TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Utang Suami Apakah Tanggung Jawab Istri dalam Islam?

Yuk, ketahui menurut syariat Islam!

Pexels/RDNEStockProject

Di dalam kehidupan rumah tangga, utang sering kali menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan, terutama ketika salah satu pasangan meninggal dunia. Banyak pertanyaan muncul mengenai apakah istri bertanggung jawab atas utang suami yang sudah meninggal.

Dalam Islam, ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab pertanyaan ini. Maka dari itu, penting sekali untuk memahami masalah utang piutang dengan benar dan sesuai syariat Islam.

Seperti pandangan Islam dan ulama terkait persoalan ini? Marilah simak rangkuman dari Popmama.com untuk menjawab pertanyaan terkait "utang suami apakah tanggung jawab istri dalam Islam?" secara lebih detail. 

Utang yang Harus Dibayar dari Harta Warisan

Pexels/MikhailNilov

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ۝١١

Artinya:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (An-Nisa:11)

Ketika suami meninggal dunia, utang-utang yang dimilikinya harus dilunasi dari harta warisan sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris. Hal tersebut sudah ditegaskan Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 11.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa pelunasan utang harus didahulukan dari pembagian warisan. Oleh karena itu, istri atau ahli waris lainnya harus memastikan bahwa utang suami dilunasi dari harta peninggalan sebelum menerima bagian warisannya.

Jika harta warisan cukup untuk melunasi utang suami, maka tanggung jawab utang tersebut dipenuhi dari warisan. Namun, jika harta warisan tidak mencukupi, istri tidak secara otomatis bertanggung jawab atas sisa utang tersebut, kecuali ada perjanjian sebelumnya.

Hal ini menegaskan kembali bahwa tanggung jawab utama terletak pada harta peninggalan suami.

Tanggung Jawab Utang Suami dalam Islam

Pexels/MikhailNilov

“Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya hingga utangnya dilunasi.” (HR. Tirmidzi)

Dalam Islam, prinsip dasar yang dipegang adalah bahwa setiap individu bertanggung jawab atas utang yang mereka ambil. Hadis di atas menegaskan bahwa kewajiban utama membayar utang berada pada individu yang mengambil utang tersebut.

Oleh karena itu, dalam kondisi normal, seorang istri tidak memiliki kewajiban untuk membayar utang suaminya kecuali ada perjanjian atau keterlibatan istri dalam utang tersebut.

Keterlibatan Istri dalam Utang Suami

Pexels/RDNEStockProject

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْاۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۝٢٨٢

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah:282)

Terdapat situasi ketika istri mungkin terlibat langsung dalam utang suami, misalnya sebagai penjamin atau pihak yang turut serta dalam pengambilan utang. Dalam kasus seperti ini, istri memiliki tanggung jawab untuk membayar utang tersebut.

Jika istri terlibat sebagai penjamin atau pihak yang turut serta dalam pengambilan utang, maka ia memiliki kewajiban untuk membayar utang tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam situasi tertentu, tanggung jawab utang bisa melibatkan istri secara langsung, tergantung pada peran dan keterlibatannya dalam proses pengambilan utang.

Dengan memahami hukum-hukum ini, kita dapat melihat bahwa dalam Islam, tanggung jawab utama membayar utang suami tidak serta merta jatuh pada istri kecuali ada keterlibatan langsung atau perjanjian yang mengikat. Prinsip-prinsip ini membantu menjaga keadilan dan memastikan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas kewajibannya sendiri.

Seperti itulah penjelasan untuk menjawab pertanyaan terkait "utang suami apakah tanggung jawab istri dalam Islam?". Semoga informasinya dapat bermanfaat untuk Mama seputar utang piutang, ya.

Baca juga:

The Latest