Nasib Anak-Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Miris! Anak dipaksa bungkam setelah dilecehkan
2 November 2021
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kasus kekerasan pada perempuan dan anak masih terus terjadi. Salah satu kasus kekerasan seksual yang ramai dan mendapat banyak perhatian publik yakni kasus pencabulan anak di Luwu Timur, Sulawesi Timur. Kasus pencabulan tersebut dilakukan oleh seorang Papa kepada ketiga putrinya.
Namun, sebenarnya masih ada banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa anak lho.
Berdasarkan data yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) periode 2019-September 2020 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), kekerasan terhadap perempuan sebanyak 24.325 kasus dengan jumlah korban sebanyak 24.584 orang, dan kekerasan terhadap anak sebanyak 31.768 kasus.
Dari total semua kasus anak, 10.694 menimpa anak laki-laki dan 24.409 terjadi anak perempuan (Sekitar 2,3 kali lipat anak laki-laki).
Kasus kekerasan yang dialami anak sungguh beragam, tetapi yang paling banyak menimpa mereka yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 45,4 persen.
Sedangkan kasus kekerasan lainnya yakni kekerasan fisik sebanyak 20,4 persen, kekerasan psikis 18,1 persen, penelantaran 5,6 persen dan kekerasan lainnya 8,2 persen. Sedangkan eksploitasi dan TPPO masing-masing di bawah 2 persen.
“Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat tinggi. Mereka sangat rentan mengalami kekerasan. Karena itu semua pihak harus melakukan gerakan bersama untuk mencegah semua tindak kekerasan itu,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam siaran persnya, Selasa (26/10/2021).
“Lebih memprihatinkan. Ini harus menjadi perhatian bersama, mengingat dampak kekerasan seksual yang dialami anak-anak, akan sangat berdampak pada tumbuh kembang dan kehidupan mereka ketika dewasa nanti,” lanjut Bintang.
Berikut ini Popmama.com telah merangkum infomasi mengenai keadaan anak setelah menjadi korban kekerasan seksual. Mulai ketakutan akan ancaman, ketakutan untuk melapor, merasa tersakiti fisik dan mental, hingga lain sebagainya. Coba simak yuk, Ma!
1. Pelaku mulai dari ayah kandung, ayah tiri, Kakek, dan masih banyak lainnya
Karena sejatinya yang terdekat ialah yang harus diwaspadai karena mereka akan mudah untuk mencelakai.
Nyatanya hal tersebut benar. Berdasarkan penelusuran IDN Times, para pelaku kekerasan seksual pada anak di bawah umur yakni yakni ayah kandung, ayah tiri, dan kakek tiri. Sementara pelaku yang merupakan orang lain, di antaranya pacar mama korban, pedagang burung, dan kenalan di media sosial (medsos).
Berikut ini ada beberapa contoh kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat si Korban
Kasus pertama, pelecehan yang dilakukan oleh ayah kandung kepada kedua anaknya di Sleman, Yogyakarta dan Sidoarjo, Jawa Timur.
Seorang papa kandung berinisial SND (41) di Sleman memperkosa kedua anaknya sejak tahun 2013 hingga 2021. SND mengimingi uang jajan kepada kedua anaknya, namun ditolak.
Penolakan dari anak-anak membuat SND melakukan kekerasan fisik seperti mencubit, memukul, dan menendang.
Selama delapan tahun terakhir SND melakukan kekerasan seksual, kedua anaknya selalu bungkam. Sebab, mendapat ancaman siksaan dan tidak mendapatkan uang jajan.
Kejadian yang menimpa kedua anak ini pun tidak dicurigai oleh sang Mama. Pasalnya, SND melakukan kekerasan pada kedua anaknya ketika isterinya sedang berjualan pecel lele. Parahnya lagi, ia pun membuat sang isteri tidak curiga dengan selalu meluangkan waktu untuk membantu isterinya berjualan pecel lele.
Kasus tersebut akhirnya terbongkar setelah anak pertama trauma dan melapor ke Kepolisian Resor (Polres) Sleman pada awal bulan September 2021.
Pelaku akhirnya diamankan pada 12 September 2021. kemudian pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara sesuai Pasal 81 Ayat 2 sub Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Seorang ayah kandung berinisial TI (35) di Sidoarjo melakukan kekerasan fisik terhadap anak kandungnya (9) hingga mengalami gegar otak ringan, dan pecah gendang telinga.
Selain itu, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait menduga ada sang ayah, yang kini sudah bercerai dengan mama kandungnya, melakukan pelecehan seksual.
