Setop Pernikahan Anak, Ini Perjuangan Aktivis Perempuan di India
Sebanyak 223 juta korban pernikahan anak di India tercatat dalam data UNICEF tahun 2017
24 November 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
India merupakan negara dengan tingkat pernikahan anak yang tinggi. Anak-anak dinikahkan dengan upacara adat ketika masih belia, bahkan ada anak yang dinikahkan ketika usianya belum genap 1 tahun.
Menurut data UNICEF tahun 2017, ada sebanyak 223 juta anak perempuan dan perempuan di India yang pernah dinikahkan sebelum mereka berusia 18 tahun. Ada pula korban pernikahan anak yang merupakan anak laki-laki, tapi hanya sebagian kecil.
Sedangkan menurut Organisasi Childline India, aduan pernikahan anak perempuan yang mereka terima 9 kali lebih banyak daripada pernikahan anak laki-laki. Ini terjadi antara April 2019 dan Maret 2020.
Mereka dinikahkan ketika belum bisa membuat keputusan. Tak sedikit anak dan perempuan yang dirugikan karena tradisi ini.
Prohibition of Child Marriage Act (PCMA) yang telah disahkan pada tahun 2007 menjadi jawaban untuk mengatasi permasalahan ini. PCMA merupakan pengganti Child Marriage Restraint Act (CMRA) yang telah gagal memberikan jalan keluar untuk para korban pernikahan anak.
Dengan PCMA, pernikahan anak diakui sah untuk dilakukan. Namun, PCMA memberi kesempatan agar pernikahan anak yang telah terjadi tersebut dapat dibatalkan.
Sebanyak 43 pernikahan anak telah dibatalkan. Di dalam kisah-kisah pembatalan pernikahan anak ini, kerap terlibat seorang perempuan yang gigih membela hak-hak anak bernama Kriti Bharti.
Bharti membantu pembatalan pernikahan anak yang pertama di India. Ia juga diketahui telah membantu 42 kasus lainnya sejak menemukan ketentuan pembatalan dalam PCMA.
Untuk mengetahui bagaimana perjuangan Bharti, simak perjuangan aktivis perempuan di India untuk menghentikan pernikahan anak yang telah Popmama.com rangkum di bawah ini, melansir dari laman pehalnews.in.
Editors' Pick
1. Pernikahan anak usia 1 tahun di Rajasthan
Maret 2012, Bharti yang ketika itu berusia 24 tahun bertemu dengan Laxmi Sargara, perempuan 18 tahun asal Rajasthan, India Utara. Saat itu, Bharti baru saja resmi mendaftarkan grupnya yang dinamakan Saarthi Trust.
Sargara merupakan seorang anak korban pernikahan anak. Ketika ia berusia 1 tahun, ia dinikahkan dengan anak laki-laki berusia 3 tahun. Ia baru mengetahui pernikahannya sendiri beberapa tahun kemudian ketika sang mertua memberi tahu bahwa ia akan tinggal bersama mereka.
Di Rajasthan, daerah asalnya yang dikenal dengan sejarah dan arsitektur megah, tercatat sebanyak 15 juta perempuan dan anak perempuan mengalami pernikahan anak pada tahun 2017. Di daerah ini, bukanlah hal baru untuk anak 1 tahun dinikahkan dalam upacara tradisional seperti mausar.
Dalam mausar, pernikahan dilakukan di hari ke-12 berkabung atas kematian seorang anggota keluarga. Anak yang dinikahkan akan tinggal bersama orangtuanya sampai gauna (ritual anak tersebut dikirim ke rumah mertua setelah ia pubertas).
Karena ketakutan, Sargara pamit untuk pergi ke tempat kakak laki-lakinya di Jodhpur yang jauhnya 1 jam perjalanan dari desanya. Dengan bantuan kakaknya, Sargara bertemu dengan Bharti.
“Ketika Laxmi mendekati saya, dia menginginkan sesuatu yang permanen dan dia tidak menginginkan perceraian untuk pernikahan yang tidak pernah ia setujui,” kisah Bharti.
