Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November adalah momentum untuk mengenang dan menghormati jasa para pahlawan. Berkat perjuangan mereka, bangsa Indonesia bisa merdeka dari penjajahan.
Melalui hari peringatan ini, kita diajak untuk merenungkan kembali arti perjuangan dan kemerdekaan.
Umumnya, Hari Pahlawan diwarnai dengan perlombaan. Anak-anak di bangku sekolah mengikuti lomba seru bertema kepahlawanan, contohnya membuat puisi Hari Pahlawan.
Nah, bila si Kecil sedang mempersiapkan diri membuat puisi dengan tema Hari Pahlawan, maka Mama dan Papa perlu membimbingnya. Sehingga, anak bisa mendapatkan inspirasi puisi yang tepat dan menulis puisi yang indah.
Berikut Popmama.com telah merangkum kumpulan puisi Hari Pahlawan karya penyair terkenal, mulai dari Chairil Anwar sampai W.S. Rendra.
Puisi-puisi ini bisa jadi inspirasi si Kecil lho. Ada banyak puisi Hari Pahlawan 4 bait yang singkat untuk anak SD.
1. Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Pexels/Tara Winstead
Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
Tuhanku, WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku adalah satu warna Dosa dan nafasku adalah satu udara. Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah? Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku
2. Gugur (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Freepik/Mdjaff
Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua luka-luka di badannya
Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya
Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak maut pun menghadangnya Ketika anaknya memegang tangannya,
ia berkata: ”Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar! Wahai bumi yang indah, kita akan berpelukan buat selama-lamanya! Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menancapkan bajak di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata: “Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam ketika menutup matanya
3. Lagu Seorang Gerilya (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Freepik/Rembolle
Lagu Seorang Gerilya
Engkau melayang jauh, kekasihku Engkau mandi cahaya matahari
Aku di sini memandangmu, menyandang senapan, berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu
Engkau menjadi suatu keindahan
Sementara dari jauh, Resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu.
Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku. Maka di saat seperti itu, kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata
4. Dongeng Pahlawan (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Freepik/Adipurnatama
Dongeng Pahlawan
Pahlawan telah berperang dengan panji-panji berkuda terbang dan menangkan putri. Pahlawan kita adalah lembu jantan melindungi padang dan kaum perempuan.
Pahlawan melangkah dengan baju-baju sutra. Malam tiba, angin tiba, ia pun tiba pula. Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi karna pahlawan telah berkunjung di tiap hati.
5. Atas Kemerdekaan (Puisi Hari Pahlawan karya Sapardi Djoko Darmono)
Freepik/Jcomp
Atas Kemerdekaan
kita berkata: jadilah dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya: langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu : inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
6. Karawang Bekasi (Puisi Hari Pahlawan karya Chairil Anwar)
Freepik/Sema_srinouljan
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan, Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat Berikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
7. Diponegoro (Puisi Hari Pahlawan karya Chairil Anwar)
Pinterest.com/Penuliscilik.com
Diponegoro
Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu Sekali berarti Sudah itu mati Maju
Bagimu negeri Menyediakan api Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai Maju. Serbu. Serang. Terjang.
Editors' Pick
8. Prajurit Malam (Puisi Hari Pahlawan karya Chairil Anwar)
Freepik/Inkdrop
Prajurit Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
Kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu… Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
9. Maju Tak Gentar (Puisi Hari Pahlawan karya Mustafa Bisri)
Freepik/Odua
Maju Tak Gentar
Maju tak gentar Membela yang mungkar. Maju tak gentar Hak orang diserang.
Maju tak gentar Pasti kita menang!
