Pola pengasuhan yang keras, seperti seringnya dimarahi dan dibentak, bukanlah hal yang sepele. Dampaknya dapat membentuk landasan penting bagi perkembangan anak, mempengaruhi kesejahteraan mereka tidak hanya dalam masa kecil, tetapi juga di masa dewasa.
Melihat pentingnya memahami implikasi dari pola pengasuhan yang agresif, kita dapat menggali lebih dalam untuk memahami bagaimana pengalaman ini dapat membentuk anak di kemudian hari.
Dengan mengetahui lebih dalam dampak psikologis, neurologis, dan sosial dari pola pengasuhan yang keras, kita dapat memahami betapa pentingnya peran orangtua dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perkembangan anak.
Berikut ini Popmama.com akan membahas mengenai dampak jika anak dibesarkan dengan sering dimarahi dan dibentak. Yuk simak pembahasannya!
1. Apa itu aggressive parenting?
Freepik/bearfotos
Pola pengasuhan agresif sering kali tercermin dalam berbagai perilaku yang dilakukan oleh orangtua. Ini termasuk seringnya berteriak dan marah meledek terhadap anak, di mana kekerasan verbal menjadi cara utama untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan.
Selain itu, memberikan hukuman yang kejam merupakan tindakan yang seringkali terjadi dalam pola pengasuhan agresif. Hukuman yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kesalahan anak dapat menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian bagi anak.
Sering mengancam atau menakuti anak juga merupakan ciri pola pengasuhan agresif, di mana ancaman-ancaman tersebut dapat menciptakan rasa takut dan kecemasan yang berkepanjangan pada anak.
Selain itu, pola pengasuhan agresif seringkali ditandai dengan tingkat kontrol yang tinggi terhadap anak. Orangtua cenderung mengatur setiap aspek kehidupan anak, tanpa memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar mandiri dan mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.
Kekerasan verbal atau fisik juga seringkali menjadi bagian dari pola pengasuhan agresif, di mana ancaman dan kekerasan digunakan sebagai alat untuk memaksa atau mengendalikan perilaku anak.
Terakhir, merendahkan anak juga sering terjadi dalam pola pengasuhan agresif, di mana anak sering diberi label negatif atau dihina, menyebabkan kerusakan pada harga diri dan percaya diri anak.
Semua perilaku ini bersama-sama membentuk pola pengasuhan yang tidak sehat dan dapat memiliki dampak yang serius pada perkembangan anak baik secara emosional maupun psikologis.
2. Bisa sebabkan depresi dan kecemasan berkepanjangan
Freepik/8photo
Depresi dan kecemasan adalah dua masalah kesehatan mental yang sering kali terkait erat dengan pola pengasuhan yang keras, seperti seringnya dibentak atau dimarahi oleh orangtua.
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang terus-menerus mengalami bentuk-bentuk agresi verbal atau fisik dalam pengasuhan mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi dan kecemasan di kemudian hari.
Ini tidak hanya karena dampak langsung dari perilaku tersebut, tetapi juga karena dampaknya terhadap perkembangan emosional anak.
Pola pengasuhan yang keras seringkali menciptakan lingkungan yang tidak aman secara emosional bagi anak. Ketika anak terus-menerus dikelilingi oleh kemarahan, teriakan, atau bahkan kekerasan, mereka dapat mengalami perasaan tidak berharga dan tidak aman.
Mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak layak mendapatkan cinta dan perhatian, atau bahwa mereka selalu salah dan tidak mampu memenuhi harapan orangtua. Perasaan-perasaan ini dapat memperkuat pola pikir negatif dan berkontribusi pada perkembangan depresi dan kecemasan di kemudian hari.
Selain itu, lingkungan yang tidak aman secara emosional juga dapat memengaruhi cara anak mengatasi stres dan tekanan dalam hidup mereka. Anak-anak yang terbiasa dengan pola pengasuhan yang keras mungkin tidak memiliki keterampilan yang cukup dalam mengelola emosi mereka sendiri.
Mereka mungkin cenderung menggunakan strategi koping yang tidak sehat, seperti penarikan diri atau penyalahgunaan zat, untuk mengatasi tekanan dan konflik.
Dalam jangka panjang, pengalaman ini dapat mengakibatkan penumpukan tekanan emosional yang berkepanjangan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi dan kecemasan.
