10 Kisah Abu Nawas yang Sarat Tawa dan Hikmah
Kisah lucu Abu Nawas yang menghibur dan penuh pesan moral berharga
18 November 2024
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Abu Nawas atau Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami adalah nama besar dalam dunia sastra dan humor Arab. Dikenal sebagai penyair dan sufi yang cerdik, kisah-kisahnya selalu berhasil mengocok perut dan mengajarkan kita tentang kebijaksanaan hidup.
Dengan gaya humor yang segar, Abu Nawas sering memberikan solusi atas masalah sehari-hari dengan cara yang tak terduga. Kisah-kisahnya terus diceritakan hingga kini, menghibur sekaligus menginspirasi.
Di bawah ini, kamu akan menemukan 10 kisah Abu Nawas yang tak hanya membuatmu tertawa, tapi juga memberikan pesan moral yang mendalam seperti yang akan Popmama.com sajikan!
10 Kisah Abu Nawas yang Sarat Tawa dan Hikmah
1. Rumah sempit, domba, dan rasa syukur
Suatu hari, seorang pria mendatangi rumah Abu Nawas dengan wajah sedih.
“Abu Nawas, tolonglah aku,” katanya sambil meremas-remas tangannya. “Aku punya istri dan delapan anak. Rumah kami terlalu sempit untuk hidup nyaman. Tapi kami tidak bisa pindah karena tak punya uang. Apa yang harus aku lakukan?”
Abu Nawas berpikir sejenak, lalu tersenyum penuh arti. “Kamu punya domba?”
Pria itu mengerutkan dahi. “Domba? Tidak, aku tidak punya.”
“Kalau begitu, belilah seekor domba. Taruh domba itu di dalam rumahmu.”
Pria itu bingung, tapi karena ia percaya pada kecerdikan Abu Nawas, ia menuruti saran tersebut. Esoknya, ia datang lagi dengan wajah lebih kusut.
“Abu Nawas, rumahku semakin kacau! Domba itu berisik, baunya menyengat, dan anak-anak jadi tambah rewel!”
Abu Nawas tetap tenang. “Kalau begitu, belilah dua ekor domba lagi. Percayalah, ini akan menyelesaikan masalahmu.”
Dengan berat hati, pria itu membeli dua ekor domba lagi dan memasukkannya ke dalam rumah. Beberapa hari kemudian, ia kembali menghadap Abu Nawas.
“Ini gila! Rumahku seperti kandang sekarang. Aku tak tahan lagi!”
Abu Nawas tertawa kecil dan berkata, “Kalau begitu, jual semua dombamu.”
Pria itu menurut. Setelah menjual semua dombanya, ia datang lagi dengan wajah berseri-seri.
“Abu Nawas, rumahku terasa lapang sekali sekarang!”
Abu Nawas tersenyum bijak. “Itulah pelajaran tentang bersyukur. Kadang kita lupa menghargai apa yang kita miliki sampai kita merasa kehilangannya.”
2. Abu nawas dan lalat yang membalas raja
Hari itu, Abu Nawas murung. Rumahnya telah dihancurkan oleh prajurit atas perintah Raja Harun Al-Rasyid. Mereka berdalih bahwa di bawah rumah Abu Nawas terdapat harta karun, namun setelah menggali, tidak ada apa-apa.
“Raja bahkan tidak meminta maaf,” keluh Abu Nawas pada istrinya. “Aku harus membalas dendam, tapi bagaimana caranya?”
Saat sedang termenung, ia melihat lalat-lalat berkerumun di atas makanan yang sudah basi. Matanya berbinar. “Aku tahu apa yang harus kulakukan!”
Keesokan harinya, Abu Nawas membawa tongkat besi ke istana. Ia menemui Raja Harun dengan wajah penuh kesedihan.
“Wahai Baginda,” kata Abu Nawas sambil membungkuk, “aku datang untuk meminta keadilan.”
