Seorang Atlet Alami Pelecehan oleh Pelatihnya dan Pelaku Dibebaskan
Pernyataan bebas murni bagi pelaku ini menarik perhatian KPPPA
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan akan berkomitmen mengawal kasus pencabulan terhadap anak yang berinisial R (16) hingga tuntas.
Saat menindaklanjuti laporan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Lily Benuo Taka, Kab. Penajam Paser Utara tentang bebasnya terdakwa kasus tersebut di Samarinda
Kalimantan Timur, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kemen PPPA, Valentina Gintings berharap semua pihak dapat terlibat secara langsung dalam mengawal kasus ini.
“KPPPA akan bersurat langsung kepada Mahkamah Agung terkait permohonan Kasasi yg dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan mengimbau Gubernur Kalimantan Timur, Bupati Penajam Paser Utara, dan berbagai LSM pemerhati anak agar juga melakukan hal yang sama, sehingga pelaku mendapatkan sanksi hukum yang setimpal dan sesuai dengan rasa keadilan” ucap Valentina.
Kronologi kasus Pencabulan Atlet oleh Seorang Pelatihnya
Kasus pencabulan terhadap R yang dilakukan seorang pelatih beladiri, AG (35) terjadi di GOR Bulu Tangkis Palaran lantai 2 Kota Samarinda pada Januari 2018.
Kasus ini telah disidangkan selama 3 kali dengan hasil keputusan sidang terdakwa berupa vonis bebas murni oleh Hakim Pengadilan Negeri Kota Samarinda melalui Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda Nomor: 822/Pid.Sus/2018/PN.Smr tanggal 18 Desember 2018.
Lebih lanjut, JPU telah menyerahkan Memori Kasasi kasus tersebut kepada Panitera Negeri Samarinda pada 9 Januari 2019.
Hal ini didorong atas alat bukti dan alat bukti petunjuk yang terkuak pada saat persidangan.
Dalam memori kasasi tersebut juga disampaikan bahwa putusan Majelis Hakim hanya mempertimbangkan keterangan terdakwa yang mengaku tidak pernah melakukan pelecehan seksual dan mengabaikan fakta hukum dari saksi yang diajukan pihak korban.
“Kami sangat menyayangkan keputusan hakim atas kasus ini. Hakim mengenyampingkan pendapat ahli, yakni Inneke Molek Indrati, selaku psikolog yang mendampingi anak korban dan berpatokan pada ekspresi anak korban yang tampak biasa saja dan dinilai tidak menunjukkan ekspresi anak yang menderita trauma psikis berat seperti anak pada umumnya yang baru saja diperlakuan tidak pantas yang menyimpang dari norma kesusilaan," ujar JPU Kejaksaan Negeri Samarinda, Agus Purwantoro.
"Selain itu, hakim juga dinilai tidak mempertimbangkan fakta hukum dari keterangan saksi M yang pernah melihat secara langsung bahwa pelaku melakukan tindakan tidak senonoh di sebuah hotel di Kota Semarang pada Tahun 2017,” tambahnya.
Baca juga:
- KPPPA Ingatkan Orangtua untuk Menjaga Anak dari Paparan Pornografi
- Hari Pers Nasional, KPPPA Resmikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
Dalam mengawal kasus ini, Kemen PPPA menggandeng seorang pakar anak, Hadi Utomo, yang telah lama berkecimpung pada pendampingan anak korban pencabulan dan kekerasan seksual.
Menurut Hadi, anak korban umumnya sulit untuk mengungkapkan peristiwa yang menimpa dirinya kepada orang lain, terlebih dalam situasi persidangan. Saksi ahli sebaiknya dipekuat juga dengan melibatkan tenaga pendamping anak korban kekerasan.
“Statement psikolog harus ditunjang dengan keterlibatan LSM atau tenaga pendamping yang terbiasa menangani kasus serupa. Keterangan dan ekspresi dari LSM secara tidak langsung mewakili penderitaan korban. Tanpa ini, Hakim dianggap tidak mampu menangkap apa yang dirasakan anak korban secara utuh, ia hanya akan menangkap ekspresi luar saja."
"Selain itu, dalam Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 12, khusus persidangan pidana, beberapa kali pertemuan dengan anak harus dibantu oleh tenaga profesi atau pendamping untuk membantu Aparat Penegak Hukum dalam menerjemahkan dan memperkaya informasi dari respon yang diberikan oleh anak korban. Kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan informasi dari penyidik,” tutur Hadi.
Valentina juga menyampaikan kekhawatirannya jika keputusan ini keliru dapat membuka peluang terjadinya kasus yang sama pada anak-anak yang dilatihnya.