Demi Kebaikan Bersama, Stop Pernikahan Anak di Bawah Umur!
Pernikahan anak di bawah umur hanya akan berdampak buruk
20 Juli 2018
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Belum lama ini beredar foto dan video di sosial media mengenai pernikahan dua anak-anak di bawah umur. Beredarkan dokumentasi pernikahan ini justru memancing banyak respon dan komentar masyarakat.
Untuk Mama yang belum mendengar berita ini, perlu diketahui kalau mempelai pria (A) diketahui baru berusia 13 tahun sedangkan mempelai perempuan (I) berusia 14 tahun warga Binuang, Kalimantan Selatan. Keduanya melangsungkan perkawinan secara siri atau tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Mengenai banyaknya pernikahan anak di bawah umur, Mana perlu mengetahui informasi hal ini lebih jauh nih. Berikut rangkuman dari Popmama.com.
Editors' Pick
Pernikahan Dini Masih Tinggi di Indonesia
Berdasarkan data dari United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan salah satu negara dengan kejadian pernikahan dini yang tergolong tinggi yaitu sebesar 34%.
Selain itu, dari KPAI sendiri mengurutkan 6 provinsi dengan pernikahan anak tertinggi di Indonesia di antaranya 34,2% Sulawesi Barat, 33,68% Kalimantan Selatan, 33,56% Kalimantan Tengah, 32,21% Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah sebesar 31,92%.
Kalau diperhatikan persentase angka-angka ini cukup besar, sehingga ada banyak anak Indonesia terjebak di dalam pernikahan yang tidak diinginkan. Padahal sebenarnya ada beragam faktor yang memicu terjadinya pernikahan di bawah umur. Mulai dari faktor ekonomi, orangtua, sosiokultur hingga diakibatkan karena "kecelakaan" atau married by accident biasanya pernikahan yang dipaksakan karena telah terjadi kehamilan.
Bahaya Pernikahan Dini
Berdasarkan laporan UNICEF dan BPS (2016), setiap tahun ada 340.000 anak perempuan atau 23% yang menikah sebelum usia 18 tahun di Indonesia. Untuk rasio penduduk desa mencapai 27,11% sedangkan radio penduduk kota sebesar 17,09%.
Menikah bukan sesuatu yang main-main apalagi jika masih di bawah umur. Sebelum menyetujui terjadi pernikahan pada anaknya sendiri, sebaiknya orangtua perlu memikirkan ini matang-matang mengenai masalah ini.
Sebagai orangtua perlu banget mengetahui bahaya dari pernikahan di bawah umur. Apalagi anak-anak selain tidak cukup umur, belum bisa juga sepenuhnya bertanggung jawab mengenai komitmen dan peran setelah pernikahan itu sendiri.
Orangtua seharusnya berhak mengarahkan yang terbaik mengenai filosofi mengenai pernikahan. Jangan sampai pernikahan yang terjadi pada Si Anak justru berdampak pada mentalnya.
Untuk dampaknya sendiri, Si Anak yang menikah sebelum waktunya akan mengalami beberapa dampak buruk seperti:
- Memiliki hidup dalam garis kemiskinan,
- berisiko tertular HIV & penyakit seksual lainnya,
- peluang melanjutkan pendidikan menjadi semakin terbatas,
- ketidaksiapan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
- punya peluang 5 kali lebih besar meninggal dunia saat proses persalinan,
- berisiko mengalami stres hingga depresi karena belum siap menghadapi masalah rumah tangga,
- berpeluang terjadi KDRT di dalam pernikahan karena belum ada kematangan secara emosional.
Dengan banyaknya dampak buruk yang bisa terjadi pada Si Anak, Mama masih mau memperbolehkan dirinya menikah di usia terlalu dini?
Masyarakat Harus Menolak
Sayang sekali kalau masih belum sesuai umur, namun sudah harus menjalani hubungan berkeluarga. Pasti ada saja ketidaksiapan fisik atau mental yang tidak bisa diungkapkan.
Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sangat menyayangkan pernikahan pada anak-anal yang terjadi di Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
“Kita tidak boleh mentolerir dan harus menolak pernikahan pada usia anak-anak. Ini bukan sebuah kepentingan terbaik yang harus dilakukan anak-anak,” tegas Yohana.
Pada kasus A dan I yang terlanjur melakukan pernikahan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah melakukan pendampingan serta upaya persuasif agar setidaknya pasangan ini menunda kehamilan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan hingga kondisi fisik pihak perempuan sudah siap. Terutama mengenai alat reproduksi dan kematangan emosional mereka sudah siap untuk mempunyai anak, karena secara psikologis usia anak belum matang untuk membangun keluarga.
Menteri Yohana menyebutkan, kementerian juga akan mengupayakan pendampingan dan pemantauan terhadap pasangan tersebut, untuk mencegah kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian. Selain itu, memastikan hak-hak anak tetap terpenuhi seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak melakukan pernikahan yang diakui negara hingga usianya telah siap sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Yohana menambahkan, KemenPPPA terus mendorong revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar menaikkan usia perkawinan minimal 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki. Ketentuan batas minimal usia pernikahan harus dinaikkan untuk mencegah pernikahan pada anak di bawah umur terus terjadi.
Beberapa hal di atas bisa dijadikan cerminan mengenai banyaknya pernikahan anak-anak yang masih di bawah umur.
Semoga informasi ini membukakan mata Mama ya.