TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Pendapat Ahli terkait Ganja Medis, Luruskan Kesalahan Persepsi

Begini pendapat ahli tentang ganja medis yang masih disalahartikan oleh sebagian masyarakat

Freepik/jcomp

Istilah ganja medis sedang menjadi buah bibir khalayak. Topik yang paling banyak disorot tentang legalisasi ganja medis. Hal ini pun tengah dikaji oleh pakar kesehatan dan pembuatan kebijakan (stakeholder) Indonesia.

Sayangnya, pandangan masyarakat tentang ganja medis masih kurang sesuai. Umumnya ganja medis dimaknai sebagai ganja yang digunakan untuk alasan terapi. Hemat berpikir, itulah yang disebut sebagai ganja medis.

Padahal pemahaman tersebut sangatlah keliru. Istilah ganja medis berasal dari kata “medical cannabis.” Dari laman Healthdirect, ganja medis adalah obat yang berasal dari ganja. Perlu digarisbawahi ganja medis ini bukan secara keseluruhan dari tanaman ganja melainkan komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi.

Lantaran termasuk kategori obat-obatan maka ganja medis harus memenuhi standarisasi obat. Mulai dari sifatnya, kandungan senyawa hingga ketepatan dosis. Dimana hal ini harus disesuaikan dengan indikasi dan cara atau penggunaan yang tepat.

Berikut pemaparan Popmama.com mengenai pendapat ahli terkait ganja medis, meluruskan kesalahan persepsi di masyarakat. Mari simak dengan cermat ya, Ma.

Komponen dan Efek Samping Ganja Medis Ditinjau Dari Kacamata Farmakologi

Pexels/Martin Lopez

Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, selalu Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gadjah Mada menuturkan komponen fitokimia pada ganja medis. Dimana komponen utamanya adalah golongan cannabinoids.

Cannabinoids merupakan senyawa kompleks yang tersusun dari beberapa komponen. Mulai dari komponen primer  yakni Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat Psikoaktif serta Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat Psikoaktif.

THC menyebabkan efek-efek terhadap mental pemakaiannya. Seperti efek memabukkan dan ketergantungan. Sementara dampak penggunaan CBD adalah efek farmakologi sebagai anti kejang.

CBD bahkan sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan oleh FDA, misalnya dengan nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.

Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.

Kegunaan Ganja Medis Bagi Pengidap Cerebral Palsy

Freepik/Freepik

Kasus yang viral seorang ibu yang memohon ganja medis diperbolehkan agar sang anak yang mengidap penyakit Cerebral Palsy bisa diobati dengan baik. Karena anaknya kerap mengalami kejang.

Menurut Prof Zullies, kejang itulah yang dicoba diatasi dengan ganja. Namun dengan memfokuskan pada penggunaan komponen CBD, bukan memakai keseluruhan tanaman ganja.

“Dalam bentuk tanaman, ganja masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental dan memabukkan,” jelas Prof Zullies.

Beliau menambahkan kandungan dalam ganja medis bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD serta terukur dosisnya dan pengobatannya pun harus diawasi oleh dokter yang kompeten.

Seberapa Mendesak Ganja Medis untuk Dilegalkan?

Pexels/Kindel Media

Berdasarkan keterangan dari rilis, Prof Zullies menjelaskan ganja medis hanyalah merupakan alternatif dari obat lain. Apabila obat primer yang digunakan tidak memberikan respon yang baik. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan.

Walaupun begitu, penggunaanya wajib dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis. Jadi dosis dan cara penggunaannya jelas.

“Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan. Meski demikian, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat,” tambah Prof Zullies.

Beberapa obat yang berasal dari ganja medis, antara lain Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM. Selain itu, mendapat persetujuan sebagai alat yang dapat digunakan sebagai terapi.

Bukan Legalkan Ganjanya Melainkan Cannabidiol-nya

Freepik/jcomp

Prof Zullies mengungkapakan semestinya bukan melegalisasi tanaman ganjanya. Lantaran potensi penyalahgunaannya akan besar. Jadi seharusnya yang diberikan izin adalah Cannabidiol sebagai obat yang diturunkan dari ganja dan yang sudah teruji klinis.

Sampai saat ini, ganja masuk dalam narkotika golongan 1, termasuk THC dan delta-9 THC. Sementara itu, Cannabidiol belum masuk daftar obat narkotika golongan manapun. Untuk Cannabidiol, dengan bukti-bukti klinis yang sudah ada dan tidak adanya sifat psikoaktif maupun tergolong narkotika golongan 2 dan 3.

Perlu koordinasi semua pihak terkait untuk melenggangkan ganja medis ini sebagai obat terapi di tanah air. Mulai dari DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI untuk membuat regulasi guna pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari Cannabis, seperti Cannabidiol.

Tentu dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya. Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya.

Update Perjalanan Ganja Medis di Indonesia

Freepik/stefamerpik

Awal pekan ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Gunadi Sadikin mengatakan Kemenkes RI akan segera memberikan izin ganja medis untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.

Regulasi mengacu pada hasil kajian Kemenkes terkait penggunaan ganja untuk medis. Penelitian ganja diizinkan arena sama halnya dengan tumbuhan lain. Namun Menkes dengan tegas mengatakan ganja untuk konsumsi tetap dilarang.

Sementara itu, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Adib Khumaidi, SpOT mengatakan sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan.

“IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis. Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis,” tuturnya.

dr Adib menegaskan proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan.

Demikian ulasan Popmama.com mengenai pendapat ahli terkait ganja medis, meluruskan kesalahan persepsi masyarakat. Bagaimana menurut Mama, apakah ganja medis perlu dilegalkan atau tidak?

Baca Juga:

The Latest