Ketahui Batasannya, Orangtua pun Harus Menghargai Privasi Anak
Anak pun punya pikiran dan perasaan yang ingin disimpannya sendiri
11 September 2019
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tiap manusia memiliki lapisan-lapisan kepribadian dalam hidupnya. Ibarat sebuah bawang, begitulah lapisan kepribadian manusia dari yang tampak terlihat hingga yang tersembunyi di lapisan terdasar.
Ingatkah Mama saat bertahun-tahun silam, si Kesayangan sangat bergantung pada Mama? Mencari keberadaan Mama di mana pun, dan bercerita tanpa henti dari pagi hingga malam kepada Mama? Hingga semuanya berubah saat anak semakin bertambah besar. Ia menolak menunjukkan apa yang sedang ditulisnya di bukunya, bahkan menutup pintu kamar rapat-rapat seolah menyembunyikan sesuatu.
Pelajaran Pertama Menghadapi Anak Jelang Remaja: Privasi
Apa yang dialami oleh anak Mama bukanlah hal yang aneh, atau pun berbahaya. Perubahan sikap ini membuat sebagian besar Sahabat Popmama.com mengaku khawatir, jikalau anak melakukan hal-hal yang berbahaya tanpa sepengetahuan orangtua. Sesungguhnya yang terjadi adalah anak sedang membangun batas-batas privasinya.
Dilansir dari parents.com, Allison Kawa, Psy.D., seorang psikolog anak dari Los Angeles mengatakan, "Teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam kehidupan anak di usia-usia ini. Hal ini turut mengubah keinginan memiliki privasinya sendiri, misalnya urusan berganti pakaian, ganti baju, mengungkapkan perasaan terpendam melalui buku harian."
Sulit untuk tidak terlibat dalam fase ini, tetapi tantangan bagi orangtua adalah membiarkan anak memiliki waktu sendirian sembari tetap memantaunya.
Editors' Pick
1. Izinkan anak punya zona privat
Sangat penting bagi anak-anak di usia ini untuk memiliki ruang di mana mereka dapat sepenuhnya menjadi diri sendiri. Bisa bernyanyi keras-keras tanpa malu, menari sebebasnya, melihat ke cermin tanpa ada orang lain yang mengintip.
Izinkan anak memiliki waktunya sendirian di kamarnya dengan pintu tertutup, tetapi tidak dikunci. Hormati privasinya dengan mengetuk sebelum masuk dan tunggulah sejenak sebelum memasuki ruangan.
Jika anak membawa temannya ke kamar, beritahu mereka bahwa mereka boleh punya waktu privat sendiri, tetapi tidak dalam keadaan pintu terkunci. Ingatkan jika ada keadaan darurat sewaktu-waktu dan orangtua harus segera masuk ke sana.
2. Terapkan batasan soal privasi
Sebebas apapun orangtua ingin memberikan zona privat untuk anak, tetaplah ingat bahwa anak belum memiliki kebijaksanaan yang matang dalam menentukan mana yang boleh dan tidak. Apalagi yang berkaitan dengan penggunaan internet.
Jangan biarkan anak online tanpa pengawasan orang dewasa. Untuk itu, selalu tempatkan laptop atau komputer di area keluarga, seperti meja makan atau ruang keluarga. Pertimbangkan memasang filter khusus pencarian untuk anak yang aman, terutama untuk situs berbasis video dan game.
Anak-anak seusia ini cenderung ingin tahu tentang aktivitas non-game, seperti chatting. Bantu ia memahami bahwa Anda tidak membatasi akses internetnya untuk mengendalikan privasinya. Melainkan agar ia tetap aman, karena di internet kita bertemu manusia yang bisa saja penuh tipu muslihat.
3. Menghormati keputusannya
Pada usia tujuh atau delapan tahun, banyak anak yang mulai terganggu bahkan tersinggung ketika orang melihat mereka dalam keadaan telanjang. Kebanyakan orangtua tak bisa menerima hal ini karena anggapan, "Saya 'kan sudah melihatnya telanjang sejak masih bayi."
No, no, no, Ma. Hargailah kebutuhannya akan privasi. Anak sudah mengerti bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri, dan hal ini adalah manusiawi sebagai sebuah perjalanannya menjadi orang yang mandiri.
4. Perbanyak waktu diskusi
Sering-seringlah mengajak anak mengobrol. Tetapi jangan berharap, apalagi menuntut, bahwa ia memberi tahu Anda segalanya. Hal ini normal, karena anak ingin menjaga sebagian dari harinya dan pikirannya, untuknya pribadi.
Jika Mama mengkhawatirkan hal yang mencemaskan atau tampak mengganggu pikirannya, tetapi anak bersikeras semuanya baik-baik saja, ajukan pertanyaan terbuka dengan lembut. Katakan, "Sepertinya Kakak mengalami hari yang buruk, apa yang terjadi di sekolah?"
Jadilah pendengar yang baik, sekaligus guru yang dapat menawarkan informasi dan perspektif berbeda. Tumbuhkan keterbukaan yang tetap menjunjung nilai-nilai privasi sejak dini, karena komunikasi yang sehat ini sangat penting untuk menjaga anak dari perilaku yang merusak diri di masa depan.
Baca juga:
- 7 Cara Pendekatan untuk Ngobrol Topik Sensitif dengan Anak
- Anak Sering Bicara Sendiri? Ketahui Penyebab dan Cara Mengatasinya
- 3 Hal yang Menyebabkan Anak yang Malas Berkomunikasi dengan Orangtua