TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Kisah 10 Tokoh G30SPKI, Pahlawan Revolusi Indonesia

Dalam rangka mengenang dan menghormati, 10 perwira yang gugur diberikan gelar Pahlawan Revolusi

Tragedi Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) merupakan salah satu bab paling kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini, yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, melibatkan serangkaian pembantaian dan percobaan kudeta yang dipimpin oleh DN Aidit dengan tujuan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. 

Meskipun aksi tersebut berpusat di Jakarta dan Yogyakarta, dampaknya terasa di seluruh nusantara, dengan aktivis PKI tak hanya menyiksa dan membunuh rakyat yang tidak bersalah tetapi juga menculik dan membantai anggota TNI Angkatan Darat.

Peristiwa tragis ini tidak hanya meninggalkan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia tetapi juga mengingatkan kita pada pentingnya memahami sejarah untuk menghargai nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Dalam rangka mengenang dan menghormati sepuluh perwira yang gugur dalam mempertahankan kedaulatan negara, mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi. 

Berikut ini Popmama.commerangkum kisah 10 tokoh G30SPKI!

1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani

wikimedia.org/Davidelit

Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922. Dari tahun 1962, Ahmad Yani memegang jabatan sebagai Panglima AD ke-6 di era pemerintahan Presiden Soekarno, dan merupakan salah satu favorit presiden. Sebelum terjadi peristiwa pada tanggal 30 September 1965,

Ahmad Yani telah mendengar rumor tentang DN Aidit dan pasukannya yang berencana untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal, tetapi ia tidak menganggapnya serius karena pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa itu hanya ancaman kosong. 

Oleh karena itu, ia tidak meningkatkan keamanan pribadi. Namun, pada dini hari 1 Oktober 1965, pasukan Pasopati PKI mengepung kediamannya. Ahmad Yani yang mencoba melawan akhirnya ditembak dan tubuhnya dibawa pergi dalam keadaan bersimbah darah. 

Pada 3 Oktober 1965, jasadnya ditemukan di sumur Lubang Buaya, Jakarta Timur, bersama dengan enam perwira lainnya. Ahmad Yani dihormati sebagai salah satu Pahlawan Revolusi dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di berbagai kota besar.

2. Letnan Jenderal R. Suprapto

Wikimedia.org/Davidelit

Letnan Jenderal R. Suprapto dikenal sering berada dekat dengan kematian, mulai dari saat ia menjadi tawanan tentara Jepang hingga berperang di Ambarawa melawan Sekutu, namun selalu berhasil selamat. 

Tidak ada yang menduga bahwa akhirnya ia akan dibunuh oleh orang-orang yang seharusnya ia lindungi, yaitu warga negaranya sendiri pada tanggal 30 September 1965. 

Suprapto diambil dari rumahnya di malam hari oleh pasukan Cakrabirawa yang mengaku bahwa ia dipanggil oleh Presiden Soekarno. Namun, ia menghilang sejak saat itu dan ditemukan lagi pada tanggal 3 Oktober 1965 dalam kondisi sudah tidak bernyawa di Lubang Buaya, diduga karena sebelas peluru yang bersarang di tubuhnya.

3. Letnan Jenderal M.T. Haryono

Wikimedia.org/Davidelit

Mas Tirtodarmo Haryono yang merupakan seorang letnan jenderal di Angkatan Darat, adalah salah satu perwira tinggi TNI yang menjadi korban kekejaman PKI. 

Diambil paksa oleh pasukan Cakrabirawa pada 30 September 1965 selepas tengah malam dengan dalih dipanggil oleh Soekarno. M.T. Haryono sempat menyuruh istri dan anak-anaknya untuk segera pergi. 

Saat mencoba merebut senjata dari salah satu penculiknya, ia ditembak hingga mati di dalam kamarnya sendiri dan jasadnya kemudian dibawa dengan truk ke Lubang Buaya.

