5 Alasan Mengapa Mama Harus Mendukung Pendidikan Seksual di Sekolah
Karena melarang bukanlah hal yang tepat untuk menghindarkan anak dari seks bebas
16 Agustus 2019
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tak sesederhana itu ketika Mama harus mulai mengajarkan anak-anak tentang seks. Menjelang masa remaja, di tengah maraknya kehamilah di luar nikah dan tentang penyakit menular seksual, maka akan butuh dari sekadar ngobrol biasa saat harus menjelaskan tentang seks pada anak-anak. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, pembahasan soal seks benar-benar harus menjadi topik yang sesuai usia.
Idealnya, anak-anak mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan di rumah, dari orang tua mereka. Namun sekolah juga punya peranan penting, menjadi sumber yang kredibel untuk anak-anak. Dilansir dari verywellhealth.com, meski dalam penelitian telah banyak menunjukkan bahwa pendidikan seks semata tidaklah cukup, tapi Popmama.com mencoba merangkum 5 alasan mengapa hal ini harus tetap diajarkan di sekolah.
1. Melarang tidak akan mengubah keputusan
Dalam banyak hal, larangan seringnya malah jadi pemicu anak untuk justru melakukannya. Termasuk soal berhubungan seks, jika Mama hanya melarang saja, tanpa menjelaskan apapun pada si Anak, itu tak akan mengubah keputusan mereka untuk melakukannya suatu saat nanti. Nah, penjelasan detail inilah yang seharusnya bisa mereka dapat dari sekolah, lewat pelajaran biologi misalnya.
Editors' Pick
2. Sejumlah besar remaja aktif secara seksual
Mama hanya tak menyadari, atau mungkin malah menutup mata, bahwa sejumlah besar remaja sudah aktif secara seksual, bahkan saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Apakah anak Mama termasuk salah satunya? Mama tak akan pernah tahu pasti, karena anak-anak akan sangat lihai menutupi perbuatan mereka, yang Mama larang mati-matian.
Dalam penelitian yang dilakukan Youth Risk Behavior Surveillance Survey pada tahun 2015, 41 persen siswa sekolah menengah di Amerika telah melakukan hubungan seksual setidaknya satu kali. Sekitar 11 persen di antaranya punya empat atau lebih pasangan seksual. Meski berbeda kultur dan budaya, tak menutup kemungkinan Indonesia juga mengalami hal yang sama. Hanya saja kita terlalu menjunjung tinggi moral, sehingga menutupi hal-hal yang bertentangan dengannya.
Dalam penelitian di Amerika tersebut, 57 persen siswa yang aktif secara seksual tersebut sudah menggunakan kondom saat terakhir berhubungan seksual, dan hanya 18 persen-nya yang mengonsumsi pil KB. Hal ini penting juga untuk diajarkan di sekolah, bahwa hubungan seksual punya risiko yang besar, karenanya ada alat kontrasepsi dan usaha pencegahan kehamilan atau penularan penyakit kelamin.
3. Pendidikan seks komprehensif tidak akan jadi pemicu
Tak jadi masalah untuk memberikan informasi soal alat kontrasepsi pada para remaja. Bukan untuk memberi mereka alasan untuk bisa melakukannya dengan bebas dan aman, edukasi ini jadi penting karena kembali ke poin pertama, bahwa melarang saja tidak akan mengubah keputusan mereka untuk melakukannya.
Pendidikan seks yang mudah dipahami anak-anak, tidak akan menjadi pemicu atau pendorong untuk mereka melakukan hubungan seksual. Sama seperti yang mungkin Mama lakukan: melarang, pendidikan seks komprehensif ini juga mengajarkan bahwa satu-satunya cara yang paling pasti untuk mencegah kehamilan dan penularan penyakit seksual adalah dengan tidak melakukan hubungan seksual.
4. Makin banyak tahu, anak-anak makin bijak ambil keputusan
Anak-anak tidak bodoh, Ma. Mereka tahu bahwa ketika Mama atau guru memberi tahu bahwa tidak melakukan hubungan seksual sama sekali adalah satu-satunya cara agar terhindar dari kehamilan dan penyakit seksual, itu semua adalah bohong. Setidaknya mereka tahu bahwa mereka hanya dikecoh atau disesatkan dengan informasi naif semacam itu.
Memberikan gambaran yang akurat tentang berbagai risiko dari apapun perilaku seksual, justru akan membantu para remaja dalam mengambil keputusan. Semakin mereka tahu risikonya, semakin takut mereka untuk memutuskan melakukan hubungan seksual. Risiko di sini bukan hanya soal hamil dan penyakit seksual ya, Ma. Dampak sosial juga bisa diajarkan, agar anak bisa membayangkan risiko ini juga.
5. Perilaku seksual bukan sebatas hubungan vaginal
Remaja juga harus diberi informasi, bahwa perilaku seksual bukan hanya hubungan vaginal yang menyebabkan risiko kehamilan di bawah umur. Ada juga seks oral dan bahkan anal yang mungkin saja dilakukan anak Mama, karena mereka menganggap itu lebih aman, jauh dari risiko kehamilan.
Padahal, dampak dari perilaku seks selain hubungan vaginal itu pun sama buruknya. Para remaja harus tahu, penyakit menular seksual apa saja yang bisa menjangkiti tubuh mereka jika melakukan hubungan oral maupun anal. Sekolah bisa memberikan pendidikan seks hingga sedetail ini, agar anak-anak mendapatkan informasi yang jelas.
Karenanya, Mama harus tetap mendukung pendidikan seksual diberikan di sekolah. Jangan menjadikan obrolan soal seks ini tabu, termasuk saat anak-anak berada di rumah. Memasuki usia remaja, Mama bisa mulai mengajak si Anak mengobrol soal seks. Obrolan santai di ruang keluarga, tanpa menakuti atau memarahi, bisa jadi lebih efektif.
Baca Juga:
- Urutan Proses Puber Anak Perempuan, Usia Berapa Menstruasi Pertama?
- Perkembangan Umum Anak Pra Remaja: Kapan Tumbuh Rambut Kemaluan?
- 5 Hal yang Harus Dipersiapkan Orangtua jika Anak Laki-Laki Minta Sunat