Raja mengangkat alis. “Keadilan apa yang kamu maksud?”
“Lalat-lalat telah berani memakan makananku tanpa izin. Aku mohon Baginda memberi izin tertulis agar aku bisa menghukum mereka di mana pun mereka hinggap.”
Raja, yang merasa ini lelucon, menyetujui permintaan Abu Nawas. Ia menandatangani surat izin itu sambil tertawa kecil.
Dengan tongkat di tangan, Abu Nawas mulai mengejar lalat di istana. Ia memukul kaca, vas bunga, hingga perabot mewah lainnya. Dalam sekejap, istana berantakan.
Raja hanya bisa melongo melihat kekacauan itu. “Apa yang kamu lakukan, Abu Nawas?”
Abu Nawas menatap raja dengan tenang. “Aku hanya menjalankan izin Baginda. Bukankah Baginda yang memperbolehkan aku menghukum lalat-lalat di mana pun mereka hinggap?”
Raja Harun akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ia menyadari kesalahannya telah bersikap sewenang-wenang terhadap Abu Nawas. Sejak itu, Raja menjadi lebih bijak dalam mengambil keputusan.
3. Merayu tuhan dengan doa
Abu Nawas dikenal sebagai sosok jenaka sekaligus bijaksana. Suatu hari, ia didatangi tiga orang tamu yang menanyakan hal yang sama: “Mana yang lebih baik, orang yang berdosa besar atau yang berdosa kecil?”
Kepada tamu pertama, Abu Nawas menjawab, “Orang yang berdosa kecil, karena dosanya lebih mudah diampuni.”
Tamu kedua mendapat jawaban berbeda. “Orang yang tidak berdosa sama sekali,” jawab Abu Nawas. “Karena ia tidak memerlukan pengampunan.”
Namun, kepada tamu ketiga, ia berkata, “Orang yang berdosa besar, karena pengampunan Tuhan sebanding dengan besar dosa yang dilakukan.”
Setelah ketiga tamunya pergi, murid Abu Nawas bertanya, “Guru, mengapa jawabannya berbeda-beda?”
Abu Nawas tersenyum. “Karena manusia itu berbeda-beda. Ada yang hanya melihat dengan mata, ada yang berpikir dengan otak, dan ada yang merasakan dengan hati. Aku memberikan jawaban sesuai dengan pemahaman mereka.”
Lalu, sang murid bertanya lagi, “Guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”
“Mungkin,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum. “Caranya dengan merayu-Nya melalui doa.”
Abu Nawas pun mengajarkan doa sederhana, namun penuh makna:
Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa alannaaril jahimi…
Doa ini menjadi pengingat bahwa manusia tidak pernah sempurna, tapi Tuhan selalu membuka pintu maaf bagi siapa saja yang memohon.
Editors' Pick
4. Abu Nawas yang menjual raja untuk dijadikan budak
Abu Nawas kecil dititipkan kepada seseorang bernama Attar untuk melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan anak kecil. Walau begitu, Attar memperlakukan Abu Nawas dengan baik, ia disekolahkan di sekolah A-Qur'an hingga menjadi seorang hafiz.
Suatu hari, dia berencana untuk menjual sang raja yang kala itu bernama Khalifah Harun ar-Rasyid. Akibat rencana tersebut lantas Abu Nawas menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid seraya berkata,
"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada paduka yang mulia,"
Mendengar hal itu, Khalifah tersebut menjawab dengan rasa penasaran,
"Apa itu wahai Abu Nawas?"
"Sesuatu yang hamba yakin tidak pernah terlintas di dalam benak paduka yang mulia,"
"Oke, kalau begitu cepatlah ajak saya ke sana untuk menyaksikannya,"
Abu Nawas memang terkenal sebagai sosok yang selalu membuat orang penasaran akan sesuatu. Karenanya, ia kembali berkata,
"Tapi baginda..."