Kasus ini bermula dari cerita mama korban (AW) yang viral di grup Facebook E 100 LINTAS INFORMASI SUARA SURABAYA DAN SEKITARNYA. Kasus tersebut diketahui oleh Arist.
Arist bersama timnya mencari tahu kebenaran kabar yang dituliskan oleh AW. Kemudian, Arist mengonfirmasi bahwa kejadian tersebut benar-benar dilaporkan oleh AW.
"Perwakilan kami sudah bertemu dengan korban dan mama korban. Ini masih tahap awal. Kami akan susun lagi langkah-langkah apa yang harus kita tempuh berikutnya," ungkap Arist ketika dihubungi IDN Times, Rabu (27/10/2021).
Akhirnya sang Mama membuat laporan ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Sidoarjo sehingga TI sebagai tersangka.
"Sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pasal yang disangkakan itu Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014," kata Kasatreskrim Polresta Sidoarjo, AKP Oscar Stefanus, ketika dikonfirmasi IDN Times, Sabtu (30/10/2021).
Kasus kedua, pelecehan yang dilakukan oleh papa tiri di Tangerang, Banten.
Papa tiri berinisial RMS (46) di Tangerang melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya (13) selama satu tahun, mulai dari tahun 2019 hingga 2020.
Hal itu membuat sang anak menjadi trauma. Akhirnya, korban bercerita pada teman sekolahnya. Kemudian, temannya bercerita kepada Mamanya, hingga akhirnya sampai ke telinga mama korban.
Mama kandung korban bergegas melapor ke Polres Metro Tangerang Kota pada 21 Oktober 2020.
Setelah sebelas bulan laporan itu masuk kepolisian, belum ada perkembangan secara signifikan dalam proses hukumnya. Setelah ditekan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang, Polres Metro Tangerang Kota baru menangkap sang Papa.
Namun, pelaku tidak ditahan karena alasan tidak akan melarikan diri, tidak merusak barang bukti, dan sanggup dihadapkan ke pengadilan. Kini kasusnya sudah masuk ke tahap pengadilan.
Tersangka awalnya tidak dapat hadir ke persidangan karena alasan sakit ketika persidangan perdana dilakukan pada 12 Oktober 2021. Kemudian, pada 19 Oktober 2021, sidang pembacaan dakwaan untuk tersangka digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A. Pelaku didakwa Pasal 81 dan 82 nomor 17 Tahun 2016 UU Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Selanjutnya, pada sidang 26 Oktober 2021, terdakwa tidak mengakui telah melakukan pelecehan terhadap korban.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyerahkan bukti chat asusila di pengadilan sehingga tersangka tak dapat mengelak.
Sidang dengan agenda mendengarkan kesaksian Mama, Papa, dan Kakak korban akan dilanjutkan pada tanggal 1 November 2021.
Kasus ketiga, kekerasan seksual yang dilakukan oleh kakek tiri kepada cucunya.
Tanggal 5 Oktober 2021, persidangan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh kakek tiri di Balikpapan, Kalimantan Timur terhadap anak berusia 9 tahun akhirnya dilanjutkan kembali.
Butuh waktu 1 tahun 3 bulan sang mama kandung berjuang mencari keadilan sampai meminta bantuan kepada seorang Kuasa Hukum yang pernah menangani kasus pembunuhan Engeline di Bali, Siti Sapura.
Kasus ini sendiri sebenarnya sudah dilaporkan oleh mama kandungnya pada 1 Juli 2020 ke Polda Kaltim, namun belum ada penetapan status tersangka. mama korban lalu kembali menanyakan perkembangan laporan kasusnya pada tanggal 19 Oktober 2020, di tengah sang korban disebut mengalami gangguan kejiwaan.
Kasus tersebut tetap tidak dilanjutkan. Kasubdit IV Renakta, AKBP I Made Subudi, menyebutkan alasannya karena pihak kejaksaan meminta bukti tambahan sehingga membuat proses kasus ini berjalan cukup lama. Namun, Pihaknya baru-baru ini sudah melengkapi permintaan tersebut, yaitu bukti pendukung berupa rekaman Closed Circuit Television (CCTV) di Rumah Sakit Siloam Balikpapan.
Subudi pun menegaskan, dirinya tidak pernah sekalipun melupakan kasus ini dan mengupayakan kelengkapan barang bukti yang diminta oleh kejaksaan.
