunan Giri bersemedi dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Sosok misterius berhenti mengikuti, mengira Sunan Giri masih di tempat itu. Sunan Giri melanjutkan perjalanan dan akhirnya menemukan pohon jati besar yang cocok di hutan milik Ki Donosari.

Ki Donosari dengan sukarela mengizinkan Sunan Giri membawa pohon tersebut untuk Masjid Agung Demak. Mereka mengarungi Sungai Keduwang hingga pohon jati bisa dihanyutkan ke Bengawan Solo. Sebagai tanda terima kasih, Sunan Giri menamai wilayah itu "Wonogiri," yang berasal dari kata "Wana" (hutan) dan "Giri" (gunung), sesuai dengan kondisi wilayahnya. Hutan tempat Sunan Giri menebang jati juga diberi nama "Hutan Donoloyo."

Dalam perjalanan pulang, Sunan Giri kembali ke tempat di mana ia menancapkan tongkatnya dan bertemu sosok misterius yang ternyata bernama Wasingo. Sebagai tanda penghormatan, Sunan Giri memberi nama daerah tersebut Gunung Giri. Wasingo kemudian menjadi penunggu gunung itu setelah wafat. Gunung Giri berada 2 km dari kota Wonogiri dan menjadi tempat pemakaman kerabat Keraton Mataram.

6. Legenda joko kendil

Popmama.com/Dhia Althifa Maharani

Berikut adalah versi yang lebih sederhana dari cerita **Joko Kendil**:

Joko Kendil adalah seorang anak kecil yang hidup miskin dan sering berpindah-pindah tempat. Ia tidak punya rumah tetap dan hanya mengandalkan bantuan orang-orang untuk makan. Tubuh Joko kecil seperti sebuah *kendil* (periuk kecil), sehingga orang-orang menjulukinya "Joko Kendil."

Suatu hari, Joko mengetuk pintu rumah Mbok Rondho, seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Melihat Joko yang malang, Mbok Rondho mengajak Joko untuk tinggal bersamanya. Joko sangat senang dan dengan senang hati membantu Mbok Rondho berkebun dan mengurus rumah.

Waktu berlalu, namun anehnya, meski Joko bertambah dewasa, tubuhnya tetap kecil. Suatu hari, Joko meminta izin kepada Mbok Rondho untuk menikahi putri raja. Mbok Rondho terkejut, karena mereka miskin, tapi Joko terus memohon. Akhirnya, Mbok Rondho setuju dan mereka pergi menemui raja.

Raja memberi kebebasan kepada ketiga putrinya untuk memutuskan apakah mereka mau menikah dengan Joko. Dua putri, Putri Kantil dan Putri Mawar, menolak mentah-mentah karena fisik Joko yang tidak menarik. Namun, Putri Melati, putri bungsu, dengan hati baiknya, menerima lamaran Joko.

Setelah menikah, Joko dan Putri Melati hidup bahagia, meskipun Putri Kantil dan Putri Mawar sering menghina mereka. Suatu hari, ketika Joko tidak hadir di acara kerajaan, Putri Kantil dan Putri Mawar mengejek Putri Melati dan suaminya. Putri Melati sangat sedih dan akhirnya melempar kendil di kamarnya hingga pecah.

Saat kendil itu pecah, tiba-tiba seorang pangeran tampan muncul di kamar Putri Melati. Ternyata, pangeran itu adalah Joko Kendil yang sudah berubah. Ia menjelaskan bahwa sejak lahir, ia terkena kutukan, dan kutukan itu hanya bisa hilang jika ada seseorang yang tulus mencintainya dan memecahkan kendil tersebut. Putri Melati telah membebaskan Joko dari kutukan itu.

Setelah itu, Joko dan Putri Melati hidup bahagia, sementara kedua kakaknya merasa iri. Mereka sering mengunjungi Mbok Rondho yang juga bahagia melihat Joko tidak melupakan jasa-jasanya. 

Pesan moral dari cerita ini adalah jangan menilai seseorang dari penampilannya saja, perlakukan semua orang dengan baik, dan jangan merendahkan orang lain.

7. Kisah putri junjung buih

wikipedia.org

Di sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan, dua bersaudara, Raja Patmaraga (Raja Tua) dan adiknya Raja Sukmaraga, memerintah. Keduanya belum memiliki anak, namun Sukmaraga sangat menginginkannya. Setiap malam, ia dan istrinya berdoa kepada para dewa agar diberi anak kembar. Akhirnya, Sukmaraga mendapat petunjuk untuk bertapa di sebuah pulau dekat Banjarmasin. Saat bertapa, ia diberi wangsit agar istrinya memakan bunga Kastuba. Setelah mengikuti petunjuk tersebut, istrinya hamil dan melahirkan sepasang bayi kembar yang tampan.

Mendengar kabar itu, Raja Tua juga ingin memiliki anak. Ia pun berdoa kepada para dewa dan mendapat petunjuk untuk bertapa di Candi Agung di luar kota Amuntai. Dalam perjalanan pulang dari pertapaan, Raja Tua menemukan seorang bayi perempuan cantik terapung di atas buih di sungai. Bayi tersebut diberi nama Puteri Junjung Buih. Ajaibnya, bayi itu sudah bisa berbicara dan meminta ditenunkan kain dan selimut dalam setengah hari serta dijemput dengan empat puluh wanita cantik.

Raja Tua mengadakan sayembara untuk memenuhi permintaan bayi itu, dengan hadiah menjadi pengasuh sang puteri. Seorang wanita bernama Ratu Kuripan memenangkan sayembara itu karena tidak hanya menyelesaikan tenunannya dalam waktu singkat, tetapi juga menghasilkan kain yang sangat indah. Ratu Kuripan pun diangkat menjadi pengasuh Puteri Junjung Buih dan memainkan peran penting dalam kehidupan sang puteri.

Demikianlah 7 dongeng panjang kerajaan yang super insightful dan seru untuk anak mama.

Baca juga:

The Latest