"Tetapi apa?" Jawab Sang Raja yang sudah tidak sabar dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Abu Nawas.
"Oke, baginda. Jadi begini, baginda harus menyamar sebagai rakyat biasa, supaya orang-orang tidak banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu,"
Sang Raja yang sudah sangat penasaran lantas mengiyakan anjuran Abu Nawas. Ia bersedia menyamar sebagai seorang rakyat biasa dan keduanya pergi ke sebuah hutan.
Sesampainya di sana, Abu Nawas mengajak mendekat ke sebuah pohon yang rindang dan memohon kepada sang raja untuk menunggu di situ. Lalu, Abu Nawas menemui seorang Badui yang merupakan penjual budak, ia mengajaknya untuk melihat calon budak yang ingin dijual namun Abu Nawas mengaku tak tega menjual budak di depan matanya langsung, ia mengaku budak tersebut merupakan temannya.
Setelah dilihat dari kejauhan, Badui tersebut merasa cocok dengan orang yang ingin dijual Abu Nawas. Usai kesepakatan terjalin beserta kontrak, Abu Nawas mendapat beberapa keping uang mas.
Sang Raja yang tidak tahu menahu terus menunggu Abu Nawas. Sayangnya, beliau justru tak kunjung menampakkan dirinya, malahan terdapat seorang penujal budak yang menghampiri raja.
"Siapa engkau?" tanya raja.
"Aku adalah tuanmu sekarang," ujar Badui tersebut yang menghampiri sang raja tanpa mengetahui bahwa yang ada di depannya sekarang merupakan seorang raja.
"Apa maksud perkataanmu tadi?" jawab sang raja dengan wajah yang memerah.
Dengan enteng, penjual budak itu mengeluarkan surat kuasa seraya menjawab, "Abu Nawas telah menjualmu kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,"
"Apa? Abu Nawas menjual diriku kepadamu?"
"Ya!" jawab Sang Badui dengan nada membentak.
Merasa makin geram, Sang Raja lantas berkata, "Tahukah engkau siapa sebenarnya diriku ini?"
"Tidak. Itu tidak penting dan tidak perlu," ujar sang Badui singkat. Ia kemudian menyeret bahu budak barunya ke belakang rumah.
Sesampainya di sana, Badui tersebut memberikan parang kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dan memintanya untuk membelah serta memotong kayu. Melihat tumpukan kayu yang banyak, sang raja memandangnya dengan ngeri, apalagi ia harus membelahnya.
Sayangnya, Sang Raja tidak mampu membelah kayu tersebut dengan baik. Malahan, ia menggunakan bagian parang yang tumpul ke arah tumpukan kayu.
Sang Badui kemudian memarahi Khalifah Harun ar-Rasyid. Dengan begitu, si Raja membalik parangnya sehingga bagian yang tajam mengarah ke kayu dan berusaha membelahnnya.
Menurutnya, pekerjaan tersebut terasa aneh. Dalam hati ia bergumam, seperti inikah derita orang-orang miskin demi mencari sesuap nasi? Harus bekerja keras lebih dulu.
Badui tersebut kerap memandang Khalifah Harun ar-Rasyid dengan tatapan heran dan berujung marah. Dirinya merasa menyesal telah membeli seorang budak bodoh. Si raja lalu berkata,
"Hei Badui! Semua ini sudah cukup, aku tidak tahan,"
Mendengar hal itu, Sang Badui semakin marah. Ia lalu memukul raja seraya berkata,
"Kurang ajar kau budakku. Kau harus patuh kepadaku!"
Khalifah Harun ar-Rasyid yang tidak pernah disentuh oleh orang lain tiba-tiba menjerit keras akibat pukulan dengan kayu yang dilakukan oleh si Badui. Karena tidak kuat, ia lalu berkata sambil memperlihatkan tanda kerajaannya,
"Hai Badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun ar-Rasyid!"