10. Putra-Putra Ibu Pertiwi (Puisi Hari Pahlawan karya Mustafa Bisri)
Freepik/Triden
Putra-Putra Ibu Pertiwi
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya Pahlawan-pahlawan bangsa Dan patriot-patriot negara (Bunga-bunga kalian mengenalnya Atau hanya mencium semerbaknya)
Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan Merebut dan mempertahankan kemerdekaan (Beberapa kuntum dipetik bidadari sambil senyum Membawanya ke sorga tinggalkan harum)
Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan (Beberapa kelopak bunga di tenung angin kala Berubah jadi duri-duri mala)
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa (di tamansari bunga-bunga dan duri-duri Sama-sama diasuh mentari)
Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa (mentari tertawa sedih memandang pedih Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)
11. Lagu dari Pasukan Terakhir (Puisi Hari Pahlawan karya Asrul Sani)
Freepik/Freepik
Lagu dari Pasukan Terakhir
Pada tapal terakhir sampai ke Jogja bimbang telah datang pada nyala langit telah tergantung suram kata-kata berantukan pada arti sendiri
Bimbang telah datang pada nyala dan cinta tanah air akan berupa peluru dalam darah serta nilai yang bertebaran sepanjang masa bertanya akan kesudahan ujian mati atau tiada mati-matinya
O Jenderal, bapa, bapa, tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali ataukah suatu kehilangan keyakinan hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara akan hilang ditiup angin, karena ia berdiam di pasir kering
O Jenderal, kami yang kini akan mati tiada lagi dapat melihat kelabu laut renangan Indonesia.
O Jenderal, kami yang kini akan jadi tanah, pasir, batu dan air kami cinta kepada bumi ini
Ah, mengapa pada hari-hari sekarang, matahari sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya yang akan dikirim ke bumi
Jenderal, mari Jenderal mari jalan di muka mari kita hilangkan sengketa ucapan dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan engkau bersama kami, engkau bersama kami
Mari kita tinggalkan ibu kita mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa mari Jenderal mari sekali ini derajat orang pencari dalam bahaya mari Jenderal mari Jenderal mari, mari…
12. Sebuah Jaket Berlumur Darah (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Freepik/KamranAydinov
Ilustrasi
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata Lanjutkan Perjuangan!
13. Karangan Bunga (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Freepik/Freepik
Karangan Bunga
Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke salemba Sore itu
Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi
14. Benteng (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Freepik/Wirestock
Benteng
Sesudah siang panas yang meletihkan, Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas, Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung, Bersandar dan berbaring, ada yang merenung…
Di lantai bungkus nasi bertebaran, Dari para dermawan tidak dikenal, Kulit duku dan pecahan kulit rambutan, Lewatlah di samping Kontingen Bandung…
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana, Semuanya kumal, semuanya tak bicara, Tapi kita tldak akan terpatahkan, Oleh seribu senjata dari seribu tiran, Tak sempat lagi kita pikirkan…
Keperluan-keperluan kecil seharian, Studi, kamar-tumpangan dan percintaan, Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam, Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam…
15. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Freepik/Natanaelginting
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada pilihan lain Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran “Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus
16. Museum Perjuangan (Puisi Hari Pahlawan karya Kuntowijaya)
Freepik/Rawpixel.com
Museum Perjuangan
Susunan batu yang bulat bentuknya berdiri kukuh menjaga senapan tua peluru menggeletak di atas meja menanti putusan pengunjungnya.
Aku tahu sudah, di dalamnya tersimpan darah dan air mata kekasih Aku tahu sudah, di bawahnya terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali ibu-ibu direnggut cintanya dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya senapan akan kembali berbunyi meneriakkan semboyan Merdeka atau Mati.
Ingatlah, sesudah sebuah perang selalu pertempuran yang baru melawan dirimu.
17. Pahlawan Tak Dikenal (Puisi Hari Pahlawan karya Toto Sudarto Bahtiar)
Freepik/H9images
Pahlawan Tak Dikenal
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang Kedua lengannya memeluk senapan Dia tidak tahu untuk siapa dia datang Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Itulah kumpulan 17 puisi Hari Pahlawan yang bisa jadi inspirasi untuk anak.
Melalui puisi-puisi indah tersebut, anak dapat memaknai perjuangan pahlawan. Sehingga, anak juga bisa terpacu untuk menjadi sosok yang lebih baik di masa depan demi bangsa dan negara.