Beberapa anak menunjukkan reaksi setelah mengonsumsi makanan tertentu. Hal ini bisa disebabkan oleh intoleransi makanan. Tak seperti beberapa alergi, intoleransi makanan tidak mengancam jiwa. Namun, bisa sangat bermasalah bagi anak yang memilikinya.
Intoleransi makanan sangat umum dan bisa meningkat. Reaksinya bisa disebabkan ketika tubuh tidak dapat memecah makanan dengan benar atau mungkin karena tubuh teriritasi oleh bahan kimia yang ditemukan dalam makanan.
Beberapa anak mungkin dapat mengatasi sejumlah kecil makanan yang tidak dapat ditoleransi, namun sebagian anak lain mungkin merasakan gejala yang ringan hingga mengganggu.
Jika Mama mencurigai anak memiliki intoleransi pada makanan, kali ini Popmama.com akan membahas lima penyebab intoleransi makanan yang paling sering pada anak dan cara mengatasinya.
1. Susu dan produk yang mengandung susu
Freepik.com
Laktosa adalah gula yang ditemukan dalam susu dan produk susu. Ini dipecah dalam tubuh oleh enzim yang disebut laktase, yang diperlukan agar laktosa dapat dicerna dan diserap dengan baik.
Intoleransi laktosa disebabkan oleh kekurangan enzim laktase, yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mencerna laktosa dan mengakibatkan gejala pencernaan.
Menurut sebuah studi di tahun 2012 dengan judul "Lactose intolerance: diagnosis, genetic, and clinical factors", gejala intoleransi laktosa termasuk:
Sakit perut
kembung
Diare
Sering buang angin
Mual
Dilansir dari Healthline.com, intoleransi laktosa sangat umum. Bahkan, diperkirakan 65 persen populasi dunia mengalami kesulitan mencerna laktosa.
Intoleransi laktosa dapat didiagnosis dengan beberapa cara, termasuk tes toleransi laktosa, tes napas laktosa, atau tes PH tinja.
Jika Mama merasa anak memiliki intoleransi terhadap laktosa, hindari produk susu yang mengandung laktosa, seperti susu dan es krim. Keju tua dan produk fermentasi seperti kefir mungkin lebih mudah ditoleransi oleh anak yang memiliki intoleransi laktosa, karena mengandung lebih sedikit laktosa daripada produk susu lainnya.
2. Gluten
Freepik/Azerbaijan-stockers
Gluten adalah nama umum yang diberikan untuk protein yang ditemukan dalam gandum, barley, rye dan triticale. Beberapa kondisi berhubungan dengan gluten, termasuk penyakit celiac, sensitivitas gluten non-celiac dan alergi gandum.
Penyakit celiac melibatkan respons imun, itulah sebabnya penyakit ini diklasifikasikan sebagai penyakit autoimun. Ketika anak dengan penyakit celiac terkena gluten, sistem kekebalan menyerang usus kecil dan dapat menyebabkan kerusakan serius pada sistem pencernaan.
Alergi gandum sering disalahartikan dengan penyakit celiac karena gejalanya yang mirip. Namun, dilansir dari Mayo Clinic, ada perbedaan yang mendasarinya.
Alergi gandum menghasilkan antibodi penghasil alergi terhadap protein dalam gandum, sedangkan penyakit celiac disebabkan oleh reaksi imun abnormal, khususnya terhadap gluten.
Menurut sebuah studi dalam jurnal United European Gastroenterol, gejala sensitivitas gluten non-celiac mirip dengan penyakit celiac, ini termasuk:
Perut kembung
Sakit perut
Diare atau sembelit
Sakit kepala
Kelelahan
Nyeri sendi
Ruam kulit
Depresi atau kecemasan
Anemia
Baik penyakit celiac dan sensitivitas gluten non-celiac bisa diatasi dengan diet bebas gluten. Ini melibatkan mengikuti diet bebas dari makanan dan produk yang mengandung gluten, seperti:
Roti
Pasta seperti spageti
Sereal
Makanan yang dipanggang
Biskuit
Beberapa macam saus, termasuk kecap
Editors' Pick
3. Kafein
Pexels/samer daboul
Jika Mama beranggapan bahwa kafein hanya terkandung dalam kopi, ketahuilah bahwa kafein dapat ditemukan dalam berbagai macam minuman, termasuk kopi, soda, teh, cokelat dan minuman energi.
Kafein adalah stimulan, untuk membantu anak mengatasi kelelahan dan meningkatkan kewaspadaan saat dikonsumsi, dengan memblokir reseptor untuk adenosin, neurotransmitter yang mengatur siklus tidur-bangun dan menyebabkan kantuk.
Namun, beberapa anak lebih sensitif terhadap kafein dan mengalami reaksi bahkan setelah mengonsumsinya dalam jumlah kecil.
Menurut sebuah studi di tahun 2012 dalam jurnal Sleep Research Society, hipersensitivitas terhadap kafein ini dapat dikaitkan dengan genetika, serta penurunan kemampuan untuk memetabolisme dan mengeluarkan kafein.