Melihat hal itu, sang Badui langsung menjatuhkan diri sambil menyembah sang raja yang habis dipukulnya. Walau begitu, sang raja mengampuninya karena si Badui tidak tahu menahu mengenai dirinya yang merupakan seorang raja. Sementara itu, Khalifah Harun ar-Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas dan ingin segera menghukumnya.
5. Abu Nawas dan hakim yang tamak
Pada suatu hari datang seorang wanita tua dan gelandangan ke rumah Abu Nawas untuk mengadukan masalah mereka padanya. Mereka kemudian menceritakan peristiwa yang telah menimpa mereka.
Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas meminta mereka datang kembali nanti malam bersama teman-temannya dengan membawa cangkul, kayu, kapak, martil, dan batu.
Wanita tua dan pemuda gelandangan itu merasa heran dengan pesan Abu Nawas. Namun, mereka begitu percaya kepada Abu Nawas. Mereka yakin Abu Nawas dapat memecahkan persoalan yang mereka alami. Abu Nawas selalu membela orang yang lemah. Mereka percaya karena mereka berada di pihak yang benar.
Pada malam harinya, wanita tua dan pemuda gelandangan datang bersama teman-temannya. Jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang sambil membawa benda-benda yang diminta Abu Nawas. Mereka berkumpul di depan rumah Abu Nawas menunggu perintah selanjutnya.
Abu Nawas lalu menyuruh mereka untuk menghancurkan rumah Pak Hakim. Abu Nawas melarang mereka berhenti jika rumah itu belum benar-benar hancur. Semua orang keheranan mendengar perintah Abu Nawas. Namun, mereka tetap menuruti perintah itu.
Orang-orang itu segera pergi menuju rumah Pak Hakim. Mereka berteriak-teriak sambil menghancurkan rumah Pak Hakim. Penduduk yang tinggal di sekitar rumah Pak Hakim tampak kebingungan. Mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Penduduk pun berusaha mencegah perbuatan orang-orang itu. Namun, mereka tak mau berhenti melakukan pengrusakkan. Penduduk akhirnya hanya pasrah dan membiarkan mereka melakukan keinginannya.
Pak Hakim terkejut melihat banyak orang ingin merusak rumahnya. Pak Hakim segera keluar dari rumahnya dan menemui orang-orang itu. Pak Hakim sangat marah. Ia menanyakan siapa yang menyuruh merusak rumahnya. Mereka pun memberi tahu Pak Hakim bahwa mereka hanya disuruh oleh Abu Nawas.
Setelah menjawab pertanyaan Pak Hakim, mereka bukannya berhenti, malah terus menghancurkan rumah tersebut hingga roboh dan rata dengan tanah. Pak Hakim tak berdaya melawan para perusak rumahnya. Jumlah mereka terlalu banyak.
Hatinya sangat dongkol karena tidak ada orang yang membelanya. Ia pun bertekad akan melaporkan kejadian ini kepada Raja.
Keesokan harinya, Pak Hakim pergi ke istana untuk mengadukan kejadian semalam kepada sang Raja. Ia ingin Raja memutuskan perkara ini dengan bijaksana. Raja pun memerintahkan prajurit untuk memanggil Abu Nawas.
Prajurit kerajaan segera menangkap dan membawa Abu Nawas ke istana. Abu Nawas memang sudah tahu akan dipanggil oleh Raja. Ia sudah mempersiapkan diri jika ditanya oleh Sang Raja. Ia pun bersikap sangat tenang.
Raja menanyakan apakah Abu Nawas yang menyuruh orang-orang untuk merusak rumah Pak Hakim. Abu Nawas mengakui perbuatannya itu tanpa rasa takut sedikit pun. Raja bertanya mengapa ia melakukannya.