Ia pun mengungkapkan, membawa sendiri barang bukti seperti seprai dengan noda sperma yang didapat. Bahkan dirinya sendiri yang langsung membawanya ke laboratorium Surabaya untuk dilakukan pemeriksaan.
Kasus keempat, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dari orang di luar keluarga. Kejadian pelecehan pada anak ini dilakukan oleh pacar mama korban.
Seorang oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klungkung berinisial S Putu (57) melakukan pelecehan seksual kepada anak berusia 10 tahun. S Putu sendiri merupakan pacar mama korban.
Kasus ini pertama kali mencuat pada bulan Mei 2021. Saat mama korban melihat gelagat aneh dari putrinya, seperti ketakutan setiap kali S Putu datang ke kosannya.
Saat itu, sang Mama berinisiatif untuk bertanya keadaan anaknya. Korban akhirnya menceritakan perbuatan pelaku.
Setelah mengetahui hal tersebut, mama korban langsung melapor ke Polres Klungkung.
Berdasarkan hasil keterangan polisi, pelaku melakukan dua kali pelecehan pada periode Desember 2020 dan Januari 2021. S Putu ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman penjara minimal 15 tahun.
Kemudian, pada 14 September 2021, majelis hakim Pengadilan Negeri Klungkung menjatuhkan vonis 8 tahun denda Rp300 juta dan 3 bulan kurungan kepada S Putu karena terbukti melanggar Pasal 76E jo Pasal 82 Ayat 1 UU Nomor Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Kejadian tersebut membuat korban mengalami trauma. Kini korban sedang menjalani pengobatan bersama psikiater sekaligus pendampingan dari P2TP2A Klungkung dan dari Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, serta Perlindungan Anak Klungkung.
Korban mengalami trauma, sehingga melibatkan psikiater sekaligus pendampingan dari P2TP2A Klungkung dan dari Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, serta Perlindungan Anak Klungkung.
2. Korban selalu dihantui oleh ancaman yang diberikan oleh pelaku
Biasanya, modus awal yang dilakukan oleh pelaku yakni dengan mengiming-imingi imbalan yang menggiurkan korban seperti mainan atau uang jajan.
Kemudian, saat pelaku telah menjalankan aksinya bejatnya, ia akan memberi ancaman yang sangat menyeramkan sehingga membuat korban ketakutan. Mulai dari ancaman menyiksa hingga membunuh.
Ancaman yang diberikan tersebut selalu menghantui korban hingga akhirnya takut untuk melapor.
“Anak merasa takut dan memilih tidak bercerita atau melapor. Ketika korban adalah orang yang lemah, seolah pelaku yang dewasa berhak melakukan apapun terhadap diri korban. Kan nggak seperti itu.” kata Konselor Psikologi Women Crisis Center Rifka Annisa Yogyakarta, Amalia Rizkyarini.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Meisy Papayungan pun menegaskan hal serupa. Dari analisis kasus yang selama ini ditanganinya, kekerasan seksual kepada anak terjadi karena adanya relasi kuasa dan ketimpangan gender.
"Posisi anak memang rentan karena secara relasi kuasa itu memang (dipandang) lebih rendah dari laki-laki di dalam rumah. Jadi relasi kuasa itu menjadi salah satu pendorong," kata Meisy ketika ditemui IDN Times di kantornya, Kamis (28/10/2021).
Tak hanya itu, pelaku menganggap anak sebagai pihak yang tidak berani menolak dan tidak akan melaporkan jika mengalami kekerasan seksual.
"Ada pelaku yang mengajari anaknya bahwa 'kalau kamu tidak ikut apa yang Papa minta, kamu tuh anak durhaka karena melawan orangtua'. Itu kan abuse ya," kata Meisy.
Meisy pun menjelaskan, sistem perlindungan anak layaknya lapisan bawang.
"Lapisan kulit bawang adalah proteksi untuk anak. Lapisan yang paling dekat keluarga inti, keluarga besar, lingkungan, dan paling luar adalah pemerintah. Jadi yang paling bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan anak adalah keluarga," katanya.
Hal itu bisa menjadi faktor utama kasus pelecehan seksual ini terjadi di lingkungan keluarga. Di mana mereka yang paling dekat dengan anak dan paling tahu psikologis anak. Sehingga banyak pelaku yang menjadikan anak sebagai korban pelecehan seksual.
Persoalan itu pun disinggung oleh Retno Riani, Psikolog Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung. Kejahatan terjadi akibat korban dan pelaku yang sudah mengenal dengan cukup baik.
