17 Puisi Hari Pahlawan dari Para Penyair Terkenal yang Penuh Makna
Memaknai perjuangan pahlawan Indonesia lewat puisi
8 November 2023
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November adalah momentum untuk mengenang dan menghormati jasa para pahlawan. Berkat perjuangan mereka, bangsa Indonesia bisa merdeka dari penjajahan.
Melalui hari peringatan ini, kita diajak untuk merenungkan kembali arti perjuangan dan kemerdekaan.
Umumnya, Hari Pahlawan diwarnai dengan perlombaan. Anak-anak di bangku sekolah mengikuti lomba seru bertema kepahlawanan, contohnya membuat puisi Hari Pahlawan.
Nah, bila si Kecil sedang mempersiapkan diri membuat puisi dengan tema Hari Pahlawan, maka Mama dan Papa perlu membimbingnya. Sehingga, anak bisa mendapatkan inspirasi puisi yang tepat dan menulis puisi yang indah.
Berikut Popmama.com telah merangkum kumpulan puisi Hari Pahlawan karya penyair terkenal, mulai dari Chairil Anwar sampai W.S. Rendra.
Puisi-puisi ini bisa jadi inspirasi si Kecil lho. Ada banyak puisi Hari Pahlawan 4 bait yang singkat untuk anak SD.
1. Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
2. Gugur (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya,
ia berkata:
”Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
3. Lagu Seorang Gerilya (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Lagu Seorang Gerilya
Engkau melayang jauh, kekasihku
Engkau mandi cahaya matahari
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu
Engkau menjadi suatu keindahan
Sementara dari jauh,
Resimen tank penindas terdengar menderu.
Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu.
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu,
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata
4. Dongeng Pahlawan (Puisi Hari Pahlawan karya W.S. Rendra)
Dongeng Pahlawan
Pahlawan telah berperang dengan panji-panji
berkuda terbang dan menangkan putri.
Pahlawan kita adalah lembu jantan
melindungi padang dan kaum perempuan.
Pahlawan melangkah dengan baju-baju sutra.
Malam tiba, angin tiba, ia pun tiba pula.
Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi
karna pahlawan telah berkunjung di tiap hati.
5. Atas Kemerdekaan (Puisi Hari Pahlawan karya Sapardi Djoko Darmono)
Atas Kemerdekaan
kita berkata: jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya: langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
6. Karawang Bekasi (Puisi Hari Pahlawan karya Chairil Anwar)
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
7. Diponegoro (Puisi Hari Pahlawan karya Chairil Anwar)
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Editors' Pick
8. Prajurit Malam (Puisi Hari Pahlawan karya Chairil Anwar)
Prajurit Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
Kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
9. Maju Tak Gentar (Puisi Hari Pahlawan karya Mustafa Bisri)
Maju Tak Gentar
Maju tak gentar
Membela yang mungkar.
Maju tak gentar
Hak orang diserang.
Maju tak gentar
Pasti kita menang!
10. Putra-Putra Ibu Pertiwi (Puisi Hari Pahlawan karya Mustafa Bisri)
Putra-Putra Ibu Pertiwi
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan bangsa
Dan patriot-patriot negara
(Bunga-bunga kalian mengenalnya
Atau hanya mencium semerbaknya)
Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan
Merebut dan mempertahankan kemerdekaan
(Beberapa kuntum dipetik bidadari sambil senyum
Membawanya ke sorga tinggalkan harum)
Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan
Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan
(Beberapa kelopak bunga di tenung angin kala
Berubah jadi duri-duri mala)
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa
(di tamansari bunga-bunga dan duri-duri
Sama-sama diasuh mentari)
Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi
Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa
(mentari tertawa sedih memandang pedih
Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)
11. Lagu dari Pasukan Terakhir (Puisi Hari Pahlawan karya Asrul Sani)
Lagu dari Pasukan Terakhir
Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiri
Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinya
O Jenderal, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditiup angin, karena
ia berdiam di pasir kering
O Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.
O Jenderal, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini
Ah, mengapa pada hari-hari sekarang, matahari
sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi
Jenderal, mari Jenderal
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan
engkau bersama kami, engkau bersama kami
Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari Jenderal mari
sekali ini derajat orang pencari dalam bahaya
mari Jenderal mari Jenderal mari, mari…
12. Sebuah Jaket Berlumur Darah (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan!
13. Karangan Bunga (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
14. Benteng (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Benteng
Sesudah siang panas yang meletihkan,
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas,
Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung,
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung…
Di lantai bungkus nasi bertebaran,
Dari para dermawan tidak dikenal,
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan,
Lewatlah di samping Kontingen Bandung…
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana,
Semuanya kumal, semuanya tak bicara,
Tapi kita tldak akan terpatahkan,
Oleh seribu senjata dari seribu tiran,
Tak sempat lagi kita pikirkan…
Keperluan-keperluan kecil seharian,
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan,
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam,
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam…
15. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini (Puisi Hari Pahlawan karya Taufiq Ismail)
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
16. Museum Perjuangan (Puisi Hari Pahlawan karya Kuntowijaya)
Museum Perjuangan
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.
Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.
Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.
17. Pahlawan Tak Dikenal (Puisi Hari Pahlawan karya Toto Sudarto Bahtiar)
Pahlawan Tak Dikenal
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Itulah kumpulan 17 puisi Hari Pahlawan yang bisa jadi inspirasi untuk anak.
Melalui puisi-puisi indah tersebut, anak dapat memaknai perjuangan pahlawan. Sehingga, anak juga bisa terpacu untuk menjadi sosok yang lebih baik di masa depan demi bangsa dan negara.
Semoga bermanfaat, ya.
Baca Juga:
- Lirik Lagu Maju Tak Gentar: Makna, Chord, dan Not Angka
- Lirik Lagu Gugur Bunga: Makna, Chord, Not Angka, dan Sejarahnya
- Lirik Lagu Bangun Pemudi Pemuda: Makna, Not Angka, dan Sejarahnya