Pernahkah Mama melihat anak iri hingga stres ketika melihat anggota keluarga atau teman-temannya mengikuti sebuah tren? Mungkin anak memiliki kondisi FOMO atau Fear of Missing Out alias “takut ketinggalan”.
FOMO merupakan fenomena nyata yang menjadi semakin umum dan dapat menyebabkan stres yang signifikan dalam hidup anak. Ini dapat memengaruhi hampir semua orang dalam segala kalangan usia, tetapi beberapa orang berisiko lebih besar.
Kali ini Popmama.com akan membahas tentang sejarah FOMO, apa yang dikatakan penelitian, bagaimana dampaknya dalam hidup anak, dan bagaimana cara membantu anak mengatasi FOMO agar tidak berdampak negatif pada kebahagiaannya.
1. FOMO merupakan pola perilaku di mana seorang remaja memiliki rasa takut ketinggalan
Freepik/Dragonimages
FOMO merupakan pola perilaku di mana seorang remaja memiliki rasa takut ketinggalan, yang mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik daripada anak.
Kondisi ini mengakibatkan anak selalu merasa khawatir berlebihan dan ketakutan jika tidak mengikuti tren yang sedang berjalan. Ini melibatkan rasa iri yang mendalam dan memengaruhi harga diri seorang anak. Kondisi ini seringkali diperburuk oleh situs media sosial.
Dilansir dari verywellmind.com, FOMO bukan hanya sekadar perasaan bahwa mungkin ada hal-hal yang lebih baik yang dapat anak lakukan saat ini, namun FOMO menimbulkan perasaan bahwa anak merasa kehilangan sesuatu yang sangat penting, tetapi sedang dijalani atau dialami orang lain saat ini.
Ini dapat berlaku untuk apa saja, mulai melihat orang lain liburan hingga temannya yang naik peringkat kelas. Kondisi ini menyebabkan perasaan tidak berdaya bahwa anak mama melewatkan sesuatu yang besar.
2. Sejarah Singkat FOMO yang telah terjadi selama berabad-abad
Freepik
Dilansir dari verywellmind.com, gagasan FOMO ini ternyata bukan hal baru, karena telah ada selama berabad-abad berdasarkan bukti yang terdapat pada teks kuno. Namun, FOMO baru dipelajari pada beberapa dekade terakhir.
Pola perilaku ini dimulai dengan makalah penelitian tahun 1996 oleh ahli strategi pemasaran, Dr. Dan Herman, yang menciptakan istilah “Fear of Missing Out” atau "takut ketinggalan". Namun, sejak munculnya media sosial, istilah FOMO menjadi lebih jelas dan dipelajari lebih sering.
Dilansir dari telegraph.co.uk, FOMO menjadi fenomena penting sehingga terdapat di The Oxford English Dictionary yang telah terjamin sejak 2013. Menyederhanakannya menjadi bentuk akronim membuat banyak yang berpikir bahwa ini kondisi perilaku biasa.
FOMO mungkin dianggap sepele, tetapi sebenarnya, ini bisa sangat mengerikan, tidak hanya untuk anak yang mengalaminya, tetapi untuk orangtua yang juga harus berurusan dengan suasana hati anak.
Editors' Pick
3. Bagaimana media sosial berdampak pada FOMO
Freepik
Media sosial telah mempercepat fenomena FOMO dalam beberapa cara. Ini memberikan situasi di mana seorang anak mulai membandingkan kehidupannya dengan hal-hal penting dalam kehidupan orang lain.
Oleh karena itu, perasaan "normal" anak menjadi goyah, dan membuatnya merasa telah melakukan lebih buruk daripada teman-temannya. Remaja mungkin juga melihat foto teman-temannya yang menikmati saat-saat menyenangkan tanpa kehadirannya.
Media sosial terkadang menjadi wadah untuk membanggakan diri, di mana setiap orang berlomba-lomba untuk menunjukkan benda, peristiwa, dan bahkan kebahagiaannya pada waktu-waktu tertentu. Orang-orang membagikan pengalamannya yang terbaik dan sempurna, yang mungkin membuat anak bertanya-tanya apa yang kurang dari hidupnya.
4. Beberapa hasil penelitian tentang FOMO yang mengindikasi dampak negatif
Freepik
Karena banyak penelitian tentang FOMO, terdapat beberapa gambaran yang lebih jelas tentang apa yang diperlukan dan bagaimana pengaruhnya terhadap anak. Beberapa gambaraannya menunjukkan ada banyak efek negatif FOMO, dan ini lebih umum daripada yang Mama duga. Pertimbangkan hal berikut:
Situs jejaring sosial
Tidak mengherankan, remaja menggunakan media sosial sosial dengan intensitas tinggi dan mungkin mengalami FOMO sebagai hasilnya. Menariknya, FOMO bertindak sebagai mekanisme yang memicu penggunaan jejaring sosial yang lebih tinggi.
