Profil 7 Pahlawan Revolusi Korban G30S/PKI yang Anak Harus Tahu
Yuk, perkenalkan 7 pahlawan revolusi korban G30S/PKI kepada anak!
30 September 2024
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tanggal 30 September 1965 menjadi salah satu peristiwa tragis yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Hari itu menjadi peristiwa di mana terjadi pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tujuan mengubah ideologi bangsa Indonesia.
Peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S/PKI ini turut merenggut banyak nyawa, termasuk tujuh perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini dikenang sebagai pahlawan revolusi.
Mari kenalkan mereka kepada anak lewat rangkuman profil 7 pahlawan revolusi korban G30S/PKI yang sudah Popmama.com siapkan dalam artikel kali ini.
Yuk, disimak!
Profil 7 Pahlawan Revolusi Korban G30S/PKI
1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani (1922-1965)
Ahmad Yani lahir 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo. Saat masa pendudukan Jepang, Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan pendidikan tentara pada Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Karena prestasinya, dia diberi pedang samurai yang istimewa.
Setelah terbentuk TKR, Yani diangkat sebagai Komandan TKR Purwokerto. Pada tahun 1948 silam, Yani ikut serta beroperasi dalam misi menumpas pemberontakan PKI Muso di Madiun.
Ketika Agresi Militer Belanda II, dia diangkat sebagai Komandan Wehrkreise II daerah Kedu. Kemudian, dia membentuk pasukan istimewa dengan nama Banteng Raiders selama bertugas dalam menumpas pengacau DI/TII yang ada di Jawa Tengah.
Setelah tugas itu selesai, dia mendapat tugas untuk belajar pada Command and General Staff College di Amerika Serikat.
Pada tahun 1958, Yani diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang, Sumatra Barat, untuk menumpas pemberontakan PRRI. Dia lalu diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 1962.
Namun, dia difitnah dan dituduh ingin menjatuhkan Presiden Soekarno oleh PKI. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, dia diculik oleh gerombolan PKI. Dia dibunuh dan jenazahnya ditemukan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jenazahnya lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ahmad Yani turut dianugerahi Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan menjadi Anumerta. Namanya pun diabadikan sebagai nama jalan di berbagai daerah di Indonesia.
2. Letjen (Anumerta) Suprapto (1920-1965)
Suprapto lahir pada tanggal 20 Juni 1920 di Purwokerto. Pendidikan di bidang militer dimulainya melalui Akademi Militer Kerajaan di Bandung. Akan tetapi, pendidikannya sempat terputus karena mendaratnya tentara Jepang di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Suprapto mengikuti berbagai latihan yang disediakan untuk para pemuda kala itu. Dia mengikuti kursus pada Pusat Latihan Pemuda dan bekerja pada Kantor Pendidikan Masyarakat.
Di awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Dia kemudian memasuki TKR di Purwokerto dan ikut serta dalam misi pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.
Dalam dinas kemiliterannya, dia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang, sebagai staf Angkatan Darat di Jakarta, sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra di Medan, sebagai Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat Jakarta.
Singkat cerita, rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima ditentang Suprapto. Dia lalu diculik dan dibunuh oleh segerombolan PKI pada 1 Oktober 1965 dini hari. Jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Editors' Pick
3. Letjen (Anumerta) S. Parman (1918-1965)
Siswondo Parman atau S. Parman lahir pada 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah. Saat masa pendudukan Jepang, dia bekerja pada Jawatan Kenpeitai.
Dia ternyata pernah ditangkap karena dicurigai Jepang. Walau demikian, dia dilepaskan kembali. Dia bahkan dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai.
Setelah proklamasi kemerdekaan, dia masuk TKR lalu diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara di Yogyakarta. Di bulan Desember 1949, S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya.
Dia kemudian menjadi Kepala Staf G dan mendapat tugas belajar pada Military Police School di Amerika Serikat tahun 1951. Dia kembali ke tanah air dengan tugas di Kementerian Pertahanan.
Pada tahun 1959, dia diangkat sebagai Atase Militer RI di London. Lima tahun kemudian, S. Parman diserahi tugas Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal.
Sebagai perwira intelijen yang berpengalaman, S. Parman banyak mengetahui usaha-usaha pemberontakan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima. Dia kemudian diculik pada 1 Oktober 1965 oleh gerombolan PKI dan dibunuh.
4. Letjen (Anumerta) MT. Haryono (1924-1965)
Mas Tirtodarmo Haryono atau yang dikenal MT. Haryono dilahirkan di Surabaya pada 20 Januari 1924. Saat masa pendudukan Jepang, dia mengikuti pelajaran pada Ika Dai Gaku atau Sekolah Kedokteran di Jakarta.
