Pendidikan adalah hak bagi seluruh anak di Indonesia, mulai dari yang paling dasar hingga yang tertinggi. Namun, di beberapa wilayah Indonesia masih sering ditemukan perbedaan kualitas pendidikan. Hal ini dapat ditemukan di wilayah Papua yaitu di kota Wamena dan Asmat, di mana anak-anak disana masih minim pendidikan literasi atau membaca.
Masalah pendidikan, khususnya literasi, masih menjadi isu utama bagi anak-anak di Papua. Dari 2119 murid kelas 3 di 171 SD, ditemukan bahwa 58% siswa membaca dengan pemahaman, 12% pembaca pemula, dan 30% bukan pembaca atau belum bisa membaca.
Maka dari itu, Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) meluncurkan kampanye Run For East. Kampanye ini bertujuan untuk mendukung pendidikan literasi anak di Papua, khususnya di wilayah Wamena dan Asmat. Hal ini didukung oleh pernyataan Franky Banfatin, selaku Head of Social Impact and Sustainability Wahana Visi Indonesia dalam konferensi pers Run for The East pada Kamis (16/5/2024).
“Run For East ini bagian dari kampanye Wahana Visi Indonesia yang dinamakan Childhood Hope, untuk fokus pemberian kesejahteraan bagi anak-anak di timur Indonesia khususnya di Papua. Mulai dari bulan Mei sampai September 2024 yang akan melibatkan sekitar 6 korporasi untuk berlari bersama dengan WVI (Wahana Visi Indonesia) dan komunitas lari terkait,” jelas Franky.
Lantas, mengapa WVI berfokus pada dua daerah tersebut dan bagaimana kondisi literasi anak di daerah sana?
Kali ini Popmama.comakan membahasnya dalam dukung literasi anak di Papua dengan kampanye!
1. Kondisi literasi masih sangat tertinggal
Freepik
Kondisi literasi para anak di Wamena dan Asmat masih sangat tertinggal. Perlu diketahui, kemampuan baca orang normal rata-rata yaitu 80 kata dalam 1 menit. Sementara, di desa yang dikunjungi oleh Wahana Visi Indonesia memiliki rata-rata 31 kata per menit.
Perbedaan ini disebabkan karena anak-anak disana jarang mendapat akses untuk bacaan, sehingga mereka jarang melihat tulisan.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Marthen Sambo, selaku Education Manager Wahana Visi Indonesia dalam konferensi pers Run for The East pada Kamis (16/5/2024).
“Salah satu penyebabnya adalah pengaruh dari tidak seringnya melihat tulisan. Hal itu hanya mereka lakukan di sekolah. TV juga kebanyakan tidak ada. Jadi kebanyakan hanya dengar,” jelas Marthen.
Selain itu ia menjelaskan kalau anak yang sering diberi akses bacaan, maka mereka akan lebih mudah untuk membaca dan mengerti bacaan.
“Hal itu menandakan anak tidak biasa membaca textbook. Kalau anak yang selalu baca textbook, kecepatan dia mengenali kosakata itu cepat,” tambah Marthen.
Editors' Pick
2. Faktor konflik menjadi penghambat
wikipedia.org
Yayasan Wahana Visi Indonesia telah dikenal dengan beragam kegiatan sosialnya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.
Setelah mengumpulkan data terkait pendidikan literasi di Papua, Yayasan Wahana Visi Indonesia memutuskan untuk melaksanakan aksi ini untuk kesejahteraan pendidikan di desa di Wamena dan Asmat.
Dipilihnya Wamena dan Asmat tentu telah dipertimbangkan beberapa faktor. Yang pertama, dua daerah tersebut dikenal dengan kondisi geografis yang menantang. Selain kondisi geografis yang menantang, faktor konflik menjadi penghambat anak-anak untuk belajar.
“Papua dari sisi geografis sangat menantang. Yang kedua, akses menuju kesana membutuhkan biaya mahal hanya untuk memberikan satu buku kepada anak. Selain itu, daerah sana rawan konflik dan selalu berkepanjangan. Akhirnya, tidak mungkin sekolah dibuka kalau ada konflik,” jelas Marten.
3. Adanya pojok literasi dan kampung literasi
Popmama.com/abigailjunuslie
Nah, seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya, daerah yang rawan konflik akan menyebabkan sekolah-sekolah tutup, sehingga anak-anak tidak dapat bersekolah dan pendidikannya terhambat.
