Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S PKI, merupakan salah satu tragedi pengkhianatan terbesar dan kelam yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan ulah Partai Komunis Indonesia yang bekerja sama dengan Pasukan Cakrabirawa dalam upaya untuk mengkudeta kekuasaan Presiden Soekarno.
Meski telah lama terjadi, namun hingga kini peristiwa tersebut masih menjadi tragedi paling kontroversial dan menyisakan banyak misteri. Akibat tragedi G30S PKI antara PKI dan TNI tersebut, banyak menyebabkan sejumlah Jenderal serta Perwira TNI gugur.
Kali ini Popmama.comakan memberikan informasi tentang kronologi G30S PKI, lengkap dari perencanaan hingga pasca tragedi.Simak informasinya di bawah ini.
1. Perencananaan
historia.id
Peristiwa G30S yang dilakukan oleh PKI bertujuan untuk menggulingkan Presiden Soekarno sekaligus mengubah ideologi negara yang semula Pancasila, menjadi paham komunis. PKI saat itu merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia yang menempati posisi keempat pada pemilu tahun 1955. Posisi PKI semakin kuat dengan gencar melakukan mobilisasi massa dan dukungan Soekarno.
Selain itu PKI juga terus-terusan menyasar TNI dan menuduh bahwa para jendral sedang mempersiapkan kudeta. PKI juga mendukung petani dan buruh dipersenjatai. Situasi semakin memanas ketika Soekarno tiba-tiba jatuh sakit dan tim dokter dari PKI mengatakan hidupnya tidak akan lama lagi. Saat itulah PKI memulai pergerakannya untuk melakukan kudeta.
PKI membentuk biro khusus di bawah pimpinan Syam Kamaruzman untuk merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasaan. Biro ini bertugas mengkoordinasikan semua langkah yang diperlukan untuk melaksanakan kudeta.
Editors' Pick
2. Penjemputan dan eksekusi target
IDN Times
Gerakan G30S PKI dimulai pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965. Pada malam itu, pasukan yang dipimpin oleh Letkol Untung dari Komando Batalion I resimen Cakrabirawa mulai bergerak untuk menjemput para target utama di kediamannya masing-masing. Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan penculikan.
Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, menargetkan tujuh Jendral untuk diculik dan dibunuh yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, serta Jendral A.H. Nasution. Namun, dari tujuh target utama Jenderal A.H. Nasution berhasil melarikan diri meskipun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban karena tertembak. Kaburnya Jenderal A.H. Nasution juga mengorbankan ajudannya yaitu Kapten Pierre Tendean yang mengaku sebagai dirinya.
Korban lain adalah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimena. Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol. Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.
Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia. Dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan upaya penyelamatan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara. Pengumuman ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
3. Penumpasan pemberontak
rri.co.id
Setelah diketahui banyak petinggi AD tidak diketahui keberadaannya. Soeharto mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh, ia pun segera mengambil alih pimpinan TNI AD untuk menindaklanjuti tragedi tersebut.
Pada 1 Oktober 1965, penumpasan pemberontakan G30S PKI pun dimulai. TNI berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka. Selanjutnya, Soeharto menugaskan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi. Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh pasukan G30S. Diumumkan pula bahwa Presiden Soekarno dan Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.
Pada 2 Oktober 1965, operasi berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas. Pada tanggal yang sama atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi jenazah para perwira di lubang sumur tua yang disebut Lubang Buaya.
Pada 4 Oktober 1965, dilakukan pengangkatan jenazah tersebut dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Presiden Soekarno pun memberikan gelar pahlawan revolusi untuk para perwira yang gugur.
4. Pasca pemberontakan
arahjuang.com
Upaya penumpasan terus dilakukan, rakyat Indonesia turut membantu dan mendukung penumpasan tersebut dengan melakukan serangkaian demonstrasi. Operasi penangkapan juga terus dilancarkan untuk mencari siapa-siapa saja yang dianggap bertanggung jawab dalam tragedi tersebut.
Rakyat pun terus mendesak PKI dibubarkan, dan puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto pun mengeluarkan pembubaran terhadap PKI serta ormas-ormas yang berada di bawah naungannya.
Pada 6 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "Persatuan nasional," yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, serta penghentian kekerasan. Ini mencerminkan usaha untuk meredakan ketegangan dan konflik pasca G30S 1965.
Petinggi Uni Soviet saat itu, Leonid Brezhnev, Mikoyan, dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Presiden Soekarno. Mereka menyatakan dukungan terhadap upaya Sukarno untuk menjaga ketenangan dan menghindari kekacauan. Kemudian pada 16 Oktober 1965, Presiden Sukarno melantik Mayjen Suharto sebagai Menteri atau Panglima Angkatan Darat. Hal ini merupakan langkah awal menuju perubahan kekuasaan yang akan terjadi di kemudian hari.
