Remaja Fans K-Pop Lebih Berisiko Jadi Korban Cyberbullying
Tak hanya menjadi korban, fans K-Pop juga lebih berisiko menjadi pelaku perundungan online
18 Desember 2022
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Ada temuan menarik dari hasil kajian dari ChildFund International di Indonesia. Dalam penelitian tersebut menyebutkan kalau penggemar K-Pop memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan perundungan online (55,3 persen) dan juga memiliki risiko lebih tinggi menjadi korban perundungan online (66,6 persen) dibandingkan dengan fans nonK-Pop.
Dalam kajian tersebut, ChildFund International juga mengungkapkan data di mana 6 dari 10 remaja di Indonesia mengalami perundungan online (cyberbullying). Hanneke Oudkerk, Country Director ChildFund International di Indonesia, pada acara peluncuran hasil kajian tentang perundungan online serta inisiatif program "Swipe Safe" di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Ada beberapa penemuan menarik dari hasil data tersebut, termasuk demografi umur yang ternyata remaja berusia di bawah 15 tahun banyak mengalami perundungan online.
Berikut Popmama.com rangkum informasi selengkapnya.
1. Perlindungan anak dari kekerasan online adalah intervensi semua pihak
Perlindungan anak dari berbagai risiko kekerasan berbasis online memerlukan intervensi yang menyeluruh. Misalnya dari penguatan resiliensi anak itu sendiri, pengawasan orangtua dan keluarga serta lingkungan sekitar.
Sampai pemangku kepentingan yang mengupayakan pengaturan informasi layak anak. Penelitian ini berjudul "Memahami Perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia" yang mendapat dukungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA).
"Di tengah gempuran adopsi perilaku digital sebagai salah satu dampak pandemi, anak-anak dan remaja menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan, perundungan dan eksploitasi seksual secara online. Oleh karena itu, sinergi lintas sektoral dan multidimensi dari orangtua, lingkungan sekitar, pendidik, pemerintah hingga sektor privat menjadi hal yang krusial demi terwujudnya dunia maya yang aman bagi anak Indonesia," ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar.
Editors' Pick
2. Literasi digital penting untuk menurunkan angka perundungan online
Pada kesempatan yang sama Direktur KPAPO Woro Srihastuti Sulistyaningrum juga mengatakan bahwa upaya menurunkan angka perundungan dan kekerasan online tak terlepas dari menggalakkan literasi digital.
"Upaya mendasar yang bisa dilakukan adalah memberikan pemahaman, pengetahuan dan edukasi yang menyeluruh guna meningkatkan literasi digital masyarakat. Edukasi yang diberikan tak hanya sebatas pada definisi maupun faktor-faktor yang berkontribusi pada perundungan namun apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak dan remaja ketika mereka mengalami hal tersebut," jelas Woro.
3. Korean Wave menciptakan fanatisme di kalangan remaja, apa dampaknya?
Berkembangnya Korean Wave di Indonesia menjadi salah satu yang diminati para remaja. Terkait dengan hal itu, Woro mengimbau agar orangtua membantu mendampingi anak.
Apalagi dalam penelitian ChildFund International yang menyebutkan fans K-Pop berisiko lebih tinggi menjadi korban sekaligus pelaku perundungan online lho. Menurut Woro hal tersebut bisa terjadi karena kelihatannya para remaja di Indonesia banyak mencontoh budaya dari Korea Selatan sana.
Mereka tahu di sana ada kelompok pecinta dan pembenci atau haters, sehingga diterapkan di sini. Kemudian membentuk kelompok fanatisme berlebihan diantara remaja Indonesia sekarang.
"Dibutuhkan adalah peran orangtua untuk memberikan pemahaman, oke boleh punya idola tapi wajar saja. Tidak perlu sampai membentuk kelompok haters dan pecinta yang saling serang. Ini yang terjadi di Korea Selatan dan diadaptasi, tanpa melihat budaya kita seperti apa yang sebenarnya memengaruhi character building anak," pungkas Woro.
Woro menekankan, Indonesia punya budaya berbeda dengan Korea Selatan. Rasa saling menghormati, menghargai di sini lebih besar. Di mana harusnya itu ditanamkan oleh orangtua dan sekolah sejak dini.
"Sayangnya hal-hal ini luput. Orangtua sibuk, guru sibuk mengajarkan pendidikan kognitif, sehingga sifat yang pendidikan karakter ini menjadi terdegradasi. Butuh kerja keras kita, dengan konten yang lebih positif bisa mengubah," pungkasnya.
4. Remaja di bawah 15 tahun lebih berisiko menjadi pelaku sekaligus korban terbesar
Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku, sementara anak perempuan memiliki peluang lebih tinggi menjadi korban perundungan online.
Remaja di bawah lima belas tahun memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi korban (64,5 persen) dan pelaku (53,5 persen) dibanding kategori usia lainnya.
Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi Childfund International di Indonesia, Reny Hening mengatakan bahwa perundungan online ini bisa meliputi pelanggaran privasi, pengucilan, penguntit, pencemaran nama baik, pelecehan dan kekerasan seksual dengan ancaman hingga pemerasan.
Tanggapan terhadap perundungan online dilakukan korban dengan mendiskusikan pengalaman mereka dengan teman atau orang lain yang mereka percaya, diikuti dengan pemblokiran akses pelaku ke akun mereka.
Keluarga dan teman sebaya.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 77,6 persen responden akan bereaksi ketika menyaksikan perundungan online dengan memperingatkan pelaku. Misalnya dengan mencegah pelaku mencuri data orang lain, menghibur korban dan sebanyak 45,35 persen dan mendorong korban untuk melaporkan perbuatan pelaku.
5. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perundungan online
Dalam kajian in ChildFund International ini juga mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perundungan online, di antaranya:
- Paparan perundungan offline, kemungkinan pelaku perundungan ini melakukan perundungan secara online. Lalu korban perundungan offline juga cenderung menjadi pelaku perundungan online.
- Pengawasan orangtua. Keaktifan orangtua dalam mengawasi kegiatan anak di dunia maya turut berkontribusi pada keterlibatan anak dalam melakukan perundungan online.
- Norma kelompok dan kepemilikan kelas berimbas pada perundungan online. Dalam kasus ini perundungan online sebagai norma dalam berinteraksi secara daring, sehingga mendorong mereka untuk melakukan hal serupa.
- Paparan konten berbahaya di internet. Terpaan konten negatif/berbahaya akan berdampak positif pada perilaku perundungan online karena memengaruhi persepsi kekerasan bagi remaja.
Itulah tadi hasil penelitian dari ChildFund International soal remaja fans K-Pop lebih berisiko jadi korban cyberbullying. Yuk, aman dan nyaman berinternet sehingga menciptakan lingkungan kondusif untuk semua!
Baca juga:
- Ridwan Kamil Bantu Anak SD yang Sering Dibully karena Seragam Lusuh
- Eksklusif: Perbedaan Bercanda & Bully, Orangtua Wajib Ajarkan ke Anak!
- Ciri-Ciri Anak yang Jadi Korban Bullying di Sekolah