Abu Nawas lalu menjelaskan kepada Raja. Pada suatu malam, Abu Nawas bermimpi. Di dalam mimpi itu, Pak Hakim menyuruh Abu Nawas untuk menghancurkan rumahnya. Pak Hakim menginginkan rumah yang lebih besar dan lebih indah. Karena mimpi itulah maka Abu Nawas menghancurkan rumah Pak Hakim.
Raja merasa heran. Raja menanyakan apakah ada aturan yang memperbolehkan seseorang melaksanakan perintah dari dalam mimpi. Dengan tenang Abu Nawas menjawab bahwa ia menjalankan aturan yang dibuat oleh Pak Hakim sendiri.
Wajah Pak Hakim seketika menjadi pucat mendengar jawaban Abu Nawas. Ia teringat akan perbuatannya kepada seorang pemuda belum lama ini.
Raja menanyakan apakah benar Pak Hakim telah membuat aturan seperti itu. Pak Hakim tidak menjawab. Tubuhnya gemetaran karena rasa takut. Ia sadar telah melakukan kesalahan.
Raja pun bingung dengan sikap hakim tersebut. Raja meminta Abu Nawas untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Abu Nawas lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada suatu malam, seorang pemuda kaya bermimpi kawin dengan anak Pak Hakim. Di dalam mimpi ia membayar mas kawin agak banyak. Pak hakim mendengar kabar mimpi itu, ia segera mendatangi si Pemuda dan meminta mas kawin anaknya.
Tentu saja pemuda itu tak mau membayar mas kawin hanya karena mimpi. Namun, Pak Hakim merampas semua harta milik pemuda itu. Pemuda itu menjadi seorang gelandangan dan akhirnya ditolong oleh seorang wanita tua.
Raja sangat terkejut mendengar cerita Abu Nawas. Ia memerintahkan Abu Nawas untuk memanggil si Pemuda. Raja ingin membuktikan bahwa Abu Nawas tidak berbohong.
Abu Nawas memang sudah menyuruh pemuda itu menunggu di depan istana. Abu Nawas segera memanggil pemuda itu ke hadapan Raja. Raja meminta pemuda itu menceritakan kejadian yang dialaminya. Ternyata, cerita pemuda itu sama dengan cerita Abu Nawas.
Raja sangat murka. Ia telah salah mengangkat hakim yang tamak dan sewenang-wenang. Hakim itu dipecat dan seluruh hartanya diberikan kepada si Pemuda.
Pemuda itu sangat senang karena hartanya sudah kembali menjadi miliknya. Ia ingin membalas kebaikan Abu Nawas yang telah menolongnya. Ia akan memberikan sebagian hartanya sebagai hadiah. Namun, Abu Nawas menolak pemberian pemuda itu. Ia menolong dengan tanpa pamrih.
6. Menjual Matahari
Sejumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagian kasak-kusuk tak jelas, sebagian lagi berteriak-teriak menuntut Abu Nuwas ditangkap.
Mereka protes baliho raksasa milik Abu Nuwas yang dipasang di depan rumahnya, “Dijual Cepat, Matahari Baghdad; Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Onta”.
Penduduk yang kasak-kusuk di depan istana itu rata-rata panik jika Matahari Baghdad jadi dijual. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup berlama-lama di kolong langit Baghdad tanpa Matahari?
Jika pindah ke Zakhu, mereka khawatir daerah in tertinggal, infrastruktur di sana kurang canggih dibanding infrastruktur di Baghdad. Pindah ke Bakhtaran enak, tak jauh dari Baghdad, tapi bahasa penduduk di sana sulit dipelajari. Pokoknya pindah ke luar Baghdad adalah problem, bertahan di Baghdad tanpa Matahari juga bukan perkara gampang.
“Abu Nuwas, antum serius mau menjual Matahari?’’ tanya khalifah sambil mengamati massa yang terus membludak di depan istananya.
“Benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak.’’
“Maksud antum?” tanya Khalifah kaget.