Saat masa proklamasi kemerdekaan, Haryono ikut bergabung dalam TKR dengan pangkat Mayor. Lantaran pandai dalam berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman, dia ikut dalam perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda atau Indonesia dengan Inggris.
Haryono pun pernah menjadi sekretaris delegasi Indonesia dan Sekretaris Dewan Pertahanan Negara. Dia juga tercatat sempat menjadi Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata.
Saat dilangsungkan KMB, Haryono adalah Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Dia lalu menjadi Atase Militer RI untuk Belanda pada 1950 dan di tahun 1964 menjabat sebagai Direktur Intendans dan Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.
MT. Haryono termasuk salah satu korban kekejaman G30S/PKI. Dia dibunuh PKI pada 1 Oktober 1965 dini hari di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazahnya diketahui telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
5. Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan (1925-1965)
Donald Ignatius Panjaitan atau yang lebih dikenal publik dengan nama D. I. Panjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli.
Saat masa pendudukan Jepang, dia memasuki pendidikan militer Gyugun. Ia kemudian ditempatkan di Pekanbaru, Riau. D. I. Panjaitan menetap di sana sampai proklamasi kemerdekaan.
Menurut catatan Ensiklopedi Pahlawan Nasional yang terbit pada 1995, D. I. Panjaitan tercatat sebagai sosok yang ikut membentuk TKR dan diangkat sebagai Komandan Batalyon.
Pada tahun 1948, D. I. Panjaitan menjabat Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, lalu sebagai Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatra.
Saat Agresi Militer Belanda II, dia bertugas sebagai Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), kemudian menjabat Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di Medan.
Pada 1 Oktober 1965, D. I. Panjaitan diculik oleh gerombolan PKI. Dia juga turut menjadi korban dalam peristiwa itu. Setelah wafat, pangkat D. I. Panjaitan dinaikkan menjadi Mayor Jenderal Anumerta dengan diberi gelar pahlawan revolusi.
Tak sampai di situ, namanya juga turut diabadikan sebagai nama jalan.
6. Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo (1922-1965)
Sutoyo Siswomiharjo lahir pada tanggal 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Ketika masa pendudukan Jepang, Sutoyo mendapat pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta dan menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Sutoyo memasuki TKR bagian Kepolisian. Dia kemudian menjadi anggota Corps Polisi Militer dan diangkat sebagai ajudan Kolonel Gatot Subroto dan menjadi Kepala Bagian Organisasi Resmien II Polisi Tentara di Purworejo.
Setelah itu, Sutoyo berturut-turut menjadi Kepala CPM Yogyakarta dan Komandan CPM Detasemen III Surakarta, Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer 1954 dan tahun 1956 Asisten Atase Militer RI untuk Inggris.
Ketika Gerakan 30 September meletus, Sutoyo ikut menjadi pihak yang diculik dan dibunuh. Pasalnya, dia tidak setuju dengan rencana pembentukan Angkatan Kelima kala itu.
Sutoyo diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965 dini hari. Jenazahnya lalu dibuang di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Setelah ditemukan, jenazah Sutoyo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
7. Kapten (Anumerta) Pierre Andries Tendean (1939-1965)
Pierre Andries Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Selepas pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik pada 1962, dia menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.
Tendean juga menjadi sosok yang ikut bertugas menyusup ke daerah Malaysia saat sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
Sejak kecil, Pierre Tendean memiliki sifat rendah hati, suka bergaul dan suka menolong. Sifat itulah yang membuatnya banyak teman, disayangi guru, pimpinan sekolah dan instrukturnya saat masih duduk di bangku sekolah dasar, menengah, maupun ketika menjalani pendidikan Taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD).
Pada April 1965, Pierre Tendean diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal Nasution.
Saat gerombolan PKI mengepung rumah Jenderal AH. Nasution pada 1 Oktober 1965 dini hari, Tendean yang berada di sana ditangkap dan dibunuh. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dia turut diberikan penghargaan Satya Lencana Saptamarga. Namanya Pierre Tendean diabadikan menjadi nama jalan di Jakarta sampai saat ini.
Jadi, itulah rangkuman profil 7 pahlawan revolusi korban G30S/PKI. Nama-nama pahlawan revolusi di atas memang wajib diketahui anak agar mereka terus mengenang jasa para pahlawan.
Baca juga:
- Ajarkan Anak Cara Menghargai Jasa Para Pahlawan Bangsa
- Sejarah G30S PKI dan Daftar Nama Pahlawan Revolusi
- 15 Pahlawan Kemerdekaan Indonesia