"Pelaku ini paham betul dengan psikologis korbannya, apalagi mereka tinggal di satu rumah. Ini yang memicunya berbuat nekat kepada korban. Selain itu, penggunaan gadget tidak sesuai fungsi juga jadi salah satu faktor," ucap dia.
Editors' Pick
3. Takut untuk melapor dan bercerita
Kekerasan seksual yang dialami anak-anak ini tidak selalu berujung pada pelaporan maupun penahanan terhadap pelaku. Banyak korban yang bungkam, menyimpan serta menutup rapat apa yang dialaminya.
Manajer Program Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, Dianawati menyampaikan, ada banyak faktor yang membuat seorang anak korban kekerasan seksual tidak berani melapor.
Pertama, pola asuh orangtua yang tidak terbiasa mengajarkan pendidikan seks sejak dini kepada anaknya. Hingga akhirnya anak merasa sungkan ketika akan membicarakan apa yang mereka alami. Sebab, mereka pun merasa takut nantinya akan dimarahi orangtuanya apabila menyampaikan bahwa mereka mengalami kekerasan seksual.
"Sudah takut dengan pelaku, tambah takut sama orangtua," ujar Dian.
Ketakutan korban untuk melapor pun disaksikan oleh Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Bali Woman Crisis Center (LBH Bali WCC), Ni Nengah Budawati.
Buda mengungkapkan, sebagian besar pelaku pemerkosaan, khususnya di pedesaan wilayah Provinsi Bali adalah orang terdekat dan sangat disegani oleh korban. Jarang anak-anak yang memiliki kemauan untuk mengungkapkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Apakah karena sengaja memilih menutupi atau tidak ada pemahaman bahwa kejadian yang dialaminya termasuk dalam kategori kekerasan.
“Karena merasa tingkat kenyamanan, ketakutan, rasa malu, dan rasa kasihan lebih banyak juga dari korban. Kalau kakek saya di penjara, sedih dia, ada rasa itu,” jelasnya.
4. Proses pelaporan di kepolisian berliku
Upaya pelaporan yang dilakukan korban ke kepolisian memang cukup rumit. Tidak serta merta datang ke kantor polisi lalu kasusnya akan ditangani dan membuat pelaku terjerat hukuman penjara.
Bahkan, tidak jarang peristiwa yang sudah dilaporkan ke polisi akhirnya diabaikan begitu saja dan kasusnya dihentikan.
Untuk membuat laporan, ada banyak lika-liku yang harus dilewati oleh korban.
Jika Mama mengetahui anak mama atau orang terdekat mama menjadi korban pelecehan seksual, upaya awal yang dapat dilakukan adalah datang ke lembaga layanan terdekat seperti P2TP2A yang ada di setiap kabupaten dan kota, atau melalui lembaga-lembaga pendampingan lainnya.
Tak hanya itu, dalam membuat laporan pun Mama harus menemani setiap pelaporan anak tersebut. Pasalnya, anak-anak belum cakap hukum. Tak lupa, pihak korban pun harus didampingi oleh pengacara. Sebab waktu yang diperlukan untuk proses hukum ini tidaklah sedikit, perlu persiapan fisik dan psikis yang baik.
Lika-liku pelaporan yang menguras tenaga dan pikiran
“Tidak semua korban atau keluarganya ingin kasus tersebut dilaporkan ke polisi,” kata Konselor Psikologi Women Crisis Center Rifka Annisa Yogyakarta, Amalia Rizkyarini.
Amalia menerangkan, ketika hasil visum et repertum menyatakan tidak ada bekas luka karena sudah sembuh atau karena tidak mengalami luka, tak semua polisi melanjutkan pada upaya lain, yaitu melakukan visum et psikologikum.
“Dan kayaknya nggak semua polisi paham soal visum et psikologikum itu. Apalagi di polsek-polsek,” kata Amalia.
Pernyataan Amalia itu diperkuat oleh Manajer Program LPA Jabar, Dianawati. Ia mengatakan, selama ini pihaknya terus berusaha menjalin komunikasi dengan kepolisian dan dinas terkait untuk penanganan kekerasan kepada anak. Sayang, selama pandemik pergerakan untuk menangani kasus ini, khususnya di ranah kepolisian, agak lambat. Sebab, bagian untuk menangani kekerasan anak dilebur dengan bagian lain.