Selain itu, pola pengasuhan yang keras juga dapat memengaruhi perkembangan otak anak, termasuk wilayah-wilayah yang terkait dengan regulasi emosi dan fungsi kognitif.
Editors' Pick
3. Merusak harga diri anak
Freepik/8photo
Rendahnya penghargaan diri merupakan dampak yang serius dari sering dimarahi atau dibentak pada anak. Ketika seorang anak terus-menerus diperlakukan dengan cara yang menghina atau merendahkan, mereka dapat mulai memandang diri mereka sendiri sebagai tidak berharga atau tidak berarti.
Pesan-pesan negatif yang terus-menerus diterima dapat mengkristal menjadi keyakinan yang merusak, menyebabkan anak merasa tidak mampu atau tidak layak mencapai keberhasilan atau bahagia dalam hidup mereka.
Selain itu, pola pengasuhan yang agresif juga dapat mengganggu perkembangan citra diri yang positif pada anak. Ketika mereka terus-menerus diberi penilaian negatif atau dianggap sebagai sumber masalah, anak-anak cenderung menginternalisasi pandangan-pandangan ini tentang diri mereka sendiri.
Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membedakan antara perilaku yang salah dan nilai-nilai pribadi mereka sebagai individu.
Dampak rendahnya penghargaan diri dapat berdampak jangka panjang pada kehidupan anak. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal yang sehat, karena mereka merasa tidak layak mendapatkan cinta atau perhatian dari orang lain.
Selain itu, mereka juga mungkin mengalami kesulitan dalam mencapai potensi penuh mereka dalam berbagai bidang kehidupan, karena mereka tidak percaya pada kemampuan atau nilai diri mereka sendiri.
4. Membuat anak sulit mengatur emosinya
Freepik
Sulitnya dalam mengontrol emosi adalah salah satu dampak yang signifikan dari pola pengasuhan agresif terhadap anak. Pola pengasuhan yang keras, seperti sering dibentak atau dimarahi, sering kali menciptakan lingkungan yang tidak stabil secara emosional bagi anak.
Dalam situasi di mana anak secara teratur terpapar pada kekerasan verbal atau fisik, mereka mungkin tidak memiliki kesempatan untuk belajar cara yang sehat untuk mengekspresikan dan mengelola emosi mereka.
Ketika anak tidak diajari cara yang efektif untuk mengatur emosi mereka sendiri, mereka cenderung mengalami kesulitan dalam menangani stres, frustrasi, atau ketidaknyamanan yang mungkin mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai akibatnya, mereka mungkin cenderung bereaksi secara impulsif atau meluapkan emosi mereka dengan cara yang tidak sehat, seperti dengan kemarahan atau agresi, atau bahkan dengan menarik diri dan menyembunyikan perasaan mereka.
Sulitnya dalam mengontrol emosi ini dapat memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan anak di masa depan.
Mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat, karena mereka tidak memiliki keterampilan yang cukup dalam mengelola konflik atau mengekspresikan empati dan pengertian terhadap orang lain.
Selain itu, masalah dalam regulasi emosi juga dapat mengganggu adaptasi sosial anak, menyebabkan mereka merasa tidak nyaman atau tidak kompeten dalam situasi sosial atau lingkungan yang baru.
5. Mempengaruhi otak anak
Freepik/jcomp
Perkembangan otak yang terpengaruh oleh pola pengasuhan keras merupakan hal yang patut diperhatikan. Penelitian telah menemukan bahwa pola pengasuhan agresif, seperti seringnya dibentak atau dimarahi, dapat berdampak langsung pada struktur otak remaja.
Wilayah-wilayah tertentu pada otak, terutama yang terkait dengan fungsi kognitif dan eksekutif, dapat mengalami perubahan struktural yang signifikan.
Salah satu contoh dari perubahan otak yang terkait dengan pola pengasuhan keras adalah pada bagian korteks prefrontal, yang merupakan pusat pengaturan emosi, motivasi, dan perilaku.
Remaja yang sering terpapar pada bentuk-bentuk kekerasan verbal atau emosional cenderung memiliki korteks prefrontal yang lebih kecil atau mengalami penurunan dalam aktivitasnya. Hal ini dapat mengganggu kemampuan mereka untuk mengatur emosi, membuat keputusan yang tepat, dan mengendalikan impuls, yang semuanya merupakan keterampilan kognitif dan eksekutif penting.