4. Letnan Jenderal S. Parman

Wikimedia.org/Davidelit

S. Parman atau yang dikenal juga sebagai Letnan Jenderal Siswodo Parman, memiliki latar belakang pendidikan kedokteran sebelum masuk ke dunia militer. 

Ia menjalankan tugas besar dalam menghentikan pemberontakan APRA. Sebagai sosok intelijen di Angkatan Darat yang sangat dekat dengan informasi tentang PKI, ia memiliki akses ke rahasia dan rencana kelompok tersebut, apalagi mengingat kakaknya, Ir. Sakirman, adalah salah satu politbiro PKI. 

Namun, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 WIB, pasukan Cakrabirawa mengepung kediamannya dan S. Parman ditembak mati, dan tubuhnya dibuang di Lubang Buaya. Dugaan kuat adalah bahwa sang kakak adalah otak dari penculikan dan pembantaian tersebut.

5. Mayor Jenderal D.I. Pandjaitan

Wikimedia.org/Davidelit

Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan menjadi target penculikan dan pembunuhan, diduga karena berhasil menggagalkan upaya penyelundupan senjata dari Tiongkok yang dilakukan oleh PKI. Pasukan PKI menerobos masuk ke kediaman Pandjaitan pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.30 WIB dan menembaki rumahnya secara bertubi-tubi.

Meskipun Pandjaitan mencoba mengambil senjatanya untuk mempertahankan diri, sayangnya pistolnya macet. Pandjaitan pada akhirnya memutuskan untuk menemui pasukan PKI dengan damai. Akan tetapi, pada saat itu juga kepalanya dipukul hingga ia terjatuh dan peluru ditembakkan ke arah tubuh Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan.

Bersama dengan Ahmad Yani dan M.T. Haryono, D.I Pandjaitan dibawa ke Lubang Buaya dan merupakan tiga perwira yang dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan telah meninggal dunia.

6. Mayor Jenderal Sutoyo

wikimedia.org/Davidelit

Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, yang merupakan jaksa utama militer pada saat itu, disergap oleh pasukan Cakrabirawa dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965 di kediamannya. Pasukan yang berisikan puluhan orang itu menerobos masuk sambil berteriak-teriak dan menghancurkan semua barang yang ada di rumah Sutoyo. 

Sutoyo memilih untuk tidak melawan agar kerusuhan yang dilakukan puluhan orang itu tidak semakin parah. Sutoyo, pada akhirnya dibawa oleh pasukan yang mengaku sebagai Pengawal Presiden Soekarno. 

Kejadian tersebut membuat keluarga yang ditinggalkan panik karena mereka tidak mengetahui ke mana Sutoyo dibawa. Pada tanggal 3 Oktober 1965, Sutoyo Siswomiharjo dikabarkan ditemukan bersama yang lainnya dalam kondisi sudah tidak bernyawa di Lubang Buaya.

7. Kapten Pierre Tendean

wikimedia.org/Davidelit

Pierre Andreas Tendean adalah perwira TNI keturunan Prancis yang masih sangat muda. Usianya pada saat itu 26 tahun. Akan tetapi, di usia yang sangat muda itu, Pierre Tendean sudah memiliki banyak pengalaman, salah satunya adalah terlibat dalam penumpasan PRRI/Permesta. Pierre Tendean pada saat itu masih menjabat sebagai ajudan dari Jenderal Abdul Haris Nasution. 

Hal itu pun yang membuat Tendean berada di kediaman jenderal sasaran PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Saat Tendean sedang tertidur di kamar belakang rumah dinas Jenderal Nasution pada dini hari, pasukan Cakrabirawa datang menyergap dan menembak rumah secara bertubi-tubi. Hal tersebut menyebabkan kegaduhan. 

Tendean bersiap-siap mengisi pistol dan mendatangi pasukan tersebut. Namun, Pierre Tendean dihadang banyak orang bersenapan. Pasukan Cakrabirawa mengira bahwa Tendean adalah Nasution sehingga mereka membawanya.