"Dulu di polisi ada yang khusus menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak (PPA). Sekarang dicampur. Jadi kalau ada kejadian seperti pemerkosaan ini, bisa saja laporan diterima. Tapi kalau hari itu bukan piket PPA dan bidang lain yang menerima, baru diteruskan. Laporan jadi tidak cepat, agak panjang (Lama)," ungkap Dian.
Hal itu sangat disayangkan. Pasalnya, apabila penanganan di kepolisian lambat, bisa jadi terduga kekerasan seksual kabur dan sulit ditemukan. Seperti peristiwa yang pernah terjadi dan tidak cepat ditangani sehingga pelaku pelecehan sudah setahun ini tidak ditangkap karena telah kabur.
"Jadi keadilan ini belum kita dapat karena pelakunya belum tertangkap sampai sekarang," ujarnya.
Maka dari itu, Dian berharap ke depannya pihak kepolisian bisa mengembalikan bagian untuk menangani kekerasan pada perempuan dan anak seperti semula sebelum pandemik Covid-19 agar penanganan kasus seperti ini bisa kembali lebih cepat.
5. Perhatikan gejala fisik sang anak
Anak sulit mengungkapkan kalau mengalami pelecehan seksual, kemudian sulit pula untuk melaporkan pelaku ke polisi. Untuk itu, diharapkan tiap orangtua terus menjalin komunikasi yang baik pada anak. Supaya, jika sesuatu terjadi pada anak, mereka tak sungkan untuk cerita ke Mama.
Selain itu, teruslah perhatikan tubuh anak. Sebab, kekerasan seksual bisa dideteksi melalui fisik anak.
Menurut Ketua P2TP2A Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, dr Ida Bagus Putu Alit SpF, gejala umum yang sering dialami oleh korban kekerasan seksual di antaranya Internal thrombosed hemorroid (Bekuan darah pada wasir), Abominal and pelvic pain (Nyeri perut dan panggul), Vaginitis (Peradangan pada vagina), dan sembelit.
Jika melihat ada yang berbeda dari fisik anak. Apalagi sampai anak menunjukkan bahwa dirinya merasa sakit, maka segeralah periksakan anak ke dokter untuk mendapat pemeriksaan medis dan mendapat diagnosa lebih jelas.
Konselor Psikologi Women Crisis Center Rifka Annisa Yogyakarta, Amalia Rizkyarini, menegaskan, pemeriksaan medis terhadap korban berbeda dengan visum et repertum yang diminta kepolisian. Pemeriksaan medis bisa langsung dilakukan atas permintaan orangtua atau wali atau korban. Sedangkan visum harus disertakan surat dari kepolisian. Visum dilakukan setelah ada laporan ke polisi.
Rekam medis itu diperlukan untuk mengetahui jejak kekerasan seksual terhadap anak, meskipun luka fisik kelak sudah sembuh.
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan ada kekerasan seksual berupa robekan pada vagina, Mama bisa langsung memeriksakan anak ke dokter ahli kandungan.
Namun, kekerasan seksual tidak selalu berupa penetrasi. Bisa juga berupa fingering, mencium, atau meraba tanpa menunjukkan bekas fisiknya.
“Orang kan suka salah paham. Karena tidak ada bekas luka, dianggap tak ada kekerasan. Kekerasan kan tidak selalu meninggalkan luka,” kata Amalia.
Maka, langkah selanjutnya yang dapat Mama ambil yakni melakukan visum et psikologikum untuk melihat dampak psikologis terhadap korban. Pemeriksaan dilakukan oleh psikolog yang memberikan hasil visum berdasarkan hukum.
Jika dari hasil pemeriksaan medis dan visum et psikologikum menunjukkan bahwa anak mendapat kekerasan seksual, maka lanjut melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.
6. Pentingnya pendampingan yang tepat
Kembali menjalani hidup sebagai korban kekerasan seksual bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, korban membutuhkan pendampingan yang tepat.
Pendiri LBH Bali WCC, Ni Nengah Budawati, mengatakan para korban pemerkosaan harus di-support agar tidak memiliki rasa malu dan minder kepada teman-temannya.
“Semua kasus yang kami tangani itu telepon dulu, konseling dulu. Rahasia, rahasia, rahasia. Lama-lama baru terbuka dan baru ketemu. Karena malu. Sangat rendah pengetahuan hukumnya dan sangat tidak percaya ada perlindungan hukum untuk perempuan dan anak,” tekannya.
Hal itu membuat Buda menggandeng para bidang yang dinilai menjadi garda utama bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang memeriksakan diri.
