Mama, Bantu Cegah Anak Menjadi Pelaku Bullying, Yuk! Ini 4 Caranya
Jangan sampai anak mama terlibat dalam kasus bullying
14 Desember 2019
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sejak dulu, bullying menjadi masalah serius yang mengancam kejiwaan seseorang. Dampak negatif yang timbul dari bullying tak terhitung lagi banyaknya.
Jika itu terjadi pada anak usia dini, tentu akan memberi pengaruh besar bagi masa dewasanya kelak. Sayangnya makin ke sini peristiwa bullying justru kian menjamur di mana-mana.
Ironisnya lagi, sebagian besar pelaku dan korbannya justru anak-anak dan usia remaja. Kondisi mental yang masih labil dan minimnya pengawasan orang dewasa di sekitar, makin memperparah fenomena ini.
Sebagai Mama di era milenial, harus waspada dengan fenomena bullying ini. Jangan sampai lengah dan membiarkan anak mama terjebak sebagai salah satu korban atau malah pelakunya.
Langkah pertama adalah dengan mewaspadai 4 hal yang umumnya jadi penyebab anak melakukan bullying di bawah ini.
1. Memberi pengawasan tentang pengaruh negatif dari lingkungan sekitar
Melarang anak bermain di luar rumah tentu tidak selamanya baik. Anak-anak juga butuh bersosialisasi dan mengenal lingkungan sekitarnya.
Ia perlu berlatih melakukan interaksi dengan orang lain, agar kemampuan komunikasinya makin terasah. Tapi, tidak semua yang ia temui di lingkungan sekitar memberikan dampak positif.
Hal inilah yang penting untuk Mama waspadai.
Kita tidak bisa mengendalikan perbuatan orang lain, atau melarangnya mengatakan sesuatu. Menjadi tugas Mama untuk memberikan pengertian kepada anak mama, mana hal yang baik dan mana yang tidak boleh dicontoh.
Pengawasan ternyata penting sekali, ya?
Editors' Pick
2. Memperbanyak waktu untuk berinteraksi dengan keluarga
Penyebab anak suka bermain keluar adalah tidak adanya hal yang menarik di dalam rumah.
Jika lingkungan sekitar ia rasa lebih menyenangkan, Mama harus siap dengan dampak negatif yang mengancam. Inilah pentingnya membina komunikasi yang baik dengan anak. Menciptakan rumah yang nyaman bagi anak.
Kini sudah bukan eranya lagi mengatur dan menghardik. Masuk ke kehidupan anak, atau sebaliknya mengajak ia terlibat di beberapa kegiatan orangtua, bisa menjadi salah satu pilihan pola mendidik.
Anak-anak di era milenial, cenderung memberontak dan bertindak nekat jika dirinya merasa tertekan.
3. Mengatasi dengan segera trauma jadi korban bullying
Mengasuh anak usia dini sampai remaja memang menguras batin dan tenaga. Banyak tingkahnya yang membuat Mama geregetan dan kadang tak kuasa menahan emosi.
Kemarahan atau kalimat bernada kasar yang keluar dari mulut Mama, berdampak besar bagi anak, lho.
Memarahi anak terlalu keras atau sering adalah bullying pertama yang ia terima. Karena tak mungkin melawan orangtua, si Anak tanpa sadar melampiaskan dendamnya pada teman-temannya.
Mama juga perlu tahu bahwa fenomena bullying adalah sebuah rantai. Kalau tak ada yang memutusnya, maka akan terus berlanjut ke orang-orang sekitarnya.
Anak atau remaja yang menerima perlakuan bullying tapi tak kuasa membalas, akan menyimpannya sebagai sakit hati dan dendam. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti ia akan meluapkannya ketika marah pada siapa pun.
Jadi, untuk mencegah anak menjadi pelaku bullying, Mama harus segera mengatasi trauma pada anak ketika ia menjadi korban. Jika pelakunya adalah Mama, mungkin meminta bantuan psikiater untuk mengatasi masalah ini adalah cara terbaik.
4. Mengajarkan cara mengatasi frustasi karena kegagalan
Sebagai orang dewasa saja, kita kadang sulit menghadapi kegagalan. Bayangkan jika ini terjadi pada anak kesayangan Mama.
Pola berpikir mereka masih sangat sederhana, tapi ingatannya merekam dengan baik setiap perlakuan yang diterima. Misalnya, ketika Si Anak melakukan kesalahan atau gagal meraih apa yang ia inginkan, tugas orangtua adalah sebagai penenang pertamanya bukan sebagai orang yang memarahinya karena ia mengalami kegagalan.
Sayangnya, justru banyak orangtua yang memaksakan kehendaknya pada anak. Mengirimkan mereka ke tempat les agar mendapat nilai bagus, atau menyuruh belajar terus-menerus terlebih jelang ujian.
Hal ini bisa menimbulkan beban mental yang berat ketika anak tahu hasilnya tidak sesuai harapan orangtua. Rasa bersalah, kesal, dan sedih campur aduk di kepalanya, tapi ia tidak berani mengatakannya pada orangtua. Hasilnya, ia melampiaskan emosinya pada orang lain sebagai bentuk bullying.
Mengerikan ya, Ma!
Benar memang keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Hal-hal yang dilakukan anggota keluarga di sekitar, menjadi teladan yang melekat di benaknya.
Maka sebagai orangtua, harus bisa memberikan contoh yang baik agar anak mama tumbuh menjadi manusia yang terpuji.
Mama pasti bisa! Semangat!