Apakah Sunat pada Bayi Perempuan Ada Manfaatnya?
Sebelum memutuskan ingin melakukan prosedur sunat untuk si Kecil, cek dulu faktanya di sini!
4 Mei 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mungkin Mama sudah tak asing dengan istilah sunat perempuan atau khitan perempuan di Indonesia. Istilah sunat pada bayi perempuan sebenarnya kurang tepat, sebab dalam praktiknya lebih mendekati prosedur mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).
Hal ini karena bukan hanya lipatan kulit yang mengelilingi klitoris saja yang diangkat dalam prosedur sunat, tapi juga klitoris itu sendiri, Ma. Tradisi kuno ini telah sejak lama dipraktikkan, terutama di Afrika dan Timur Tengah.
Selain itu, dalam laporan United National Children's Fund mengungkapkan bahwa hal ini juga umum terjadi di Indonesia. Bahkan hingga saat ini praktiknya masih berlangsung di Indonesia.
Sekitar 60 juta perempuan atau setengah dari perempuan di Indonesia diperkirakan telah menjalani female genital mutilation.
Dalam beberapa tahun terakhir, praktisi medis semakin banyak melembagakan ritual “sunat” yang dikenal sebagai khitan perempuan ke dalam praktik medis.
Sekarang, banyak klinik bersalin menawarkan prosedur ini sebagai bagian dari paket persalinan, yang dilakukan segera setelah persalinan bahkan tanpa biaya tambahan.
Menurut WHO, lebih dari 200 juta perempuan di 30 negara diduga menjalani sunat perempuan. Sementara di Indonesia, jumlah perempuan yang telah menjalani sunat terbilang tinggi, menurut berbagai lembaga dunia.
Data dari UNICEF pada tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi, setelah Gambia dan Mauritania, dengan 54 persen di antaranya berusia 14 tahun ke bawah.
Lantas, apakah sunat pada bayi perempuan ada manfaatnya? Mari kita lihat penjelasan yang telah dirangkum Popmama.com. Berikut informasinya, Ma!
1. Tipe sunat perempuan (Female Genital Mutilation)
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sunat perempuan atau mutilasi alat kelamin perempuan didefinisikan sebagai segala prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar. Sunat perempuan (Female Genital Mutilation) diklasifikasikan menjadi 4 jenis tipe, yaitu :
- Tipe 1. Tipe sunat perempuan ini umumnya dikenal klitoridektomi dengan melakukan prosedur pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar klitoris atau kulit khatan yang merupakan lipatan kulit yang mengelilingi kelenjar klitoris.
- Tipe 2. Sedangkan tipe ini disebut excision yakni tak hanya sebagian atau seluruh kelenjar klitoris yang diangkat namun juga labia minora (lipatan bagian dalam vulva) dengan atau tanpa pengangkatan labia mayora (lipatan luar kulit vulva). Labia adalah "bibir" bagian dalam dan luar yang mengelilingi vagina.
- Tipe 3. Tipe ini juga dikenal sebagai infibulasi, penjahitan pada labia menjadi satu untuk membuat lubang vagina lebih kecil.
- Tipe 4. Tipe ini paling berbahaya karena mencakup semua jenis prosedur yang merusak alat kelamin perempuan untuk tujuan non-medis, misalnya dengan cara menusuk, memotong, mengikis, atau membakar area genital.
Namun, hanya sekitar atau lebih 10% praktik sunat perempuan yang memakai prosedur tipe 3, sisanya sekitar 90% menggunakan tipe 1, 2, atau 4.
Editors' Pick
2. Sunat yang dilakukan pada bayi perempuan di Indonesia
Melansir The Conversation, di Indonesia, banyak yang menganggap sunat sebagai kewajiban yang harus dipenuhi dalam salah satu kepercayaan dan bagian dari tradisi. Beberapa mayoritas Muslim di Indonesia juga mewajibkan sunat bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.
Pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes) pernah menerbitkan peraturan yang mengizinkan tenaga medis untuk melakukan prosedur pemotongan alat kelamin perempuan.
Dengan anggapan bahwa lebih baik dikerjakan oleh tenaga medis terlatih daripada mengambil risiko kemungkinan infeksi yang jauh lebih parah jika dilakukan oleh penyunat tradisional dengan prosedur non-medis. Namun, pada tahun 2014, Kementerian mencabut peraturan tersebut.
Dalam studi Population Council Indonesia 2001-2002 tentang sunat perempuan, dari 2.215 kasus yang dilaporkan, 68% dilakukan oleh dukun bayi dan penyunat tradisional.
Sisanya 32% dilakukan oleh tenaga medis, sebagian besar bidan. Namun, Survei Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) di tahun 2013 menunjukkan laporan tenaga medis melakukan lebih dari setengah atau 53,2% sunat perempuan.
Dari persentase tersebut, 50,9% dilakukan oleh bidan, 2,3% oleh tenaga medis lainnya. Sementara itu, dukun bersalin atau penyunat melakukan 46,8% prosedur sunat perempuan.
Sebuah studi di tahun 2001-2002 menunjukkan bahwa 85,2% dari sunat perempuan dilakukan sebelum anak perempuan mencapai usia sembilan tahun.
Survei tahun 2013 menunjukkan ada penurunan usia dimana 96,7% sunat perempuan dilakukan sebelum anak mencapai usia lima tahun. Dari jumlah itu, 82,8% bahkan dilakukan pada bayi perempuan dalam rentang usia 0 sampai 11 bulan.
Sebagian besar dari mereka yang telah menjalani sunat tidak dapat mengingat proses atau rasa sakit ketika ditanya sebagai responden dengan usianya yang sudah agak besar. Akibatnya, tidak ada bukti komplikasi fisik atau psikologis langsung atau jangka panjang.
Tetapi demikian, pengamatan langsung terhadap prosedur sunat perempuan pada tahun 2001-2002 menunjukkan bahwa praktik ini pasti melibatkan rasa sakit akibat gosokan dan goresan sekitar 24,3%.
Ada pemotongan genital yang nyata misalnya sayatan sekitar 49,2% dan eksisi sekitar 22,4%. Ada juga peregangan sekitar 3% dan sebagian kecil sekitar 1,1% praktik sunat ini dilakukan dengan cara menusuk.
Studi 2001-2002 menunjukkan bahwa 92% orangtua ingin praktik ini dilanjutkan. Survei Kesehatan Dasar Nasional 2013 menunjukkan sekitar 90%-94,9% orangtua memiliki keinginan serupa di sembilan provinsi di Indonesia, antara lain Aceh, Kalimantan Timur, sebagian besar Sulawesi dan Gorontalo, serta Maluku dan Maluku Utara. 24 provinsi lainnya di Indonesia menunjukkan persentase yang lebih rendah.
Namun, berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan terbaru Nomor 6 Tahun 2014, praktik sunat perempuan dianggap bukanlah tindakan kedokteran karena dalam praktiknya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti manfaatnya bagi kesehatan.