Anak yang intoleransi produk-produk berkafein mungkin mengalami gejala berikut setelah mengonsumsi sedikit kafein:
Denyut jantung cepat
Kecemasan
Insomnia
Gugup atau gelisah
Anak dengan kepekaan terhadap kafein harus meminimalkan asupannya, dengan menghindari makanan dan minuman yang mengandung kafein, termasuk kopi, soda, minuman energi, teh dan coklat.
4. Fruktosa
Freepik
Dilansir dari Healthline, fruktosa adalah gula sederhana yang ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran, serta pemanis seperti madu dan sirup jagung fruktosa tinggi.
Konsumsi fruktosa, terutama dari minuman manis, telah meningkat secara dramatis dalam empat puluh tahun terakhir dan dikaitkan dengan peningkatan obesitas, penyakit hati, dan penyakit jantung.
Selain peningkatan penyakit terkait fruktosa, juga terjadi lonjakan malabsorpsi dan intoleransi fruktosa. Dalam sebuah studi di tahun 2014, ketika seseorang memiliki intoleransi fruktosa, fruktosa tidak diserap secara efisien ke dalam darah.
Sebaliknya, fruktosa yang tidak diserap berjalan ke usus besar, di mana difermentasi oleh bakteri usus yang menyebabkan gangguan pencernaan. Gejala intoleransi fruktosa meliputi:
Refluks
Sering buang angin
Diare
Mual
Sakit perut
Muntah
Kembung
Jika Mama memiliki anak dengan intoleransi fruktosa, perlu mengelola gejala yang berhubungan dengan makanan tinggi fruktosa. Misalnya dengan menghindari beberapa makanan dan minuman berikut ini:
Soda
Madu
Apel, jus apel dan sari apel
Makanan mengandung sirup jagung fruktosa tinggi
Beberapa buah-buahan seperti semangka, ceri, dan pir
Sayuran tertentu seperti kacang polong gula
5. Monosodium glutamat (MSG)
Eatthis.com
Monosodium glutamat (MSG) adalah penambah rasa. Ini seringkali digunakan pada banyak makanan kaleng, makanan instan, dan daging olahan. Namun MSG juga terjadi secara alami di beberapa sayuran, buah-buahan, dan keju.
Dilansir dari NY Allergy & Sinus Center, banyak dokter berpendapat bahwa gejala yang berhubungan dengan MSG tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh, itu tidak bisa disebut alergi.
Sebagian besar dokter telah menetapkannya sebagai sensitivitas atau intoleransi alih-alih alergi. Gejala intoleransi MSG biasanya berhubungan dengan sistem pencernaan tetapi juga dapat memengaruhi kulit.
Beberapa gejala yang ditimbulkan ketika anak mengalami intoleransi MSG adalah:
Kembung
Sering buang angin
Diare
Sakit kepala
Sakit perut
Kulit terasa seperti kesemutan
Bila dikonsumsi dalam dosis besar, MSG dapat menyebabkan masalah pencernaan yang parah. Namun, jumlah yang ditambahkan ke makanan biasanya tidak cukup untuk menyebabkan reaksi merugikan yang serius.
Setelah mengetahui beberapa penyebab intoleransi makanan yang paling umum pada anak-anak. Penting bagi Mama untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi ketika anak secara tidak sengaja mengonsumsi makanan yang menyebabkan timbul gejala.
Bagaimana Cara Mengatasi Anak yang Mengalami Intoleransi Makanan?
Freepik/Pressfoto
Dilansir dari Raising Children, diet eliminasi adalah cara yang paling umum untuk mengatasi intoleransi makanan pada anak. Ini melibatkan penghapusan makanan yang mungkin menyebabkan intoleransi.
Mama dapat menghilangkan makanan tersebut untuk jangka waktu tertentu, biasanya berminggu-minggu. Kemudian memperkenalkan kembali makanan satu per satu untuk mencari tahu makanan mana yang menyebabkan intoleransi.
Jika Mama menduga anak memiliki intoleransi fruktosa atau laktosa, dokter mungkin juga akan menggunakan tes napas. Cara ini untuk menguji jumlah gas hidrogen dalam napas anak.
Anak yang tidak toleran laktosa akan memiliki tingkat hidrogen yang lebih tinggi dalam napasnya. Mendiagnosis intoleransi laktosa terkadang rumit karena gejalanya mirip dengan alergi makanan.
Jika dokter telah mendiagnosis intoleransi makanan pada anak, ia mungkin menyarankan untuk mengurangi porsi makanan yang menyebabkan intoleransi, atau anak harus menghindarinya sama sekali.
Jika anak tak sengajak makan sesuatu yang tidak ditoleran dan mengalami gejala intoleransi, gejalanya biasanya akan hilang dengan sendirinya. Anak seharusnya tidak memerlukan perhatian medis yang mendesak.
Tetapi jika anak menunjukkan gejala seperti diare, Mama perlu memastikan anak mendapat banyak asupan cairan.
Sulit untuk mengetahui seberapa lama kondisi ini pada anak, karena intoleransi makanan berlangsung tergantung pada makanan dan alasan tubuh anak bereaksi terhadapnya.
Ketika Mama mencurigai anak memiliki intoleransi makanan, yang terbaik adalah berbicara dengan dokter umum atau ahli gizi. Mereka mungkin menyarankan agar hati-hati memasukkan makanan ke dalam menu makanan anak di rumah untuk memeriksa apakah intoleransi makanan telah hilang.