Selain itu, pola pengasuhan keras juga dapat memengaruhi perkembangan sistem saraf otonom, yang mengatur respons tubuh terhadap stres dan tekanan.
Anak-anak yang sering mengalami stres kronis akibat pola pengasuhan yang agresif mungkin mengalami disfungsi pada sistem saraf otonom mereka, yang dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka di masa depan.
Perubahan struktural pada otak yang disebabkan oleh pola pengasuhan keras tidak hanya terjadi pada masa kanak-kanak, tetapi juga dapat terjadi pada masa remaja. Ini menunjukkan bahwa dampak pola pengasuhan agresif dapat berlanjut ke masa dewasa dan memiliki implikasi jangka panjang pada kesejahteraan dan perkembangan anak.
6. Cikal bakal trauma transgenerasional
Freepik
Cikal bakal trauma transgenerasional merupakan fenomena di mana trauma atau pola perilaku yang tidak sehat dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pola pengasuhan yang keras, seperti seringnya dibentak atau dimarahi, dapat menjadi salah satu sumber trauma transgenerasional yang seringkali terabaikan.
Ketika orangtua mempraktikkan pola pengasuhan yang agresif, mereka tidak hanya menciptakan lingkungan yang tidak aman secara emosional bagi anak mereka saat ini, tetapi juga membawa risiko besar untuk meneruskan pola perilaku yang sama kepada anak-anak mereka di masa depan.
Ketika seorang anak dibesarkan dalam lingkungan di mana pola pengasuhan yang keras menjadi norma, mereka cenderung memandang pola perilaku tersebut sebagai model yang layak diikuti ketika mereka menjadi orangtua sendiri kelak.
Mereka mungkin secara tidak sadar mengulangi pola pengasuhan yang sama yang mereka alami saat kecil, tanpa menyadari dampak negatif yang mungkin timbul dari tindakan mereka tersebut.
Selain itu, trauma transgenerasional juga dapat berkembang melalui pengalaman yang terinternalisasi oleh anak-anak. Ketika mereka tumbuh dewasa dan menjadi orangtua, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengatasi trauma dan emosi yang terkait dengan pola pengasuhan yang keras yang mereka alami di masa kecil.
Hal ini dapat mengakibatkan pengulangan pola perilaku yang tidak sehat dalam pengasuhan anak-anak mereka sendiri, sehingga menguatkan siklus pola pengasuhan agresif yang merugikan.
7. Pentingnya regulasi emosi bagi orangtua
Freepik
Pemberian ruang dan keterbukaan dalam hubungan antara orangtua dan anak adalah aspek penting dalam menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung bagi perkembangan anak.
Ketika emosi orangtua mencapai titik tertinggi, baik itu karena tekanan dari pekerjaan, masalah pribadi, atau situasi yang menekan, penting untuk dapat mengenali dan mengelola emosi tersebut dengan bijaksana.
Memberi jarak dengan anak saat emosi sedang memuncak merupakan langkah pertama yang penting dalam mencegah penyaluran emosi negatif kepada anak. Ini memberikan kesempatan bagi orangtua untuk menenangkan diri sendiri, menenangkan pikiran, dan meresapi situasi dengan lebih objektif sebelum berinteraksi dengan anak.
Selain memberikan jarak, mengalihkan pikiran ke hal-hal yang menenangkan juga merupakan strategi yang efektif dalam mengelola emosi yang sedang memuncak. Ini dapat dilakukan melalui meditasi, olahraga ringan, atau kegiatan yang memberikan kesenangan dan relaksasi.
Dengan mengalihkan perhatian dari situasi yang menegangkan ke hal-hal yang positif dan menenangkan, orangtua dapat mengurangi intensitas emosi mereka dan mempersiapkan diri untuk berinteraksi dengan anak secara tenang dan penuh perhatian.
Selain itu, penting juga untuk memberikan ruang kepada anak untuk berekspresi dan terbuka tentang perasaannya tanpa takut akan hukuman atau penilaian yang keras. Anak harus merasa bahwa mereka dapat mengungkapkan perasaan mereka dengan aman dan didengar oleh orangtua tanpa takut akan konsekuensi yang negatif.
Nah, itulah dampak jika anak dibesarkan dengan sering dimarahi dan dibentak. Dalam rangka menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak, penting bagi orangtua untuk menghindari pola pengasuhan yang keras dan memprioritaskan keterlibatan positif, komunikasi terbuka, dan kontrol emosi yang tepat.