Penting! 7 Fakta dan Perbandingan UU Cipta Kerja untuk Buruh Perempuan
Ada beberapa aturan yang tidak dicantumkan dalam UU Cipta Kerja menimbulkan kebingungan dan hoax
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) telah sah menjadi undang-undang. RUU tersebut disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) malam.
Saat ini, keputusan tersebut menuai berbagai polemik ketika sah menjadi UU. Pasalnya, sejumlah aturan yang ada di dalam UU tersebut dianggap menyengsarakan buruh tapi justru menguntungkan pengusaha.
Ada pula hak-hak pekerja yang tadinya dilindungi UU kini tidak tercantum dalam omnibus law ini. Di media sosial, masyarakat terpecah menjadi dua kubu. Hoax dan fakta simpang siur tentang isi dari omnibus law ini.
Bagaimana fakta sebenarnya? Agar Mama tidak bingung, berikut Popmama.com rangkum sejumlah fakta UU Cipta Kerja atau omnibus law.
1. Cuti hamil, melahirkan dan keguguran
Dalam UU Ketenagakerjaan, ada sejumlah cuti khusus untuk buruh perempuan yakni cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan dan cuti keguguran. Beredar kabar bahwa cuti atau hak tersebut terhapus dari omnibus law.
Menanggapi hal ini, dikutip dari sejumlah media, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar. Ida mengatakan ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan tahun 2003 mengenai cuti hamil, cuti haid, cuti menikahkan, cuti menikah tetap ada.
Dalam pasal 82 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
- Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
- Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Dalam draft UU Cipta Kerja atau omnibus law tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga tetap berlaku sesuai aturan dalam UU Ketenagakerjaan.
2. Cuti haid
Dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003 dalam pasal 81 menyebut bahwa pekerja wanita dalam masa haid juga bisa diberikan hak cuti pada hari pertama dan kedua saat haid datang. Hak mengajukan cuti saat menstruasi ini masuk dalam perjanjian kerja, sehingga perusahaan tak bisa menolak pengajuan cuti datang bulan dari pekerjanya.
Dalam UU Ketenagakerjaan pasal 81 ayat (2) menjelaskan:
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Mengacu kepada UU Ketenagakerjaan dan pernyataan dari Menaker sehingga hak cuti selama menstruasi tetap bisa diajukan. Namun, hal itu tertuang dalam perjanjian bersama antara karyawan dan perusahaan. Dalam UU Cipta Kerja tidak mencantumkan mengenai cuti haid.
3. Pesangon ketika di PHK
Salah satu hal yang dipermasalahkan dalam omnibus law adalah turunnya nilai pesangon yang diterima karyawan atau buruh dari perusahaan. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan karyawan berhak mendapat 32 upah. Sementara pada UU Cipta Kerja, karyawan hanya mendapat 25 upah saja.
Pembayarannya terdiri dari, pesangon setara 19 kali upah (terdapat dapat pasal 156 ayat 1 UU Cipta Kerja) menjadi beban perusahaan dan enam kali upah diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10 (sepuluh) bulan upah.
Dalam pasal 156 UU Cipta Kerja mengatur tentang pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Pesangon PHK atas pengajuan buruh
Namun, dalam UU Cipta Kerja menghapus ketentuan soal permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan buruh/pekerja karena merasa dirugikan perusahaan. Hal itu sebelumnya diatur dalam Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Cipta Kerja.
Sedangkan ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Dengan dihapuskannya seluruh Pasal 169 dalam UU Cipta Kerja, maka ketentuan ini tidak berlaku lagi.
4. Aturan seorang karyawan ketika akan di PHK
Dalam Pasal 154A memuat tentang PHK yang dapat dilakukan oleh perusahaan. UU Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya meliputi:
- Perusahaan melakukan efisiensi
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
- Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
- Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
Sebelumnya, ketentuan tersebut tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Di mana alasan PHK di UU Ketenagakerjaan, yakni perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status perusahaan, pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja, pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh memasuki usia pensiun, pekerja/buruh mengundurkan diri, pekerja/buruh meninggal dunia dan pekerja/buruh mangkir.
Aturan PHK yang diajukan buruh dihapus
Dalam UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Sebelumnya hal itu diatur dalam Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 169 ayat (1) berbunyi:
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
- menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
- membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
- tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
- memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
- memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Dengan dihapuskannya dalam UU Cipta Kerja, maka ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan Pasa 169 ini tidak lagi berlaku.
5. Pasal tentang pekerja kontrak
Salah satu pasal lain yang diperdebatkan adalah terkait sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau biasa disebut karyawan/ buruh kontrak. Poin yang dipermasalahkan adalah soal batas waktu pemberlakuan perjanjian itu.
Dalam Pasal 59 UU Cipta Kerja disebutkan:
Ayat (1): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
- pekerjaan yang bersifat musiman;
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
Ayat (2): Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Ayat (3): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jangka waktu PKWT maksimal 2 tahun dan perpanjangan 1 tahun tidak ada lagi
Dalam UU Cipta Kerja tidak ada batasan waktu maksimal perjanjian kerja kontrak bisa dilakukan. Oleh karena itu, banyak buruh/karyawan khawatir bahwa kontrak mereka bisa terus diperpanjang tanpa ada pengangkatan karyawan tetap.
Sebelumnya, dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan disebutkan PKWT terhadap pekerja dilakukan maksimal 2 tahun dan boleh diperpanjang lagi dalam waktu 1 tahun.
6. Aturan tentang upah minimum
Pasal 88B UU Cipta Kerja mengatur tentang upah berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu. Dalam UU ini meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Sementara pada UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Sektoral. Berdasarkan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya.
Pada Pasal 88 E Ayat (2) UU Cipta Kerja ditegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Hal itu sebelumnya juga diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 90 UU No.13/2003. Pada Ayat (1) disebutkan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Pengusaha yang tidak mematuhi aturan ini dan membayarkan upah di bawah minimum akan mendapat sanksi jika mengacu pada UU Cipta Kerja. Aturan sanksi ini diatur dalam Pasal 185 UU Cipta Kerja.
Pada Ayat (1) disebutkan, barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), dan Pasal 160 ayat (4), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Sedangkan pada Ayat (2) disebutkan, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
7. Jaminan sosial dan pensiun
UU Ciptaker menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun. Sebelumnya, aturan itu ada pada Pasal 184 UU Ketenagakerjaan.
Jaminan pensiun muncul dalam Bagian Ketiga UU Cipta Kerja tentang Jenis Program Jaminan Sosial. Jaminan pensiun sebagai salah satu jenis program jaminan sosial. Lalu pada Bagian Keempat UU Cipta Kerja tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pada Pasal 6 Ayat (2) disebutkan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:
- jaminan kecelakaan kerja;
- jaminan hari tua;
- jaminan pensiun;
- jaminan kematian; dan
- jaminan kehilangan pekerjaan.
Itulah tadi poin-poin penting dalam omnibus law atau UU Cipta Kerja yang perlu diketahui oleh karyawan/buruh perempuan. Untuk lebih mengetahui mengenai pasal-pasal dan perbandingan yang ada Mama bisa membaca secara lengkap UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan ya.
Baca juga:
- Tak Boleh Pakai Masker Scuba, Pemerintah Rilis Standar Masker SNI
- Tak Perlu Biaya, Ini Dia Daftar Imunisasi Gratis dari Pemerintah
- PSBB Jakarta Diperpanjang, Sejumlah Peraturan Pembatasan Masih Berlaku