Di samping itu, terdapat desas-desus pembantaian massal terhadap anggota dan pendukung PKI, serta orang-orang yang dituduh sebagai komunis. Ratusan ribu orang dipenjarakan di kamp-kamp tahanan, tanpa adanya persidangan. Pembantaian ini terutama terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
5. Penangkapan para dalang utama
id.wikipedia.org
Beberapa elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dikejar dan ditangkap setelah gagal melakukan kudeta dalam gerakan G30S PKI. Beberapa nama tersebut adalah:
Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit
Ketua Committee Central Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit atau D.N. Aidit ditangkap di Solo pada 22 November 1965. Penangkapan orang nomor satu PKI ini dilakukan atas perintah Soeharto kepada Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri.
Aidit ditemukan di rumah simpatisan PKI di Solo. Keberadaanya diketahui usai Yasir dan pasukannya menemui Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI yang sedang berada di rumah tahanan. Di sana Yasir mendapatkan informasi bahwa Aidit akan segera pergi ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.
Penggerebekan Aidit dilakukan pukul sembilan malam oleh Brigif IV yang dipimpin oleh Letnan Ning Prayitno. Sedangkan Yasir hanya mengawasinya dari jauh. Usai ditangkap, Aidit diinterogasi di Markas Brigif IV Loji Gandrung, Solo dan rencananya akan dibawa ke Semarang untuk diadili. Akan tetapi, Yasir justru membawa Aidit ke Markas Batalion 444. Tepatnya pada 23 November 1965, Aidit dieksekusi mati di tepi sumur tua di Boyolali, Jawa Tengah. DN Aidit meninggal sebelum sempat diadili.
Letnan Kolonel Untung
Letkol Untung merupakan salah satu tokoh penting dalam tragedi G30S 1965. Komandan Batalyon KK I Cakrabirawa ini tertangkap secara tidak sengaja. Kejadian itu terjadi pada 11 Oktober 1965, saat Untung berusaha kabur ke Jawa Tengah. Saat itu, bus yang ditumpangi oleh Untung dimasuki oleh anggota Armed TNI tidak dikenal, karena takut tertangkap Untung pun loncat keluar dari bus tersebut.
Orang-orang yang melihat kejadian tersebut mengira Untung adalah seorang pencopet, sehingga Untung pun kena amuk massa. Saat tertangkap, ia tak lantas mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak mengira bahwa sosok yang ditangkapnya adalah Komando Operasional G30S. Identitas Untung baru diketahui Setelah dilakukan pemeriksaan di markas CPM Tegal.
Untung diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atau Mahmilub pada awal 1966. Ia disidangkan di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di dekat Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Pada 6 Maret 1966, Mahmilub yang dipimpin Letnan Kolonel CHK Soedjono Wirjohatmodjo itu memberi vonis hukuman mati kepada Untung. Sehari setelahnya, surat keputusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat dibuat, dan Letnan Jenderal Soeharto menyetujui keputusan eksekusi mati terhadap salah satu pelaksana G30S itu.
Brigjen Supardjo
Supardjo telah menghilang sejak 1 Oktober 1965. Mantan Brigjen Supardjo yang menjabat wakil ketua Dewan Revolusi pada kudeta yang gagal itu, beberapa kali pindah dari wilayah basis PKI untuk menghindar dari kejaran. Ia bahkan mengubah kartu penduduknya atas nama Syarief dan Ibrahim untuk menghindari penggerebekan yang diadakan oleh ABRI maupun rakyat.
Mantan Brigjen Supardjo ditangkap dalam operasi Kalong, sebutan operasi untuk menangkap dan mengejar para tokoh G30S/PKI. tepatnya pada tanggal 12 Januari 1967. Penggerebekan Supardjo berlangsung setengah jam dari pukul 05.00 sampai pukul 05.30 pagi. Ia ditemukan di atas loteng rumah Kopral Udara Sutarjo, di kawasan Halim.
Kala itu, Supardjo hanya memakai baju kaos putih tanpa leher dan celana pendek putih. Ia kemudian dibawa ke Kodim 0501 dengan dikawal Kapten Suroso bersama empat anggota AURI. Ia lantas divonis hukuman mati oleh Mahmilub.
Itulah informasi mengenai kronologi G30S PKI. Kejadian ini tidak hanya mengguncang stabilitas politik nasional tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menandai titik balik dalam perjalanan politik negara, yang pada akhirnya mendorong perubahan besar dalam tatanan pemerintahan serta munculnya penumpasan terhadap PKI dan simpatisannya.