Indonesia Darurat Pekerja Anak: Masyarakat Harus Disadarkan!
Masyarakat Indonesia harus senantiasa disadarkan terkait masalah pekerja anak
25 Juni 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa persoalan eksploitasi dan kekerasan anak masih kerap terjadi di Indonesia. Jumlah kasus yang ada bahkan meningkat seiring berjalannya waktu.
Salah satu bentuk eksploitasinya ialah berupa pemaksaan untuk bekerja di umur yang masih belia. Sebuah data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020 menunjukkan bahwa sekitar 9 dari 100 anak dalam rentang usia 10–17 tahun sudah bekerja.
Bahkan, 3 dari 4 anak tidak diberi upah atas pekerjaan yang mereka lakukan. Dan sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar angka kasus pekerja anak di Indonesia.
Berkaitan dengan hal itu, pada Rabu (23/6/2021), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, berupaya untuk terus menurunkan angka dari jumlah pekerja anak sampai serendah-rendahnya.
Untuk melihat berita selengkapnya, Popmama.com telah merangkum informasinya di bagian berikut ini!
1. Kasus pemekerjaan anak masih marak di Indonesia
Berdasarkan data survei yang telah dilakukan oleh Sakernas pada tahun 2020, masih banyak anak berumur 10–17 tahun sudah memasuki dunia kerja. Sekitar 88,77% dari mereka bekerja di sektor informal.
Hal tersebut belum cukup menyedihkan mengingat banyak dari mereka yang tidak diberi upah atau bahkan menerima pekerjaan penuh risiko yang seharusnya bukan diemban oleh seorang anak. Secara spesifik, lebih dari 4 juta anak berada di bawah tekanan Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA).
Banyak masyarakat yang mungkin belum sadar akan hal ini. Sebab, sebagian besar kasus eksploitasi kerja anak terjadi di masyarakat pedesaan. Dari semua sektor esensial Indonesia, sektor pertanianlah yang dianggap menjadi penyumbang terbesar jumlah kasus yang ada.
Editors' Pick
2. Bahaya BPTA yang mengancam anak
Terkait isu mempekerjakan anak di bawah umur sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Indonesia. Dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan, sudah ditegaskan bahwa seorang pengusaha dilarang untuk menjadikan seorang anak–yakni setiap orang yang usianya di bawah 18 tahun (sesuai dengan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Meskipun dalam peraturan tersebut juga, ada beberapa pengecualian untuk boleh mempekerjakan anak dalam catatan mereka tidak dieksploitasi dan tidak diberi pekerjaan yang membahayakan.
Hanya saja, merujuk pada sektor pertanian Indonesia, ada banyak bahaya yang menunggu di balik punggung anak.
Mereka yang masih muda belum terlalu terlatih dalam melakukan pekerjaan, seperti memberi pupuk, menyemprotkan pestisida. Tak jarang juga mereka tidak dilengkapi oleh alat pelindung diri yang memadai sehingga cidera akibat pekerjaan bisa kapan saja terjadi.
Sayangnya, rantai masalah ini sulit terputus karena lingkungan masyarakat petani masih belum menunjukkan sifat ramah terhadap perlindungan anak.
Mereka umumnya berada di bawah garis kemiskinan sehingga mengira kalau mempekerjakan anak bisa mengangkat ekonomi keluarga.
Belum lagi soal pendidikan. Karena dibelenggu oleh kemiskinan membuat orangtua tidak mampu menyekolahkan anak. Atau, dengan sekadar ijazah SD atau SMP tentunya tidak akan membawa mereka menuju pekerjaan yang mencukupi. Alhasil, bekerja di usia belia adalah opsi terakhir.