Tantangan Penyelesaian Diabetes Melitus pada Anak di Indonesia
Dalam menyelesaikan masalah diabetes pada anak ada beberapa tantangan yang jadi faktor penghambat
12 April 2023
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan menunjukkan hasil ada empat masalah gizi balita di tanah air, yaitu stunting, wasting (kurus), underweight (gizi kurang), dan overweight (kelebihan berat badan). Mirisnya, angka kasus obesitas pada anak semakin mengkhawatirkan.
Hal ini sejalan dengan jumlah penderita diabetes melitus (DM) anak-anak yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Urgensi tersebut jadi salah satu pemantik Prodia mengadakan acara “Masyarakat Cegah Diabetes Prematur pada Anak dan Remaja” sebagai wadah guna mengedukasi para orangtua dan penduduk tanah air.
Dengan begitu, Mama dan Papa diharapkan lebih aware terhadap ancaman mematikan penyakit diabetes melitus pada si Kecil. Sehingga orangtua seyogyanya memilah asupan makanan anak tersayang supaya kadar gula darahnya terjaga.
Meskipun terdapat berbagai cara preventif supaya si Kecil terhindar penyakit ini, Prof. Aman B. Pulungan MD, Ph.D, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) sebagai profesor pediatrik anak mengungkapkan adanya “masalah internal” terkait yang menghambat penurunan kasus DM pada anak.
Ditemui dalam acara peluncuran Salad Buah Mayumi® pada Selasa (11/4/2023) di Wly's Kitchen Veranda Hotel, “Masalah penyelesaian diabetes pada anak adalah terkait akses pelayanan yang belum memadai,” tegas Profesor Aman B. Pulungan.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan setidaknya ada lima faktor penghambat lambannya penanganan kasus diabetes melitus pada anak.
Berikut ulasan Popmama.com mengenai tantangan penyelesaian diabetes melitus pada anak di Indonesia.
1. Faktor Ekonomi
Tantangan dari aspek ekonomi, yaitu kurangnya cakupan asuransi nasional kepada pasien. Dokter pediatrik anak ini menjelaskan ada beberapa kebutuhan pengidap DM yang tidak ditanggung oleh pemerintah.
“Insulinnya ditanggung oleh BPJS tapi jarum suntiknya tidak ditanggung. Sehingga mereka harus membeli jarum suntiknya menggunakan uang pribadi. Setidaknya mereka harus suntik insulin sebanyak 4-6 kali sehari,” tutur Profesor Aman.
Jadi, salah satu cara menyiasatinya hal tersebut adalah dengan menggunakan alat suntik berulang kali. Bahkan terkadang ada yang jarumnya tumpul. Akibatnya akan memberikan rasa sakit ketika disuntikan kepada si Kecil. Idealnya jarum suntik hanya dipakai sekali saja.
Selain itu, tantangan lainnya adalah biaya pengobatan diabetes melitus relatif tinggi. Anak-anak pengidap DM harus rajin kontrol gula darah ke dokter serta melakukan kontrol glikemik secara mandiri. Perawatan tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit.
Jika si Anak dari keluarga berkecukupan maka hal tersebut tak jadi masalah. Berbeda dengan si Kecil yang berasal dari kalangan ekonomi rendah, keharusan membeli glukometer, suntik, dan yang lainnya sangat membebani keuangan keluarga. Alhasil, anak sulit sembuh dari penyakit menaun ini.
2. Faktor Sosial
Hambatan dari faktor sosial adalah rendahnya kesadaran mengenai penyakit diabetes melitus. Masih banyak masyarakat yang mengira DM hanya bisa menyerang kalangan lansia. Faktanya, penyakit gula darah ini bisa menyerang siapa pun tanpa memandang usia.
Selain pemikiran kuno itu, para orangtua masih merasa tidak perlu mengajak anak melakukan kontrol gula darah. Terutama pada kasus anak obesitas atau anak yang terlalu kurus padahal sering makan.
Orangtua menganggap si Kecil yang gemuk adalah sehat. Sementara, anak yang kurus karena memang keturunan kurus. Padahal, dua kondisi tersebut merupakan tanda-tanda si Kecil mengidap diabetes melitus.