Anak perempuan yang mengalami depresi cenderung lebih sering menggunakan media sosial, sedangkan bagi anak laki-laki, kecemasan adalah pemicu penggunaan media sosial yang lebih besar. Dua hal ini menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan media sosial dapat menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi yang disebabkan oleh FOMO.
FOMO, Usia, dan Jenis Kelamin
FOMO dapat dialami oleh orang-orang dari segala usia, beberapa penelitian menemukan. Satu studi dalam jurnal Psychiatry Research menemukan bahwa rasa takut ketinggalan terkait dengan penggunaan ponsel cerdas dan media sosial yang lebih besar, dan pola perilaku ini tidak terkait dengan usia atau jenis kelamin.
Penelitian juga menemukan bahwa penggunaan media sosial dan penggunaan smartphone yang "bermasalah" dikaitkan dengan perilaku FOMO yang lebih besar. Penggunaan smartphone terkait dengan ketakutan dapat menimbulkan efek negatif pada suasana hati.
Peringkat kepuasan hidup
Artikel lain yang diterbitkan di Computers and Human Behavior menemukan beberapa tren yang terkait dengan FOMO. Pola perilaku ini ditemukan terkait dengan perasaan, bahwa ada kebutuhan seseorang terpenuhi, serta seseorang dengan kepuasan hidup yang lebih rendah secara umum.
FOMO sangat terkait dengan keterlibatan yang lebih tinggi di media sosial, seperti yang dikatakan oleh penelitian lain. Ini berarti bahwa FOMO dan kebiasaan media sosial dapat berkontribusi pada siklus negatif yang terus berlanjut.
Potensi bahaya FOMO
Selain meningkatnya perasaan tidak bahagia, rasa takut ketinggalan dapat menyebabkan keterlibatan yang lebih besar dalam perilaku tidak sehat. Misalnya, studi yang sama di Computers and Human Behavior menemukan bahwa FOMO dikaitkan dengan gangguan mengemudi, yang dalam beberapa kasus bisa mematikan.
5. Dampak buruk FOMO pada kehidupan anak
Freepik
Ada beberapa dampak buruk yang timbul dari fenomena FOMO pada remaja, dan sebagian besa rberdampak negatif untuk kesehatan mentalnya. Tanda-tanda anak terkena FOMO juga beragam, salah satunya ketika anak menghabiskan waktu berjam-jam bermain media sosial di gadget-nya.
Beberapa dampak buruk yang ditimbulkan adalah:
Mempengaruhi kesehatan mental
Di luar fenomena ini, kecemasan dan ketakutan terkadang sudah memengaruhi kondisi mental dan fisik anak. Namun, akses media sosial yang lebih mudah dijangkau ini menyebabkan gangguan kecemasan menjadi lebih besar.
Rasa ketakutan ini membuat anak merasa lebih cepat lelah, kurang konsentrasi, dan insomnia atau sulit tidur. Jika FOMO berjalan dalam jangka waktu yang lama, maka tubuh bisa mengalami gangguan organ dalam, mulai dari kesehatan jantung hingga kardiovaskuler.
Berdampak buruk pada hubungan sosial
Selain berdampak buruk pada fisik dan mental anak, FOMO juga bisa memengaruhi hubungan sosialnya, baik pertemanan anak secara online atau offline.
Beberapa contoh perilaku yang bisa menyebabkan hubungan sosial semakin mereggang antara lain melontarkan kata-kata kasar, memberikan komentar yang tidak sopan, bertindak diluar norma sosial, yang pada akhirnya menimbulkan penyesalan diri di hari yang akan datang.
Menimbulkan masalah ekonomi
Tak dapat dipungkiri lagi, fenomena FOMO menyebabkan perilaku konsumtif pada remaja yang semakin besar. Akibatnya, remaja yang terkena FOMO seringkali menyebabkan orangtua mengalami masalah ekonomi karena meminta barang untuk kebutuhan yang tidak bersifat penting.
Parahnya lagi jika hal ini disebabkan karena remaja hanya ingin mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Misalnya ketika teman-teman anak ramai membeli permainan konsol terbaru, anak yang terkena FOMO juga akan ikut-ikutan membeli permainan konsol.
