Jarang Disadari, 5 Dampak Toxic Masculinity pada Anak Laki-laki
Tak hanya berdampak pada anak sendiri, toxic masculinity bisa berdampak pada orang di sekitar anak
9 April 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
"Anak laki-laki nggak boleh menangis!"
"Anak laki kok cengeng?"
"Kamu sebagai anak laki-laki harus kuat ya!"
Pernahkah Mama mendengar kalimat tersebut? Atau pernah mengucapkannya pada anak laki-laki? Kalimat di atas adalah salah satu bentuk toxic masculinity.
Ini merupakan anggapan yang salah tentang maskulinitas, hingga berdampak pada tuntutan yang tidak wajar terhadap sisi kuat dan maskulin seorang anak laki-laki.
Parahnya, tak sedikit orangtua yang belum memahami ini dan menerapkannya dalam pola asuh.
Anak laki-laki yang sering terkena toxic masculinity, bisa berdampak pada mental dan pembentukan pribadinya.
Lantas apa saja dampak toxic masculinity pada anak laki-laki?
Berikut Popmama.com telah merangkum beberapa informasinya di bawah ini!
1. Memendam emosi dan perasaan sakitnya sendiri
Toxic masculinity pertama yang sering dilakukan dalam pengasuhan anak laki-laki adalah melarangnya untuk menangis. Ketika anak laki-laki menangis akibat jatuh atau sedang tidak baik-baik saja, ia kerap dianggap lemah dan cengeng.
Hal ini sebenarnya berdampak buruk pada anak. Jika sejak kecil anak dilarang menangis, ia bisa jadi banyak memendam emosi dan perasaan sakitnya sendiri.
Karena dia berpikir jika laki-laki tidak boleh menangis, padahal kenyataannya sedih atau takut adalah perasaan yang wajar bagi anak-anak, laki-laki maupun permpuan. Dan menangis tidak menandakan laki-laki yang lemah.
Editors' Pick
2. Berpotensi menjadi pelaku bully
Selain tidak boleh nangis, di dalam pola asuh yang toxic masculinity, orangtua juga menerapkan aturan jika anak laki-laki itu harus berani berhadapan dengan siapa saja.
Hal ini bertujuan supaya anak dapat tumbuh menjadi sosok yang kuat dan pemberani yang bisa melindungi diri dan tidak penakut.
Namun, salah dalam mengasuh bisa menyebabkan anak berpotensi menjadi pelaku bully. Karena ia beranggapan bahwa dirinya kuat serta bisa menindas siapa pun yang lemah dan melawan orang-orang yang tidak patuh dengannya.