Pelaku Kekerasan Seksual pada Kakak Beradik Divonis Bebas, Ada Apa?
Menurut KPPPA, Aparat Penegak Hukum (APH) perlu diberi pemahaman tentang hak anak
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menganggap perlu adanya peningkatan sensitivitas hak anak bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menyelesaikan kasus anak korban kekerasan dan eksploitasi.
Hal ini terungkap pada saat pendampingan kasus pencabulan dan kekerasan anak kakak beradik berinisial RH (14) dan NH (15) di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur di mana pelaku divonis bebas murni.
“Kami sangat menyayangkan putusan majelis hakim yang memvonis bebas murni pelaku kekerasan seksual anak kakak beradik yang dilakukan oleh pamannya sendiri sejak 2015 dan menimbulkan trauma mendalam bagi anak korban. Untuk itu kami menganggap APH perlu memiliki sensitivitas terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak dalam menyelesaikan kasus yang melibatkan anak,” tegas Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kemen PPPA, Valentina Gintings saat melakukan advokasi di Kantor Pengadilan Negeri Tenggarong bersama Ketua Pengadilan, Didit Pambudi Widodo.
1. Vonis tidak berbanding lurus dengan tuntutan untuk pelaku kekerasan seksual pada anak
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus ini, Fitri Ira menambahkan bahwa terdakwa yang dituntut selama 15 Tahun penjara, denda 200 juta rupiah, dan subsider 6 bulan penjara akhirnya divonis bebas. Ketua Majelis Hakim dinilai mengabaikan semua fakta hukum yang memberatkan pelaku.
Jaksa Fitri langsung menyatakan akan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan keadilan bagi anak korban sesuai fakta persidangan.
"Saya sebagai Jaksa Penuntut Umum langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena tidak puas dengan vonis Hakim yang tidak adil. Fakta persidangan dikesampingkan oleh majelis hakim. Perbuatan terdakwa sangat kejam karena melakukan pemerkosaan dan pencabulan terhadap kedua orang kakak beradik," tegas Jaksa Fitri.
Lebih lanjut, Jaksa Fitri menuturkan bahwa hingga saat pertemuan ini berlangsung, pihak PN Tenggarong belum memberikan salinan putusan sidang akhir keputusan yang digelar pada tanggal 6 Februari 2019 di PN Tenggarong.
Padahal salinan putusan tersebut akan menjadi dasar bagi JPU untuk mengajukan Memori Kasasi kepada Mahkamah Agung. Ia berharap Kemen PPPA dapat memberikan dukungan kepada JPU atas Memori Kasasi yang akan diajukan dan mengawal kasus ini agar pihak korban mendapatkan keadilan.
2. Tanggapan pakar hukum Hadi Utomo
Pakar Anak, Hadi Utomo menuturkan bahwa kita perlu melakukan advokasi kepada Hakim yang menangani kasus ini.
Hadi mengatakan, Majelis Hakim perlu dibantu untuk melihat kasus anak dalam perspektif yang berbeda, khusunya persepektif Hak Anak yang berprinsip pada kepentingan terbaik anak.
“Bukan bermaksud mengintervensi keputusan Hakim, namun advokasi harus dilakukan untuk membantu Hakim dalam melihat kasus anak melalui sudut pandang yang berbeda.Kita tidak bisa menyamakan kasus yang menimpa orang dewasa dan kasus yang menimpa anak-anak. Ada hak-hak anak yang tidak boleh kita abaikan. Selain itu, yang perlu diperhatikan, ketika seorang anak menjadi korban kekerasan seksual, akan terjadi kerusakan pada korteks yang berdampak pada munculnya perilaku seksual yang tidak diinginkan dari anak dan terkesan bahwa anak lah yang menyebabkan dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Padahal perilaku tersebut muncul sebagai akibat dari kekerasan yang anak alami,” ucap Hadi.
Valentina menuturkan bahwa Kemen PPPA sebagai kementerian yang bertugas untuk memenuhi dan menjamin perlindungan anak akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Peningkatan sensitivitas hukum terhadap kasus anak bagi para APH akan menutup peluang terjadinya kekeliruan putusan terhadap kasus anak.