Tak hanya itu, Buda juga mengkritisi berita di beberapa media yang masih banyak menjelaskan kronologi pelecehan. Menurutnya, pemberitaan seperti itu hanya akan menginspirasi orang lain hingga ada keinginan untuk berbuat.
Maka, Buda berharap kedepannya berita yang dibuat dari kasus kekerasan seksual yakni berisi kampanye anti kekerasan seksual.
"Bagaimana mengemas berita itu menjadikan orang takut berbuat,” terangnya.
Pun penulisan terkait nama korban yang memakai nama bunga, dirasa Buda tidak elok. Lebih baik memakai nama korban, namun dengan inisial.
“Kalau kemudian mengatakan tentang identitas korban, mbok ya sampai Kecamatan saja. Jangan bikin Bunga, Cempaka tuh gak usah. Inisial nama begitu. Gak usah bunga Cempaka itu. Menurut saya itu gak elok,” imbaunya.
Selain Itu, anak yang pernah mengalami kekerasan seksual akan terganggu kehidupan sosialnya. Korban menjadi pribadi yang tertutup, tidak percaya diri, stres, depresi, mudah cemas, susah tidur, selalu timbul perasaan bersalah, ketakutan pada hal-hal tertentu, dan bahkan bisa menjadi mengidap gangguan traumatik pasca kejadian (PTSD).
Menurut Psikolog UPTD PPA Provinsi Aceh, Endang Setianingsih, selain psikologi, korban juga akan mengisolasi diri dengan lingkungan sosialnya. Dalam dunia pendidikan, ia mengalami penurunan prestasi di sekolah. Dampak lainnya yang paling berbahaya, anak berpikir untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
"Anak kemungkinan besar akan menjadi lebih agresif dalam berperilaku sehingga ia bisa berpotensi melakukan hal-hal kriminal dan bahkan menjadi calon pelaku kekerasan," jelas Endang.
7. Ajarkan anak pendidikan seks dan dengarkan anak
Seperti yang sudah diketahui, berbicara bahwa dirinya pernah menjadi korban pelecehan adalah hal yang sulit untuk anak.
Maka dari itu, jangan lupa bekali anak pendidikan seks. Supaya, ia bisa lebih melindungi diri dari pelecehan seksual.
Hal itupun diungkapkan oleh Psikolog Women Crisis Center Rifka Annisa, Amalia Rizkyarini, saat dihubungi IDN Times, Jumat (29/10/2021). Ia mengatakan, sangat perlu untuk membekali anak dengan pendidikan seks dan reproduksi sejak dini.
Salah satu dasar pendidikan seks yang harus Mama ajarkan pada anak yakni tentang beberapa bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain. Misalnya, bibir, dada, payudara, kemaluan, dan dubur. Beri tahu anak bahwa bagian tubuh tersebut merupakan bagian privat sehingga tak boleh disentuh orang lain.
Apabila ada yang menyentuh, mintalah si Anak untuk lapor kepada Mama dan Papa.
Kalau pelaku adalah orangtuanya, Anak bisa memberitahu kepada nenek, om, tante, atau guru.
Kemudian, untuk anak-anak usia remaja, beri pemahaman tentang pendidikan seks dan reproduksi yang levelnya lebih tinggi.
“Karena remaja sudah bisa diajak berpikir ya untuk paham konsen,” kata Amalia.
Jika anak sudah diajarkan dan diberi imbauan tentang seks, ia pun jadi lebih melindungi diri serta tidak sungkan untuk melapor tentang hal-hal berbau sex yang menimpa dirinya.
Contohnya, saat tiba-tiba ada orang yang ingin menyentuh area terlarang seperti yang sudah diberi tahu oleh Mama, si Anak akan memukul orang lain untuk tidak menyentuhnya.
Ataupun, saat orang lain akhirnya menyentuh bagian-bagian tersebut, anak jadi tahu bahwa hal itu adalah salah. Jadi ia bisa bergegas melapor.
Semoga anak mama selalu terlindungi dari hal buruk, termasuk pelecehan seksual. Untuk melindungi anak dari pelecehan seksual, sebagai langkah awal, cobalah untuk saling menyayangi dan mengasihi sesama anggota keluarga. Semangat terus ya!
Baca juga:
- 7 Cara Mencegah Kekerasan pada Anak yang Bisa Orangtua Lakukan
- Dampak Kekerasan pada Anak, Orangtua Perlu Hati-Hati dalam Bersikap
- Tanda-Tanda Kekerasan Seksual pada Anak