Kisah Sunan Gunung Jati, Berdakwah dengan Politik di Bumi Pasundan
Di tangan Sunan Gunung Jati Ajaran Islam berkembang melesat di cakupan wilayah Cirebon
31 Mei 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sosok Sunan Gunung Jati dipercaya menjadi sosok nomor satu atas berkembangnya Islam di tanah Pasundan. Bila Wali Songo lain menyebarkan Islam di Jawa bagian tengah dan timur, Sunan Gunung Jati menyebarkan di Jawa bagian Barat.
Berikut adalah kisah Sunan Gunung Jati, yang berdakwah dengan jalur politik di Bumi Pasundan yang telah Popmama.com rangkum. Yuk kita lanjut Ma.
Editors' Pick
1. Putra dari Pangeran Mesir
Sunan Gunung Jati lahir di Kairo, Mesir pada tahun 1448 dengan nama asli Sultan Syarif Hidayatullah Al-Azhamatkhan dan biasa disebut dengan Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah adalah putra dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dengan Nyai Rara Santang yang merupakan puteri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi
Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).
Dalam menuntut ilmu, Syarif Hidayatullah telah menunjukkan bakat dan kedisiplinan. Sehingga ia bisa dikatakan cerdas dan cepat dalam menyerap ilmu yang diterima.
Sang ibu melihat keseriusan anaknya dalam menimba ilmu, lantas mengirimnya ke kota suci Mekah untuk memperdalam pendidikannya.
Di kota Mekah, Syarif Hidayatullah berguru dengan Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Beberapa waktu kemudian, ia kembali ke Mesir untuk belajar kepada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili.
Setelah itu, ia tetap melanjutkan pendidikannya untuk berguru pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh. Beberapa ulama lain sempat menjadi gurunya di berbagai daerah.
Hingga pada akhirnya dia menimba ilmu di Pesantren Ampeldenta Surabaya dan berguru kepada Sunan Ampel.
Pada saat ia berguru kepada Sunan Ampel, beliau meminta dirinya untuk berdakwah dan menyebarkan Islam di daerah Cirebon.
Semasa berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu.
Atas arahan Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah pun mendirikan pondok pesantren di kota tersebut. Kemudian mengajarkan Islam kepada masyarakat sekitar.
Oleh para pengikut dan murid-muridnya, ia diberi gelar Syekh Jati. Dan karena beliau berdakwah di daerah pegunungan, ia diberi gelar dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Sebuah gelar yang terus melekat pada dirinya, hingga yang kita kenal sekarang ini.
2. Menjadi Pemimpin Kesultanan Cirebon
Setelah mertuanya, Pangeran Cakrabuana meninggal. Syarif Hidayatullah diangkat menjadi Pemimpin di Kesultanan Cirebon.
Dengan duduk di kekuasaan tersebut, dakwahnya berkembang dengan pesat seiring dengan kancahnya di jalur politik. Ajaran Islam berkembang melesat di cakupan wilayah Cirebon.
Dalam perjalanannya, kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memiliki kerjasama dan keterikatan yang mendalam. Karena keduanya merupakan kesultanan Islam yang tujuannya pun mengembangkan Islam di Tanah Jawa.
Usia Raden Patah selaku Pimpinan Kesultanan Demak dengan usia Syarif Hidayatullah tidak terpaut jauh pada saat itu. Kedua kesultanan ini saling mengisi dan bahu membahu dalam segala hal.
Raden Patah pun diangkat menjadi Sultan di pulau Jawa (bukan hanya di Demak). Membuat Cirebon menjadi sejenis negara bagian dari Kesultanan Demak.
Memang, inilah strategi yang direncanakan oleh Sunan Ampel, selaku yang di tuakan pada Wali Songo. Bahwa agama Islam disebarkan di pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai perintisnya.