5 Toxic Masculinity yang Harus Orangtua Hindari pada Remaja Laki-Laki
Seberapa sering Mama mendengar, "Anak cowo nggak boleh nangis lho!"
22 Oktober 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Baik di sadari atau tidak, masyarakat kita mengembangkan gagasan peran gender atau gender role. Peran ini seringkali dikaitkan dengan stereotip atau penilaian yang diterima secara luas tentang seseorang atau kelompok, meskipun terkadang terlalu disederhanakan dan tidak selalu akurat.
Peran gender mengharapkan bagaimana cara bertindak, berbicara, berpakaian, berdandan, dan berperilaku berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, remaja laki-laki umumnya diharapkan maskulin, kuat, agresif, dan berani.
Stereotip tentang gender laki-laki dapat menyebabkan toxic masculinity atau perlakuan yang tidak setara dan tidak adil. Sayangnya, perlakuan ni bisa terjadi bahkan dari lingkungan terdekat anak, yaitu orangtua.
Apa saja toxic masculinity yang umum terjadi pada remaja laki-laki? Simak informasinya yang telah Popmama.com rangkum di bawah ini:
1. Tidak boleh menangis atau mengeluh
Mama mungkin sudah tidak asing dengan yang satu ini, karena hampir semua orang termasuk orangtua dari anak remaja laki-laki, menerapkannya sejak kecil. Yaitu anggapan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis atau mengeluh.
Ketika anak laki-laki menangis seringkali dicap cengeng, atau ketika anak mengeluh seringkali dianggap lemah, dan tidak sepantasnya laki-laki melakukannya.
Dampak toxic masculinity ini bisa berpengaruh pada mental anak remaja, dan membuatnya jadi terbiasa untuk menutup diri dan tidak mengekspresikan dirinya secara terbuka pada orangtua.
Editors' Pick
2. Harus menjadi penguasa dan disegani
Standar tentang laki-laki harus menjadi pemimpin, memiliki kuasa dan disegani sekitarnya juga merupakan bagian dari toxic masculinity. Walaupun mengajarkan kepemimpinan pada anak adalah hal yang baik, ini juga harus diimbangi dengan rasa empati yang tinggi.
Jika tidak, remaja yang terlahir sebagai laki-laki terbiasa untuk menjadi dominan atau penguasa di lingkungannya. Akibatnya banyak sekali laki-laki yang berlomba untuk menjadi nomor satu, bahkan dengan cara negatif.
Misalnya anak melakukan tindakan bullying kepada teman sekolahnya karena ia merasa kuat dan harus disegani.