1 Kasus Positif Segera Lockdown, Ini Riwayat Pandemi di Selandia Baru
Apa sih yang menyebabkan Selandia Baru lockdown Ma?
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Pemerintah Selandia baru saja mengambil tindakan drastis pada Selasa (17/8/2021), dengan memberlakukan penguncian ketat di seluruh negaranya atau kerap dinamakan lockdown.
Hal ini akan berlangsung setidaknya sampai tiga hari kedepan usai diumumkannya kabar lockdown tersebut.
Pemerintah Selandia Baru menerapkna ini setelah menemukan satu kasus infeksi virus corona yang terjadi di masyarakatnya.
Waduh! Pemerintah di negera tersebut memiliki cara berbeda ya Ma pada penanganan Covid-19, bayangkan ketemu satu kasus saja sudah menerapkan lockdown.
Oke, Popmama.com akan beritahu kamu bagaimana riwayat pandemi dan fakta menarik di negeri yang hanya terdiri dari dua pulau ini ya Ma.
1. Tidak pernah menjanjikan kehidupan normal di tengah pandemi
Dilansir dari TheGuardian, ketika negara-negara lain mencari jalur penyelesaian pascapandemi dengan menjanjikan akan mampu kembali ke "normal", Selandia Baru sebaliknya.
Negeri yang dipimpin oleh Perdana Menteri ini sama sekali tidak pernah membuat janji untuk masyarakatnya bisa kembali ke kehidupan normal dan penduduknya tampaknya sangat senang dengan itu.
Ketika seluruh dunia, berusaha memacu kecepatan penuh dengan retorika tentang "kembali normal" dan kebebasan dunia pra-pandemi.
Pendekatan Selandia Baru sangat kontras. Pemerintah tidak membuat jaminan untuk kembali normal dalam waktu dekat, bahkan negeri tersebut mengumumkan tidak ada "jalur keluar" multi-langkah, dan tidak mengajukan batas waktu untuk membuka kembali pembatasan mereka terhadap dunia luar. Bahkan untuk para turis yang di negara asalnya sudah divaksinasi.
2. Penduduk merasa baik-baik saja tentang apa langkah yang diambil oleh Pemerintah Selandia Baru
Bagi penduduk, pesan mengenai tak ada jalan keluar untuk kembali ke normal kehidupan nampaknga telah meresap, sebagian besar warga Selandia Baru 91% tidak mengharapkan kehidupan kembali normal, bahkan setelah mereka divaksinasi sekalipun.
Dalam pidato dan wawancara media baru-baru ini, Perdana Menteri Jacinda Ardern sempat menyamakan pandemi Covid-19 dengan serangan teror 9/11 di AS, dalam artian bahwa bahkan setelah kerusakan langsung atas tragedi tersebut teratasi, pengalaman akan terus mengubah cara pendekatan negara-negara.
“Setelah 9/11, perbatasan kami berubah selamanya, dan perbatasan kami kemungkinan besar akan berubah secara permanen akibat Covid-19,” kata Ardern.
3. Telah terbukti melalui data penelitian
Masih dari sumber sama, Pemerintah New Zealand merilis penelitian yang ditugaskan oleh Departemen Perdana Menteri dan Kabinet (DPMC) untuk mengukur respons warga Selandia Baru terhadap pandemi dan respons pemerintah.
Hasiknya lebih dari 90% tidak mengharapkan kehidupan kembali normal setelah mereka divaksinasi. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, perasaan warga Selandia Baru terhadap Covid 19 adalah “pasif”.
Hampir setengah atau sekitar 44% merasakan emosi netral seputar Covid 19, dan tiga perempatnya merasa negara ini sudah menuju ke arah yang benar.
Meskipun di dalam negara Selandia Baru ada banyak juga yang berstatus sebagai ekspatriat ataupun turis yang terdampar diakrenakan adanya apndemi yang secara tiba-tiba menyebar, tampaknya tidak terlalu berdampak.
Terbukti sepanjang tahun 2020, sekitar 75-80% mendukung penutupan perbatasan. Menurut penelitian DPMC yang terbaru, 84% orang “OK dengan menghentikan perjalanan dari negara-negara berisiko sangat tinggi”, dan 53% khawatir tentang membuka kembali terkait perjalanan di luar Australia dan Kepulauan Cook.
4. Dengan adanya satu kasus positif setelah enam bulan terakhir tak ditemukan corona, kini Selandia Baru resmi sedang lockdown
Perdana Menteri Jacinda Ardern kini menempatkan Selandia Baru pada status lockdown tiga hari ke depan, dimulai sejak Selasa (17/8/2021), setelah satu kasus infeksi covid-19 dikonfirmasi di sebuah komunitas di Auckland, kota terbesar di negara itu.
Infeksi baru ini yang pertama di Selandia Baru sejak pada enam bulan terakhir tak ditemukan orang dengan paparan virus corona.
Pada kasus ini didiagnosis ada pada seorang laki-laki berusia 58 tahun yang telah mengunjungi daerah sekitar Coromandel, meski tidak diketahui bagaimana ia tertular virus corona namun Pemerintah tetap menutup akses alias lockdown selama tiga hari lamanya.
Dalam sebuah jumpa pers, Ardern menyampaikan tidak akan diketahui secara pasti apakah kasus tersebut berasal dari varian delta yang sangat menular sampai dilakukannya pengetesan genetik.
"Varian delta disebut-sebut sebagai faktor pengubah, dan itu memang terjsdi. Kita harus kembali bekerja keras dan menghentikan lebih awal penyebaran ini. Kita telah melihat apa yang bisa terjadi di tempat lain jika gagal mengatasinya. Kita hanya punya satu kesempatan," ucap Arden pada awak wartawan saat jumpa pers.
Jika dikonfirmasi virus yang sebabkan lockdown itu sebagai varian delta, maka Selandia Baru akan menjadi salah satu negara terakhir di dunia di mana varian itu muncul.
Aturan lockdown level 4 yang ditetapkan di Selandia Baru mengharuskan sekolah, kantor, dan semua bisnis ditutup, dan hanya layanan esensial yang dapat bergerak.
Negara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa itu termasuk yang terbaik di dunia dalam penanganan pandemi covid-19.
Sampai saat inj Selandia Baru terkonfirmasi terdapar 2.914 kasus dengan 26 kematian.
Data tersebut menurut Universitas Johns Hopkins yang berbasis di AS, sebagian besar dari keberhasilan itu dikarenakan Selandia Baru menutup perbatasannya selama 18 bulan terakhir bagi warga yang bukan penduduknya.
Demikian infomrasi mengenai penanganan pandemi di Selandia Baru yang dikatakan cukup berhasil sebagai sebuah negara. Semiga informasi ini dapat mencerahkan pikiran kita bahwasanya pandemi bisa saja ditangani.
Baca juga:
- Masyarakat Umum di DKI Sudah Bisa Divaksin Moderna, Cek Syaratnya!
- Perkuat Tracing Covid-19, Pemerintah Turunkan Harga PCR Test
- 7 Hal yang Harus Ibu Hamil Perhatikan sebelum Vaksinasi Covid-19