TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Viral Utas Konten YouTube Kids Tidak Ramah Anak, Benarkah?

Utasan di Twitter terkait konten YouTube Kids tidak ramah anak membuat orangtua harus lebih waspada

Kbtx.com

YouTube Kids menjadi layanan video alternatif yang bisa digunakan oleh anak-anak. Namun, baru-baru ini justru beredar utasan di media sosial yang menyebutkan bahwa layanan video anak tersebut tidak aman digunakan oleh anak-anak.

Dalam cuitan akun milik @AldoButtazzoni, ia membagikan sebuah utasan yang menjelaskan tentang konten-konten di YouTube Kids yang dinilai tidak sesuai dengan usia anak, salah satunya konten LGBTQ.

Tak hanya influencer luar negeri saja, Ma. Rupanya salah seorang dokter spesialis anak Indonesia yakni dr. Shela P. Sundawa, Sp.A juga menuliskan keresahannya dengan konten-konten yang ada di YouTube Kids.

Dalam akun Twitter pribadi milik dr. Shela (@oxfara), ia menyebutkan, "Fenomena maraknya konten YouTube Kids yg memaparkan tentang LGBTQ ini meresahkan sekali."

Lantas, benarkah layanan video anak yang selama ini dinilai ramah anak justru tidak aman untuk digunakan?

Melansir dari berbagai sumber, yuk simak informasi selengkapnya dalam artikel yang telah Popmama.com rangkumkan berikut ini.

1. Konten identitas gender yang tidak sesuai

Twitter.com/AldoButtazzoni

Menurut utas tersebut, terdapat channel khusus bernama “Queer Kid Stuff” yang merilis video-video bertema normalisasi ideologi transgender, bagaimana cara mendukung aktivisme LGBTQ+, serta normalisasi gaya hidup LGBTQ+ yang secara khusus menargetkan audience anak-anak.

Padahal, menurut dr. Shela, hal ini tidak sebaiknya ada dalam layanan video tersebut yang menargetkan audiens anak-anak sebelum usianya. 

Dalam cuitan yang dibagikannya beberapa waktu lalu, dokter spesialis anak yang aktif berbagi edukasi di Twitter pribadinya itu menuliskan, "Anak baru belajar tentang gender role setelah umur 4 tahun, kalo dia dikenalkan bahkan sebelum usia tersebut, akan sangat sulit untuknya memahami peran mana yg seharusnya dia contoh nanti."

Channel ini juga mengunggah beberapa video yang mengajarkan konsep tentang "identitas gender". Padahal sampai sekarang, masih belum ada bukti biologis akan keberadaan "identitas gender".

Lebih lanjut, dr. Shela menyebutkan bahwa ilmu tentang berbagai jenis gender dan orientasi seks sebenarnya ilmu baru di bidang psikologi dan sosial.

2. Konten yang dikhawatirkan memengaruhi pola pikir anak

Twitter.com/AldoButtazzoni

Tak hanya satu channel saja, Ma, ada pula channel aktivis LGBTQ+ yang lain, yaitu "Pop'n'Olly" yang pernah membagikan video animasi dengan menggunakan cerita romantis yang menggambarkan hubungan sesama jenis.

Meski dibuat dengan cara yang menarik dan penuh warna, adanya konten seperti ini tentu saja bertentangan dengan nilai dan norma yang ada di Indonesia. 

Jika anak menonton sekali atau duka kali saja mungkin tidak akan langsung memengaruhi pikiran mereka. Namun, bagaimana jika anak dibiarkan terus menerus mengakses konten demikian? Bisa orangtua bayangkan bagaimana pola pikir anak nantinya akan tergiring untuk menormalisasikan hal-hal yang seharusnya tidak bisa dinormalisasi.

3. Menjelaskan arti sexual consent yang tidak tepat

Twitter.com/AldoButtazzoni

Tak sampai di situ, konten lainnya juga memperkenalkan tentang arti sexual consent atau kesepakatan seksual pada orang lain terhadap dirinya.

Video-video tersebut mengajarkan anak cara memberikan persetujuan yang lebih mengarah ke aktivitas seksual.

Video yang dibagikan memang dikemas dengan sangat baik dan bisa menarik perhatian anak, seperti banyaknya permainan dan lagu-lagu ceria khas anak-anak. Namun, isi pesan di dalam video tersebut justru sangat membahayakan untuk anak saksikan, Ma.

Dalam konten tersebut dijelaskan bahwa kesepakatan seksual tidak perlu menunggu batasan usia. Disebutkan bahwa anak-anak usia 12 tahun ke bawah juga punya hak untuk memberikan kesepakatan dalam berhubungan seksual.

Dari konten-konten yang dibahas dalam utas tersebut, dapat dilihat bahwa pembuat konten yang ada di YouTube Kids tersebut ingin mengajak anak untuk memiliki pola pikir tekait hak atas pilihan gender, serta memberikan izin berhubungan seksual.

4. Orangtua dihimbau lebih waspada

Freepik/jcomp

Menanggapi utasan terkait keamanan YouTube Kids dikalangan anak-anak, banyak orangtua yang dibuat resah dengan tayangan yang saat ini marak disaksikan oleh anaknya.

Pun yang dirasakan oleh dr. Shela. Sebagai orangtua, ia merasa bingung dan resah untuk memberikan izin anaknya menonton. Namun, disisi lain ia tidak selalu bisa mendampingi anaknya setiap saat.

"Terus terang sebagai orangtua, saya bingung mau ngijinin anak saya nonton apa. Sementara saya ga bisa terus mendampingi ketika dia nonton," sambung dr. Shela dama cuitan di Twitter pribadinya.

Dengan demikian, orangtua dihimbau agar senantiasa waspada dan sebisa mungkin mengawasi apa pun tontonan yang anak saksikan. Penting diketahui bahwa konten pro LGBTQ saat ini sudah lebih mudah diakses, bahkan melalui layanan video anak sekali pun. 

Sebagai negara yang mayoritas diisi oleh umat muslim, para orangtua juga dihimbau untuk mengajarkan etika seksual Islam yang menjaga fitrah anak. Etika ini jauh berbeda dari edukasi seks yang menormalisasikan zina lewat konsep hak seksual dan sexual consent.

Semoga informasi di atas bisa menambah wawasan kita para orangtua agar lebih bijak dalam memberikan tontonan yang baik untuk anak ya, Ma.

Baca juga:

The Latest