Saat di Lubang Buaya, Pierre Tendean ditembak mati dengan para jenderal lain seperti Sutoyo, S. Parman, dan Suprapto. Sementara itu, Nasution telah melarikan diri dengan melompati pagar belakang.

8. AIPDA Karel Satsuit Tubun

wikimedia.org

Salah satu korban kekejaman PKI lainnya adalah Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun atau KS Tubun. KS Tubun merupakan satu-satunya perwira yang bukan merupakan anggota TNI dan menjadi korban kekejaman PKI.

KS Tubun sedang berjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena pada saat kejadian tersebut. Kemudian, pasukan Cakrabirawa yang ingin mendatangi rumah Jenderal A.H. Nasution juga memiliki keinginan untuk melumpuhkan pasukan yang menjaga Leimena. Hal ini dikarenakan rumah keduanya berdekatan. 

Dengan senjata yang masih melekat di bajunya, KS Tubun segera menghadapi mereka. Namun sayangnya, KS Tubun yang saat itu sendiri harus melawan delapan orang. KS Tubun akhirnya tertembak dan tewas di tempat.

Meskipun KS Tubun tidak termasuk dalam jajaran perwira yang dibuang di Lubang Buaya, dirinya tetap termasuk ke dalam jajaran Pahlawan Revolusi Indonesia.

9. Brigadir Jenderal Katamso

wikimedia.org

Pada saat berita para perwira yang hilang di Jakarta tersebar ke kalangan TNI, Brigjen Katamso Darmokusumo sedang bertugas di Yogyakarta dengan para prajuritnya. Mereka tidak tahu pasti kejadian apa yang sebenarnya telah terjadi. Dalam keadaan yang kelam, Katamso pun masih harus menghadiri rapat pada tanggal 1 Oktober 1965 di Magelang. Katamso tidak mengetahui bahwa tepat setelah dirinya pergi, terdapat pengambilalihan markas oleh orang-orang militer di Yogyakarta yang bersekutu dengan PKI.

Setelah rapat, Katamso pun mengadakan rapat kembali bersama beberapa anak buahnya di rumah dinasnya yang berada di Yogyakarta. Mobil dan truk besar berisi pasukan bersenjata pun mulai berdatangan secara tiba-tiba. Beberapa anak buah Katamso diketahui ternyata juga berkhianat dan mereka sudah mempersiapkan kuburan untuknya.

Orang-orang dari mobil dan truk besar tersebut menodongkan senjata ke arah Katamso dan memaksanya ikut dengan mereka. Ia meninggal dunia setelah kepalanya dipukul dua kali dengan logam.

10. Kolonel Sugiyono

wikimedia.org

Pada saat itu, Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto merupakan kepala Korem 072 Yogyakarta yang didatangi oleh Brigjen Katamso. Sama seperti Katamso, Sugiyono juga merupakan korban pengkhianatan militer Yogyakarta yang bersekutu dengan PKI. Kisah pembunuhan Sugiyono ini memiliki dua versi.

Versi pertama, Sugiyono berada di rumah dinas Katamso ketika penyergapan berlangsung. Pasukan PKI yang datang beserta para pengkhianat membawa Sugiyono dan Katamso untuk disiksa dan dibunuh ke Batalyon Kentungan. 

Versi kedua dari kisah ini menyatakan bahwa Sugiyono dan Katamso tidak berada di tempat yang sama. Sugiyono pada saat itu berencana untuk  bertemu Katamso. Namun, pada akhirnya ditangkap di markas Korem Yogyakarta.

Sebelum akhirnya dibunuh pada tanggal 2 Oktober 1965, Sugiyono dan Katamso sempat disiksa dengan kejam. Jasad dari Sugiyono dan Katamso baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965, yaitu 19 hari setelahnya. Kedua perwira itu akhirnya menjadi Pahlawan Revolusi yang berasal dari Yogyakarta.

Itu dia 10 Tokoh G30SPKI yang keberanian dan pengorbanannya harus selalu diingat dan dihormati oleh generasi penerus bangsa!

Baca juga:

The Latest