Korioamnionitis, Infeksi Air Ketuban yang Perlu Diwaspadai Ibu Hamil
Infeksi ini sangat berisiko bagi Mama dan janin
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kantung ketuban adalah penghalang yang sangat baik untuk melawan semua jenis bakteri yang membahayakan janin, tetapi terkadang bakteri dapat melewatinya. Ketika itu terjadi, infeksi bakteri seperti korioamnionitis dapat berkembang. Korioamnionitis merupakan istilah medis yang digunakan untuk menyebut infeksi pada air ketuban dan ari-ari (plasenta) selama masa kehamilan
Meski hanya terjadi pada sekitar 2-5 persen kehamilan, infeksi pada air ketuban merupakan kondisi serius yang berisiko bagi janin dan Mama.
Kenali gejala dan penyebab infeksi air ketuban saat hamil agar Mama dapat melakukan beberapa hal untuk menghindari risikonya. Yuk, simak ulasan Popmama.com berikut ini, Ma.
Apa itu Korioamnionitis?
Korioamnionitis, juga disebut infeksi intraamniotik, adalah infeksi bakteri pada selaput atau cairan ketuban yang mengelilingi dan melindungi janin, plasenta atau tali pusat.
Ini adalah kondisi cairan ketuban terkena infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri menginfeksi lapisan chorion (membran luar), amnion (kantung cairan), dan cairan ketuban yang mengelilingi janin, sehingga dinamakan korioamnionitis.
Infeksi bakteri ini dapat dimulai dari daerah vagina, anus, dubur, kemudian naik ke dalam rahim mama.
Apa Penyebab Korioamnionitis dan Siapa yang Berisiko Terkena?
Korioamnionitis disebabkan oleh bakteri umum seperti E. coli atau streptokokus grup B. Infeksi terjadi pada dua hingga lima persen kehamilan.
Ibu hamil yang mengalami ketuban pecah dini berisiko lebih tinggi terkena korioamnionitis karena bakteri dapat masuk ke kantung ketuban setelah pecah, seperti halnya perempuan yang memiliki durasi persalinan lebih lama.
Selain yang disebutkan di atas, berikut beberapa kondisi yang dapat menyebabkan korioamnionitis:
- Kelahiran prematur karena ketuban pecah dini,
- selaput janin pecah (air ketuban rusak) dalam jangka waktu yang lama,
- usia mama kurang dari 21 tahun,
- kehamilan pertama,
- Mama menjalani pemeriksaan vagina saat persalinan (pada perempuan yang mengalami pecah ketuban),
- mengalami infeksi menular seksual,
- pemantauan kondisi janin atau rahim yang berlebihan.
Gejala Korioamnionitis
Gejala korioamnionitis dapat meliputi:
- Demam,
- denyut jantung meningkat, baik pada Mama maupun janin,
- rahim yang lembut dan nyeri serta cairan ketuban yang bocor dan berbau tidak sedap,
- perut terasa sakit,
- berkeringat.
Jika selaput belum pecah sepenuhnya tetapi dokter mencurigai adanya korioamnionitis, ia mungkin menyarankan amniosentesis untuk mengeluarkan cairan ketuban untuk pengujian.
Karena risiko korioamnionitis meningkat dengan ketuban pecah yang berkepanjangan, penting untuk segera ke dokter jika Mama mengalami gejala di atas. Kadang-kadang dalam kehamilan cukup bulan, ketuban ibu hamil bisa pecah tetapi tidak terjadi kontraksi. Meskipun pasien mungkin menunggu kontraksi dimulai, hal ini dapat memperpanjang persalinan dan meningkatkan risiko korioamnionitis.
Bagaimana Cara Mengobati Korioamnionitis?
Jika Mama didiagnosis menderita korioamnionitis, kemungkinan besar Mama akan diberi resep antibiotik untuk mengatasi bakteri. Mama dan janin juga akan diberikan antibiotik setelah melahirkan untuk memastikan tidak ada infeksi lebih lanjut.
Jika infeksinya lebih serius atau jika kesehatan janin dalam bahaya, persalinan meskipun prematur mungkin merupakan pilihan pengobatan terbaik yang tersedia.
Komplikasi Korioamnionitis
Korioamnionitis merupakan kondisi darurat medis selama kehamilan dan persalinan. Infeksi ini bisa menyebabkan komplikasi serius pada ibu hamil dan janin.
Pada ibu hamil, infeksi air ketuban dapat menimbulkan komplikasi berupa:
- Bakteremia, yaitu infeksi bakteri dalam aliran darah. Komplikasi ini terjadi pada 3-12 persen ibu hamil yang menderita air ketuban terinfeksi. Jika tidak diobati, bakteremia bisa menyebabkan sepsis atau infeksi darah.
- Endometritis atau infeksi rahim.
- Harus melahirkan dengan operasi caesar.
- Dibutuhkan operasi pengangkatan rahim.
- Perdarahan yang banyak saat melahirkan.
- Emboli (sumbatan pembuluh darah) akibat gumpalan darah di paru-paru dan panggul.
- Waktu pemulihan pascapersalinan yang lebih lama.
Kondisi-kondisi di atas bisa meningkatkan risiko kematian ibu selama atau setelah bersalin.
Sedangkan pada bayi, kondisi ini dapat menimbulkan beberapa risiko berikut:
- Kelahiran prematur.
- Bakteremia atau sepsis. Risiko bayi untuk terkena kondisi ini akan semakin tinggi jika ia terlahir prematur.
- Gangguan pernapasan, seperti gagal napas dan pneumonia.
- Meningitis atau infeksi pada selaput otak dan sumsum tulang belakang.
- Kecacatan, misalnya cerebral palsy.
- Kematian.
Infeksi pada selaput ketuban dan cairan telah dikaitkan dengan persalinan prematur, jadi ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan. Selain itu, janin juga berisiko mengalami infeksi.
Jika Mama melihat ada kebocoran cairan ketuban, sekecil apa pun, pastikan untuk menghubungi dokter sehingga dokter dapat menentukan apakah ketuban benar-benar pecah.
Bila Mama tidak tahu apakah itu cairan ketuban atau urine, lakukan tes mengendus. Urine berbau seperti amonia; cairan ketuban berbau lebih manis, atau jika terinfeksi, baunya tidak sedap (busuk).
Seperti yang sudah disebutkan, infeksi air ketuban saat hamil merupakan kondisi yang serius. Jadi kenali gejalanya agar Mama dapat segera mengambil tindakan.
Semoga kehamilannya berjalan dengan lancar, Ma!
Baca juga:
- Waspada Infeksi Streptokokus Grup B pada Ibu Hamil, Cek Faktanya!
- Waspada Infeksi Escherichia Coli saat Hamil yang Membahayakan Janin
- Jangan Anggap Sepele, Waspada Sakit Kuning saat Hamil