Ini Fungsi dan Risiko Pemeriksaan Amniocentesis bagi Kehamilan
Amniocentesis dapat mengetahui kecacatan pada janin
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memeriksakan kehamilan. Pemeriksaan kehamilan bukan hanya bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik mama ketika hamil melainkan kesehatan si Kecil dalam kandungan juga.
Ada banyak prosedur yang bisa Mama pilih untuk mengetahui kesehatan kandungan. Salah satunya dengan amniocentesis.
Amniocentesis ini diketahui berguna untuk pemeriksaan kelainan kromosom pada bayi yang dapat dilakukan antara minggu ke 15 sampai ke 20 masa kehamilan.
Namun tes amniocentesis ini tidak bisa sembarangan dilakukan karena tes ini memiliki beberapa risiko yang dapat berdampak pada kehamilan. Mama perlu melakukan konsultasi ke dokter kandungan untuk mendapatkan informasi tentang pemeriksaan ini.
Berikut Popmama.com rangkum penjelasan mengenai pemeriksaan amniocentesis pada ibu hamil.
1. Apa itu Amniocentesis?
Amniocentesis adalah pemeriksaan cairan ketuban (amnio) yang dihasilkan selama masa kehamilan. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendiagnosis dan memeriksa kemungkinan janin mengalami risiko kelainan kromosom, cacat bawaan, bahkan kelainan genetik.
Amniocentesis biasanya hanya dilakukan pada ibu hamil yang memiliki risiko melahirkan anak dengan kemungkinan kelainan janin. Prosedur ini juga dilakukan berdasarkan pertimbangan dan saran dari dokter kandungan.
Amniocentesis biasanya dilakukan antara minggu ke 15 dan 20 masa kehamilan.
Dalam prosedur amniocentesis, dokter menggunakan jarum khusus untuk mengambil sampel cairan ketuban dengan cara menusukkan jarum ke perut sampai ke rahim.
Cairan ketuban yang telah diambil akan diperiksa untuk melihat DNA dan menghitung jumlah kromosom, agar kemungkinan kelainan janin dapat dideteksi lebih dini.
Salah satunya kemungkinan janin mengalami down syndrome.
2. Fungsi dari tes amniocentesis pada ibu hamil
Amniocentesis memang diketahui memiliki manfaat dan fungsi yang menguntungkan pada masa kehamilan.
Tes ini memiliki keakuratan hingga 90 persen untuk mengetahui adanya gangguan kromosom, down syndrome, trisomi 13, trisomi 18, dan kelainan seperti sindrom Turner dan sindrom Klinefelter.
Tes ini juga dapat memeriksa bila janin memiliki kelainan genetik seperti, cystic fibrosis, penyakit sel sabit, dan penyakit Tay-Sachs. Namun tes ini tidak bisa mendeteksi adanya kemungkinan cacat lahir struktural pada janin, seperti malformasi jantung atau bibir sumbing.
Tes ini biasanya dilakukan ketika usia kandungan menginjak 15 minggu.
Pada usia ini, bukan hanya dapat mengetahui kelainan genetik saja tetapi dapat melihat adanya kemungkinan kelainan paru-paru.
Amniocentesis juga dapat mengetahui kelainan pada janin akibat alloimmunization, yaitu kelainan akibat respon dari sistem imun dan kekebalan tubuh pada masa kehamilan yang menurun ke janin.
Kelainan alloimmunization ini diakibatkan oleh perbedaan rhesus atau inkompabilitas rhesus. Bila kondisi ini tidak terdeteksi sejak dini maka akan membahayakan kondisi janin.
Selain itu, amniocentesis juga dapat digunakan untuk memberikan obat secara langsung pada janin yang disebut polihidramnion yang berguna untuk mengurangi tekanan pada rahim.
Namun tindakan ini tidak direkomendasikan kepada semua ibu hamil. Tes amniocentesis hanya diperuntukkan bagi seseorang yang hamil di usia 35 tahun ke atas dan memiliki riwayat kelainan genetik yang berpengaruh pada bayi.
Selain itu, tes ini baru akan dilakukan jika pada pemeriksaan USG, dokter menemukan sesuatu yang tidak normal sehingga perlu melakukan amniocentesis.
3. Risiko yang disebabkan oleh tes amniocentesis
Meski tes amniocentesis memiliki manfaat yang baik, namun tes ini diketahui memiliki risiko dan dampak yang beragam bagi kehamilan. Tes ini juga diketahui dapat menyebabkan keguguran janin dengan persentase sebanyak satu persen atau sekitar satu dari 100 kasus.
Pada normalnya cairan ketuban yang keluar pasca pemeriksaan amniocentesis akan berhenti dengan sendirinya dan hanya berlangsung selama satu minggu. Hanya pada beberapa kasus saja masalah kebocoran ketuban terjadi.
Selain itu, amniocentesis juga dapat memicu infeksi pada rahim yang dapat menularkan infeksi ibu hamil ke janinnya seperti hepatitis C, toksoplasmosis, HIV atau AIDS.
Selama pemeriksaan amniocentesis berlangsung, risiko si Kecil terkena jarum yang menancap pada dinding perut juga bisa saja terjadi karena posisi bayi yang terus bergerak dan berubah-ubah.
Oleh sebab itu, sebaiknya konsultasikan pada dokter agar pemeriksaan ini memiliki risiko yang lebih kecil.
4. Perlu diperhatikan setelah melakukan amniocentesis
Bila diperlukan, biasanya dokter akan memberikan bius lokal sebelum amniocentesis dilakukan. Setelah melakukan tes amniocentesis, biasanya perut akan merasakan sakit seperti kram pada bagian yang tertusuk jarum.
Bekas jarum yang melukai ketuban biasanya akan menutup dengan sendirinya dan akan mengembalikan cairan ketuban dalam waktu 24 hingga 48 jam.
Selain itu, dokter juga akan memeriksa denyut jantung janin dengan alat khusus untuk memastikan janin tidak stres.
Biasanya dokter juga akan memberikan suntikan tambahan jika Mama dan si Kecil memiliki rhesus darah yang berbeda. Ini bertujuan agar tidak terjadi reaksi alloimunization terhadap kandungan.
Mama baru diperbolehkan pulang sekitar 20 menit atau lebih setelah tes amniocentesis dilakukan. Hindari aktivitas yang terlalu berat serta berhubungan seksual selama satu sampai dua hari.
Untuk lebih jelas, konsultasikan ke dokter kandungan mengenai manfaat dan risiko dari tes ini. Bahkan di beberapa negara terdapat hukum yang mengatur tentang batasan dari amniocentesis sendiri.
Baca juga:
- Ini 10 Rangkaian Pemeriksaan Antenatal Care selama Masa Kehamilan
- Ma, Ini Pentingnya Pemeriksaan Leopold di Akhir Masa Kehamilan
- Hadapi New Normal, Ini Prosedur Pemeriksaan Kehamilan di Rumah Sakit