Kasus Anak yang Dipukul Sapu Hingga Meninggal, Ini Tanggapan KPAI
KPAI prihatin dan beri himbauan untuk orangtua
17 September 2020
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kekerasan fisik pada anak saat pendemi dapat terjadi di mana saja, tak terkecuali dalam lingkungan terdekat mereka, yaitu keluarga. Seperti kisah miris yang dialami oleh anak perempuan berinisial KS (8 tahun) di Tangerang.
Diketahui, KS menjadi korban kekerasan hingga meninggal oleh ibu kandungnya sendiri bernama LH (24 tahun). Pembunuhan bermula karena LH tidak sabar mengajari korban yang berusia 8 tahun atau duduk di bangku kelas 1 SD.
LH kemudian melakukan kekerasan fisik pada anak perempuan tersebut. Mulai dari tangan kosong hingga menggunakan sapu.
Setelah mendapatkan kekerasan fisik, bocah KS pun meninggal. Dalam rasa panik, tersangka IS dibantu oleh suaminya, IS (24 tahun) pun menguburkan jasad korban dengan pakaian lengkap.
Berkaca pada kejadian ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku prihatin. Selain itu, KPAI juga melakukan koordinasi dengan pihak berwenang untuk melakukan pendampingan kasus dan memberi himbauan bagi para orangtua.
Berdasarkan press release yang diterima Popmama.com, berikut penyataan KPAI terkait kasus meninggalnya KS.
Editors' Pick
1. KPAI lakukan pendampingan kasus
Dalam melakukan pengawasan terhadap kasus, KPAI telah berkoordinasi dengan Kanit PPA Polres Lebak untuk penegakan hukum atas kasus ini.
Selain itu, KPAI juga telah berkoordinasi dengan P2TP2A Kabupaten Lebak untuk melakukan pendampingan terhadap saudara kembar anak KS.
Menurut KPAI, saudara kembar korban berpotensi mengalami guncangan psikologis karena menyaksikan aksi kekerasan yang dilakukan orangtuanya. Saudara kembar KS perlu pendampingan dan pengasuhan pengganti karena kedua orangtuanya harus menjalani proses hukum.
2. Anak perlu adaptasi dan didampingi saat belajar daring
Diketahui anak KS (8 tahun) adalah siswa kelas 1 SD yang sebelumnya sempat mengenyam PAUD. Anak kelas 1 SD tentu sangat membutuhkan proses adaptasi dari jenjang pendidikan PAUD berpindah ke sekolah dasar.
Dalam situasi pandemi, anak masih beradaptasi untuk mengerti bahwa sekolahnya sudah berganti, teman-temannya berganti, juga gurunya.
Selain itu, secara akademik, anak-anak mulai beradaptasi pada sistem yang lebih teratur dalam aspek akademik. Belum lagi tuntutan kemampuan calistung pada anak yang seringkali dipaksakan. Padahal, secara kurikulum ada penyederhanaan kurikulum yang seharusnya diterapkan selama pandemi.
Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh orangtua khususnya dan penyelenggara pendidikan umumnya untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak selama anak-anak menjalani proses Belajar Dari Rumah (BDR).
"Anak sendiri mengalami kebosanan yang luar biasa selama pandemi Covid–19 sehingga anak perlu didampingi dan dibantu oleh orangtua agar dapat menjalani proses pendidikan dan tumbuh kembangnya dengan baik," kata Rita Pranawati, MA,
Wakil Ketua KPAI dalam penyataan tertulisnya Rabu (16/09/2020).
Orangtua pun tidak dapat memaksakan anak untuk menurut sesuai dengan keinginan orangtua. Jika mengalami kesulitan, sebaiknya orangtua berkoordinasi dan berkomunikasi dengan guru sehingga anak tidak menjadi korban.