Oleh sebab itu, Yayasan Wahana Visi Indonesia membuat pojok literasi dan kampung literasi. Pojok literasi sendiri merupakan bangunan yang hanya berisi buku-buku untuk anak-anak membaca yang bisa diakses anak kapan saja.
Sementara, kampung literasi merupakan kampung yang dikembangkan untuk memiliki pojok bacaan, perpustakaan keliling, pelatihan tutor dan kegiatan lain yang berkaitan literasi.
“Kampung literasi adalah kampung yang kita intervensi. Jadi, kampung ini seperti kampung yang kita aktifkan kegiatan literasinya seperti rumah baca, pojok baca, kemudian perpustakaan berjalan, pelatihan tutor dan kegiatan-kegiatan rutin yang berbau literasi,” jelas Marthen.
Maka dari itu, tidak ada kampung literasi yang tidak ada rumah bacanya.
4. Melibatkan berbagai pihak
Dok. Wahana Visi Indonesia
Dalam pelaksanaannya, kampung literasi akan dijalankan oleh para tutor yang sebelumnya mendapat pelatihan dari Yayasan Wahana Visi Indonesia.
Untuk menjadi tutor di kampung literasi, hanya membutuhkan dua syarat yaitu suka dengan kegiatan anak-anak dan bisa membaca. Terlebih lagi, tutor yang berada di kampung literasi disana merupakan penduduk atau juga guru sekolah minggu yang tinggal disana.
“Kampung literasi fokus pada pendidikan di Papua di mana komponennya sendiri, kami akan buatkan rumah baca kemudian ada materi pendidikan kontekstual dan juga pelatihan atau peningkatan kapasitas bagi para guru, orangtua, tutor, masyarakat termasuk tokoh adat dan tokoh agama,” jelas Franky.
Selain itu, kurikulum yang diberikan dalam rumah baca ini sudah dibuat sesuai dengan kebutuhan anak-anak di Asmat dan Wamena.
“Rumah baca ini memiliki kurikulum. Jadi, kami memastikan kurikulum ini fit dengan Indonesia dengan 21 sesi. 1 sesi minimal satu kali seminggu. Namun, anak-anak bisa mengulang. Dan sesi ini harus dibuat semenarik mungkin oleh tutornya,” jelas Marthen.
5. Orangtua juga berperan penting
wahanavisi.org
Selain para masyarakat awan dan tokoh agama, tak ketinggalan juga peran para orangtua yang harus terlibat.
Dalam program ini, orangtua wajib memastikan anak-anak mereka mendapatkan ilmu dari kegiatan tutor tersebut. Jadi, sebelumnya para orangtua akan diberikan parenting workshop dimana mereka akan diberi tugas untuk selalu memastikan si Anak mengerti ilmu yang mereka dapat di pojok baca.
Nah, dalam melaksanakan tugas tersebut, para orangtua akan diberi jurnal yang isinya selaras dengan materi pelajaran anak. Jadi, jika ada anak yang mengalami kendala, orangtua akan mencatatnya dalam jurnal dan kemudian melaporkannya pada WVI.
Sehingga, hal tersebut menjadi feedback bagi yayasan dan juga para tutor.
“Parenting awareness workshop itu semacam diskusi seperti kelas parenting, namun fokusnya ke literasi. Dalam parenting ini, orangtua akan tahu perkembangan literasi anak,” jelas Marthen.
Selain itu, hal ini bisa menjadi bonding antara orangtua dan anak.
“Materi pembelajaran yang diberikan ke anak akan serasi dengan parenting orangtua. Maka dari itu, akan selalu ada interaksi antara orangtua dan anak setelah anak belajar di pojok baca,” tambah Marthen.
Jadi itu Ma penjelasan mengenai kondisi literasi di Asmat dan Wamena dalam dukung literasi anak di Papua dengan kampanye. Selain itu, Mama juga dapat melakukan donasi untuk meningkatkan kualitas literasi anak-anak di Papua melalui link yang tertera di Yayasan Wahana Visi Indonesia.
Semua dana yang terkumpul dari Run for The East ini akan dialokasikan untuk mendukung Kampung Literasi Papua dalam bentuk penyediaan fasilitas rumah baca, penyed iaan media pembelajaran kontekstual, dan peningkatan kapasitas masyarakat
Dengan berbagai tantangan yang ada, pojok literasi dan kampung literasi diharapkan dapat menjadi peluang bagi anak-anak di Papua untuk memperoleh pendidikan yang baik.