“Setelah meneliti ratusan putusan dan dokumen hukum, kami akhirnya menyadari bahwa ada ketentuan pembatalan yang bisa ia gunakan,” lanjutnya.
Bharti dan tim Saarthi Trust ketika itu menggunakan undang-undang yang belum pernah digunakan sebelumnya, yaitu PCMA. Bahkan, pengadilan itu sendiri tidak mengetahuinya.
Dengan PCMA, pernikahan anak dinyatakan sah dilakukan. Namun, dapat dibatalkan dengan batas waktu sampai 2 tahun setelah anak tersebut mencapai usia dewasa.
“Hari ini ketika kami mengajukan kasus, itu jauh lebih mudah. Tetapi, saat itu, kami menetapkan preseden (hal yang telah terjadi lebih dulu dan dapat digunakan sebagai contoh),” tambah Bharti.
2. Menghadapi tradisi
3 tahun setelah pembatalan pertama itu, Bharti bertemu Santa Devi yang dibesarkan di Rohicha Kallan, yaitu sebuah desa yang berjarak 2 jam perjalanan dari Jodhpur.
Jika Sargara dinikahkan di usia 1 tahun, Devi dinikahkan di usia 11 bulan lewat upacara mausar setelah pamannya meninggal. Ia dinikahkan dengan anak laki-laki berusia 10 tahun.
Ketika Devi berusia 15 tahun pada tahun 2010, ia baru mengetahui bahwa dirinya sudah dinikahkan. Menurut keterangannya, pria yang dinikahkan dengannya mengikutinya ke mana pun, bahkan sampai muncul di sekolahnya selama berminggu-minggu.
Dengan keadaan hancur, Devi bertekad untuk mencari jalan keluar. Saat itu, Devi tidak bisa berbicara. Ia tidak tahu bahasa Hindi dan tidak pernah meninggalkan desanya.
Dalam pencariannya tersebut, ia menemukan artikel berita Bharti yang membatalkan pernikahan anak. Ia kemudian bertemu dengan Bharti yang ia sebut “didi” yang berarti ‘kakak perempuan’.
Bharti setuju untuk membantunya. Namun, mereka harus bergerak cepat sebelum Devi melampaui batas usia permohonan pembatalan, yaitu usia 20 tahun.
Sang ayah sudah mendukung Devi setelah berdiskusi dengan Bharti. Namun, upaya mereka rupanya tak berjalan semulus itu.
Saat desa mendengar tentang apa yang telah dilakukan Devi, pertemuan jati panchayat atau dewan kasta menjatuhkan denda sebesar 16 lakh rupee atau sekitar 307 juta rupiah untuk pembatalan pernikahan. Denda beserta risiko pengusiran dari desa membuat sang ayah membatalkan dukungannya pada Devi.
Devi sadar bahwa jati panchayat memberikan banyak masalah pada Bharti. Mereka bahkan mengancam akan membunuh Devi. Ada jalur hukum yang resmi, tapi jati panchayat mengambil keputusan sesuai tradisi dan dapat bertindak bertentangan dengan hukum negara.
“Hukum belum menjadi jawaban untuk masalah pernikahan anak. (Pernikahan anak) terus berlanjut, meskipun hukum sudah ada sejak lama,” kata pendiri HAQ Center for Child Rights, Bharti Ali.
Menurut riset HAQ pada tahun 2021, dari 20 kasus pernikahan anak yang diputus, 7 kasus di antaranya diputus oleh jati panchayat. Dari 7 kasus tersebut, hanya 1 kasus yang mendapat kesempatan pembatalan, sedangkan beberapa lainnya dicapai kesepakatan dengan keluarga yang terlibat.
Ali mengatakan bahwa dilihat dari riset tersebut, keputusan memang diambil oleh jati panchayat. Jika ingin ketentuan PCMA digunakan, pihaknya harus mencari tahu mekanisme lokal apa dan bagaimana mereka menghubungkannya ke pengadilan.