Hal ini dilakukan karena anak takut dan cemas jika ketinggalan tren yang sedang berjalan.
6. Cara membantu anak dalam mengatasi FOMO yang dialaminya
Freepik/Demanna
Dilansir dari verywellmind.com, penelitian menunjukkan bahwa rasa takut ketinggalan bisa berasal dari ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan remaja dengan kehidupannya, dan perasaan ini dapat mendorong anak lebih banyak menggunakan media sosial.
Pada gilirannya, intensitas yang lebih besar dengan media sosial dapat membuat anak merasa lebih buruk tentang diri dan hidupnya, bukan lebih baik.
Untungnya, Mama dapat membantu anak untuk meminimalisir rasa takut akan ketinggalannya tersebut dan mencegah anak untuk melakukan tindakan buruk, dengan menerapkan langkah-langkah di bawah ini:
Ubah fokus anak
Daripada berfokus pada kekurangan yang dimiliki, cobalah meminta anak untuk memerhatikan apa yang ia miliki. Ini memang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan di media sosial, di mana anak mungkin dibombardir dengan hal-hal yang tidak dimilikinya, tetapi itu bisa dilakukan.
Tambahkan lebih banyak orang positif ke pertemanan media sosialnya, dan sembunyikan orang yang cenderung terlalu sombong atau tidak mendukung anak.
Hal ini dapat membantu anak mengurangi pemicu FOMO-nya dan lebih banyak hal yang membuat ia merasa nyaman dengan diri sendiri. Berusahalah untuk mengidentifikasi apa yang mungkin melemahkan kegembiraan anak.
Berusahalah untuk meminimalkan rasa iri dan menambahkan lebih banyak asupan kehidupan yang membuat anak lebih bahagia.
Minta anak menulis jurnal
Mengunggah di media sosial adalah hal yang umum untuk mencatat hal-hal menyenangkan yang anak lakukan. Namun, hal ini justru berdampak pada anak yang ingin mendapatkan validitas atau pengakuan dari orang lain secara online.
Jika ini masalahnya, Mama mungkin dapat mengajak anak untuk mengambil beberapa foto dan menyimpan kenangannya secara offline, dengan membuat jurnal pribadi tentang kenangan terbaiknya.
Membuat jurnal juga dapat membantu anak mengalihkan fokus dari pengakuan menjadi apresiasi pribadi terhadap hal-hal yang membuat hidup anak lebih hebat. Perilaku ini terkadang dapat membantu anak keluar dari siklus media sosial dan FOMO.
Carilah pertemanan yang lebih nyata
Perasaan kesepian atau pengucilan sebenarnya adalah cara otak kita memberi tahu bahwa kita ingin mencari koneksi yang lebih besar dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki. Sayangnya, keterlibatan media sosial tidak selalu menjadi cara tepat untuk mencapai hal ini.
Anak mungkin berlari dari satu situasi buruk ke situasi yang lebih buruk. Daripada mencoba lebih banyak terhubung dengan orang-orang di media sosial, anak sebaiknya mencari hubungan atau pertemanan secara nyata.
Membuat rencana dengan seorang teman yang baik, mengadakan tamasya, atau melakukan kegiatan sosial yang membuat anak bergaul dengan teman-teman bisa menjadi langkah perubahan yang tepat, dan itu dapat membantu anak menghilangkan perasaan Fomo.
Jika anak tidak punya waktu untuk membuat rencana, mengirim pesan langsung di media sosial ke seorang teman dapat membina hubungan yang lebih baik dan lebih intim, daripada memposting foto ke semua media sosial dan mengharapkan "suka" dari orang lain.
Fokus pada bersyukur
Penelitian menunjukkan bahwa terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan rasa syukur seperti menulis jurnal rasa syukur atau sekadar memberi tahu orang lain apa yang ia hargai, dapat mengangkat semangat anak serta semua orang di sekitarnya.
FOMO seringkali membuat anak merasa seolah-olah selalu kekurangan, namun lupa pada kelimpahan yang sudah ia miliki. Mensyukuri kehadiran orang lain juga berlaku, karena membuat orang lain merasa baik seringkali membuat perasaan semakin baik.
Setiap anak bahkan orang dewasa merasakan tingkat FOMO pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka. Setelah mengikuti langkah-langkah di atas, Mama mungkin membantu anak keluar dari jebakan media sosial dan melepaskan kecemasan dari “ketinggalan” pada apa pun.
Apalagi ketika anak mulai menyadari betapa banyak yang sudah ia miliki, dan sangat baik untuk kesehatan mental dan emosionalnya di masa remaja.