Resmi Disahkan, Ini 10 Poin Penting yang Diatur dalam UU TPKS
Salah satunya poin pentingnya, pelaku tidak hanya dikenai pidana dan denda
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Setelah penantian yang lama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Selasa (12/4/2022) kemarin.
Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya menyampaikan bahwa UU TPKS mengatur victim trust atau dana bantuan korban, yakni kompensasi yang diberikan negara kepada korban kekerasan seksual jika pelaku tidak bisa membayar restitusi.
Dalam UU TPKS yang baru disahkan ini, terdapat beberapa poin penting yang perlu Mama ketahui. Kali ini Popmama.com telah merangkum 10 poin penting yang diatur dalam UU TPKS secara lebih mendalam.
1. Setiap perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual
Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan, setiap orang yang melakukan tindakan non-fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dapat dipidana karena pelecehan seksuan non-fisik.
Hukuman yang diberikan kepada pelaku ialah pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak sebesar Rp 10 juta.
2. Melindungi korban revenge porn
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, hingga pemaksaan sterilisasi.
Kemudian ada juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Perlu diketahui oleh Mama, untuk kekerasan seksual berbasis elektronik ini termasuk dalam revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam kepada korban.
Tentu dengan adanya UU TPKS ini, membuat korban revengeporn dilindungi oleh hukum.
3. Pelaku pemaksaan perkawinan bisa terancam pidana
Seperti yang disampaikan sebelumnya, UU TPKS yang baru disahkan ini juga mengatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan. Hal ini pun termasuk di dalamnya pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan.
Ada juga ketentuan pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan telah tertuang di dalam Pasal 10 UU TPKS. Pelaku pemaksaan perkawinan bisa terancam pidana paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Dalam Pasal 10 Ayat (1) UU TPKS dijelaskan bahwa setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.
4. Pelaku pemaksaan hubungan seksual bisa dikenai denda dan pidana
Pelaku pemaksaan hubungan seksual ternyata juga bisa dikenakan denda dan pidana.
Pada Pasal 6, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dikenakan pidana karena pemaksaan sterilisasi.
Lalu, pidana penjara yang diterima paling lama 9 tahun dan/atau denda sebesar Rp 200 juta.
5. Pihak korporasi yang melakukan TPKS bisa dikenakan denda
Dalam Pasal 13 telah dijelaskan bahwa pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenakan denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar.
Tak hanya itu saja, pihak korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran restitusi, pembiayaan pelatihan kerja, hingga perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS.
Kemudian pihak korporasi juga bisa dijatuhi pidana berupa pencabutan izin tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan, serta pembubaran korporasi.
6. Pelaku tidak hanya dikenai pidana dan denda saja
Di dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan denda, pelaku TPKS juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau pembayaran restitusi.
Perlu Mama ketahui, restitusi ialah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.
7. Keterangan saksi atau korban dan satu alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa
Pada Pasal 20 disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan satu alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa, Ma.
Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, serta alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Korban TPKS berhak dapat pendampingan
Dalam Pasal 27 sampai Pasal 29 UU TPKS, korban atau setiap orang yang mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada pihak kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan, nantinya, wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada pihak kepolisian.
9. Korban berhak dapat restitusi dan layanan pemulihan
Berikutnya, pada Pasal 24 disebutkan bahwa korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
- Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan
- Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana
- Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau
- Ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana
Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku akan dikenai pidana penjara pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
10. Tak ada restorative justice
Penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan pendekatan restorative justice, Ma.
Perlu diketahui bahwa pendekatan ini sendiri merupakan penyelesaian suatu perkara dengan menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku serta korban.
"Dalam RUU itu, penyelesaian kekerasan tindak pidana seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice, tidak boleh," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej.
Menurut Eddy, adanya ketentuan tersebut guna menghindari upaya-upaya penyelesaian dengan uang.
Melihat dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi sebelumnya, terlihat bahwa pelaku secara ekonomi lebih mampu daripada korban. Akhirnya, kasus tersebut selesai dengan pemberian sejumlah uang tanpa adanya proses hukum.
Jadi itulah beberapa poin penting yang diatur dalam UU TPKS. Semoga, dengan disahkan UU TPKS ini dapat memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Baca juga:
- 9 Fakta Perjalanan RUU TPKS hingga Disahkan Jadi Undang-Undang
- Sah, RUU TPKS Disahkan Jadi Undang-Undang
- Femisida Terus Muncul, Komnas Perempuan Tunggu RUU TPKS Disahkan