TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid Pernah 10 Kali Bayi Tabung

Meutya Hafid berhasil hamil di usia 44 tahun

Instagram.com/@meutya_hafid

Perjuangan untuk mendapatkan dua garis biru nyatanya juga pernah dialami oleh Meutya Hafid yang baru saja dilantik menjadi Menteri Komunikasi dan Digital Kabinet Merah Putih di Era pemerintahan Presiden Prabowo.

Beberapa waktu lalu, ia membagikan pengalamannya saat hamil pertama kali di usia yang tidak muda lagi dalam sebuah buku berjudul "Lyora., Keajaiban yang Dinanti".

Dalam penuturannya, perempuan yang kini berusia 46 tahun itu mengatakan bahwa kala itu dirinya menjalani 10 kali percobaan program bayi tabung, mengalami tiga kali kehamilan, dan juga sempat mengalami keguguran.

Sempat mengalami putus asa, namun istri dari Noer Fajrieansyah ini memutuskan untuk tidak menyerah. Ia pun akhirnya mendapatkan Lyora Shaqueena Ansyah pada usia pada tahun 2022 yang lalu.

Nah, ini dia Popmama.com bagikan informasi tentang perjuangan Meutya Hafid untuk punya anak. Simak sama-sama, yuk, Ma!

1. Meutya Hafid membagikan kisahnya menjalani program bayi tabung 10 kali

Dok. Morula

Dalam buku yang menceritakan perjalanan kehamilannya, Meutya mengatakan bahwa sebelum mendapatkan Lyora, putrinya, ia sempat menjalani program bayi tabung sebanyak 10 kali. Dalam percobaan program tersebut kerap kali Meutya mengalami pengalaman yang membuat emosinya naik turun.

Dari banyaknya percobaan itu, Meutya sempat mengalami tiga kali kehamilan dan juga keguguran. Akan tetapi demi mendapatkan keturunan Meutya dan suaminya tetap berjuang.

2. Berhasil hamil pada usia 44 tahun dan melahirkan Lyora pada tahun 2022

Instagram.com/@meutya_hafid

Menurut Meutya, setelah berbagai pengalaman yang ia alami akhirnya dirinya dan suami dikaruniai bayi pertama pada 9 September 2022.

Saat itu, Meutya sendiri sudah berusia 44 tahun dan itu adalah hal yang tidak mudah untuknya. Namun, ia begitu bersyukur karena dapat memiliki Lyora setelah menanti sekian lama.

"Pada saat saya berumur 37 tahun menjalani program bayi tabung IVF, sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik. Alhamdulillah, saya berhasil hamil pada usia 44 tahun dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah,” tuturnya.

3. Meutya berharap infertilitas dapat diakui sebagai penyakit

Instagram.com/@meutya_hafid

Menghadapi kondisi yang berbeda dari pasangan pada umumnya dalam masalah kesuburan, Meutya menyampaikan harapannya agar infertilitas bisa diakui sebagai sebuah penyakit.

“Masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh Pemerintah, padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara seharusnya hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas,” ungkap Meutya.

Selain itu, menurutnya terdapat beberapa alasan penting mengapa infertilitas perlu mendapat sorotan sebagai penyakit. Pasalnya, dengan demikian maka akses ke perawatan medis yang tepat lebih mudah didapatkan, pasien mendapatkan peningkatan dukungan psikologis, perlindungan hukum dan hak individu, serta peningkatan kesadaran dan edukasi. 

Dr. dr. Ivan R. Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG Sp.OG selaku CEO Morula IVF Indonesia menambahkan bahwa menurutnya saat ini terdapat 4,8 juta perempuan yang sedang berjuang menghadapi infertilitas. Dengan pengakuan ini, diharapkan akan ada lebih banyak perhatian dan pemahaman yang diberikan kepada pasangan infertil.

4. Pesan dari Meutya untuk setiap orang yang masih berjuang untuk mendapatkan keturunan

Instagram.com/@meutya_hafid

Terakhir, selain menyoroti bahwa kesehatan reproduksi adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara, Meutya juga menyampaikan pesannya lewat buku yang ia tulis. 

Ia ingin mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Dengan memperhatikan isu ini, pemerintah diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan akses terhadap perawatan infertilitas dan mengakui pentingnya kesehatan reproduksi sebagai hak asasi manusia.

Meutya berharap agar bukunya dapat menjadi sumber inspirasi dan pemahaman yang lebih baik tentang perjuangan pasangan yang sulit mendapatkan keturunan di Indonesia.

Nah, itulah tadi cerita perjuangan Menteri Komunikasi dan Digital  Meutya Hafid untuk punya anak. Semoga semakin banyak pejuang dua garis biru yang terinspirasi melalui kisahnya, ya!

Baca juga:

The Latest