KPAI: Kasus Pelanggaran Hak Anak Masih Marak Terjadi saat Pandemi
Kasus pelanggaran hak anak justru banyak dilakukan dalam keluarga
10 Februari 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Pandemi menjadi situasi yang cukup menyulitkan banyak orang. Beragam tantangan menyertai setiap aspek kehidupan karena kondisi telah berubah. Tak terkecuali dalam dunia anak-anak, mereka turut merasakan dampaknya.
Misalnya, kebijakan sekolah dari rumah yang mungkin masih menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak.
Tidak adanya bimbingan dari guru secara langsung membuat beberapa anak memiliki kendala, seperti kurang memahami materi yang diajarkan dan sulit beradaptasi sehingga cenderung lambat mengikuti pembelajaran.
Belum lagi, diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial. Jadi, anak-anak tidak dapat berinteraksi dengan teman sebaya secara leluasa seperti biasanya. Kondisi ini pun mungkin dapat menimbulkan rasa bosan hingga stres pada anak.
Selain itu, anak-anak juga bisa saja menjadi korban dari tindak kejahatan. Bahkan menurut laporan yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tren kasus pelanggaran terhadap anak justru meningkat saat masa pandemi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, berikut Popmama.com berikan penjelasan singkat terkait kasus pelanggaran hak anak selama pandemi. Berdasarkan pernyataan resmi dari pihak KPAI dalam laporan kinerja tahun 2020.
1. Pelanggaran hak anak justru paling banyak terjadi dalam keluarga
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menerima pengaduan terkait pelanggaran hak anak sebanyak 6.519 kasus selama pandemi. Dari seluruh jumlah tersebut, kasus pelanggaran hak anak justru paling banyak terjadi dalam lingkungan keluarga.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, disebutkan bahwa KPAI menerima pengaduan sebanyak 1.622 kasus dalam kluster Keluarga dan Pengasuhan Alternatif selama pandemi tahun 2020.
Kasus pelanggaran hak anak terbanyak kedua terjadi dalam klaster Pendidikan sebanyak 1.567 kasus, ketiga kasus klaster Anak Berhadapan Hukum sebanyak 1.098 kasus, dan keempat klaster Pornografi dan Cybercrime sebanyak 651 kasus.
Menyusul selanjutnya kasus klaster Trafficking dan Eksploitasi sebanyak 149 kasus, Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat sebanyak 128 kasus, klaster Hak Sipil dan Partisipasi sebanyak 84 kasus, dan kasus klaster Kesehatan dan Napza sebanyak 70 kasus.
Sedangkan kasus perlindungan anak lainnya yaitu sebanyak 1.011 yang bermakna adanya data yang sudah tidak dapat ditampung dalam kluster dan dibutuhkan pembaharuan. Hal ini juga bermakna bahwa terjadinya perkembangan kasus-kasus perlindungan anak di Indonesia.
Editors' Pick
2. Pandemi menyebabkan anak menggunakan gawai secara berlebihan
Selain banyaknya kasus pelanggaran terhadap hak anak, pandemi juga menyebabkan adanya paparan gawai secara berlebihan pada anak-anak. Pasalnya, terjadi pembatasan kegiatan fisik anak dalam kehidupan sehari-hari sehingga kegiatan anak di dunia digital pun meningkat.
Hal tersebut diperkuat oleh data dari KPAI yang menyebutkan bahwa, sebanyak 79% anak tidak memiliki aturan penggunaan gawai. Kemudian, sebanyak 34,8% anak bermain gawai selama 2–5 jam perhari dan sebanyak 25,4% anak lainnya bermain gawai lebih dari 5 jam per hari di luar waktu belajar mereka.
Kondisi seperti ini menjadi tantangan baru bagi anak dan orangtua sehingga perlu adanya literasi digital yang meliputi pemahaman dan penyadaran tentang pornografi, konten negatif, dan kejahatan siber agar anak tidak menjadi korban kejahatan di dunia maya.
3. Kasus perdagangan dan eksploitasi anak pun masih marak terjadi
Situasi pandemi saat ini juga masih dimanfaatkan oleh beberapa oknum tidak bertanggungjawab untuk melakukan perdagangan dan eksploitasi anak. Akibatnya, beberapa anak-anak pun harus menjadi korban.
Hal tersebut diperkuat oleh data dari KPAI, bahwa pihaknya telah mendapatkan 149 laporan kasus yang berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Eksploitasi sepanjang tahun 2020 lalu.
Dilaporkan bahwa proses rekrutmen anak-anak korban secara masif dilakukan secara online. Tingginya jumlah korban TPPO dan Eksploitasi pada anak juga berdampak pada dugaan beredarnya produk jual beli tayangan porno.
4. Masalah kemiskinan dan kasus anak yang menjadi pekerja
Pandemi membawa dampak ekonomi yang cukup parah bagi masyarakat. Tak hanya menimbulkan kerugian dalam sektor industri besar, tetapi juga menyebabkan masyarakat menengah ke bawah semakin sulit.
Akibatnya, angka kemiskinan dalam keluarga meningkat. Anak-anak pun ikut merasakan dampaknya dengan menjadi korban karena harus ikut bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarganya.
Banyak anak usia di bawah umur menjadi pekerja dalam ketegori Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) yaitu anak yang dilacurkan, anak sebagai pemulung, anak yang bekerja dalam sektor pertanian, pekerja rumah tangga anak, dan anak yang bekerja di jalanan.
5. Tindakan KPAI terkait sejumlah kasus yang menimpa anak
KPAI sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan tanggungjawab terhadap perlindungan anak di Indonesia pun melakukan beberapa tindakan untuk mengatasi kasus-kasus tersebut.
Dengan cara melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap adanya pelaporan kasus pelanggaran hak anak. Mulai dari sektor keluarga, pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan sosial.
Selain itu, KPAI berinovasi dengan membuat aplikasi SIMEP KPAI untuk mengukur komitmen perlindungan anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Diharapkan, SIMEP KPAI dapat mendukung sistem pengawasan dan evaluasi berbasis digital.
KPAI juga memberikan rekomendasi terhadap pihak-pihak terkait agar pengawasan dan perlindungan anak selama pandemi dapat berjalan dengan maksimal.
Baca juga:
- KPAI: Orangtua Perlu Monitoring Anak Ketika Menggunakan Internet
- KPAI: TPPO dan Eksploitasi pada Anak Masih Terjadi Selama Pandemi
- Tetap Sehat, Ikuti Tips KPAI Mengasuh Anak di Era Pandemi Covid-19