“Begini baginda, apakah antum senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat jadi khalifah bagida tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?’’
“Abu Nuwas, coba ke inti masalah!”
“Jika baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Khorramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tak bisa dimakan!’’
Khalifah Harun Al-Rasyid terdiam.
‘’Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya korupsi agar mereka tak repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, baginda membiarkan partai Ba’ts yang sudah dilarang tumbuh lagi, wah pokoknya banyak baginda …’’
“Lalu apa hubungannya dengan menjual Matahari?’’
Dengan pelan-pelan Abu Nuwas kemudian menjelaskan bahwa apa yang dianggap Khalifah Harun sebagai prestasi nasional tapi justru dianggap pemborosan dan membebani negara adalah karena mereka terbiasa melihat semua prestasi yang ada di ruang gelap. Di ruang gelap, gadis cantik tak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi. Apalagi jika cara melihatnya sambil bergelantungan.
“Tapi, kalau pun mata mereka tak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku sekarang adalah ulama besar? Jika pun mereka tak suka aku, bukankah kepada mereka sekarang aku sodorkan ulama yang dulu mereka klaim mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?’’
“Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Baginda tidak capek berpikir rasional?”
Khalifah terdiam.
‘’Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, semuanya sama sekali tak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakan 'infrastruktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan.' itu cara berpikir rasional dan normal, paduka … ’’
Massa di luar istana makin membludak, tapi Khalifah kali ini diam saja. Dia memberi isyarat membenarkan Abu Nuwas.
“Jadi, boleh saya jual Matahari?”
Besok Baghdad gelap. Banyak rakyat bergelantungan. Aspal di jalan terlihat kelam.
7. Menanti raja
Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh, kawan-kawannya sudah lebih dulu berada di sana. Ternyata mereka sengaja menunggu Abu Nawas.
“Nah ini dia Abu Nawas datang” kata salah seorang dari mereka.
“Ada apa?” kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.
“Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap Raja Harun Al-Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum baginda raja bila engkau melakukannya” kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.
“Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali Allah SWT” kata Abu Nawas menentang.
“Selama ini belum pernah ada seorangpun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al-Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?” tanya kawan Abu Nawas.
“Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat, siapa saja yang melakukannya pasti akan dipancung” kata Abu Nawas memberitahu.
“Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?” tanya temannya yang lain.
“Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah SWT saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?” Abu Nawas balik bertanya.
“Seratus keping uang emas. Selain itu, baginda harus tertawa pada saat engkau pantati," tantang mereka.
Bukan Abu Nawas namanya jika tidak bisa menyelesaikan suatu masalah. Ia menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu dan kembali pulang ke rumahnya.
Kawan-kawan Abu Nawas merasa tidak yakin Abu Nawas sanggup untuk memantau baginda dan membuat baginda raja tertawa. Karena tantangan ini sangat berat, maka kali ini Abu Nawas pun harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.
Minggu depannya, Baginda Raja Harun Al-Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana, dan orang-orang dekat baginda diundang, termasuk juga Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka sudah tidak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.
Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda raja menginginkan acara itu akan digelar dengan meriah. Baginda tidak ingin mengecewakan para tamunya, terkhusus untuk raja-raja dari negeri sahabat yang datang.
Akhirnya hari yang dijanjikan telah tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun ternyata mereka keliru, Abu Nawas bukan tidak datang, tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk ditempat yang paling belakang.
Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Kemudian giliran Baginda Raja Harun Al-Rasyid menyampaikan pidatonya. Setelah menyampaikan pidato, baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian ditempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran baginda bertanya, “Mengapa engkau tidak duduk diatas karpet?”
“Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kasih atas perhatian baginda. Hamba sudah merasa bahagia duduk di sini," kata Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaiannmu kotor karena duduk di atas tanah,” baginda raja menyarankan.
“Ampun tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet," jawab Abu Nawas dengan santai.
Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk diatas lantai.
“Karpet yang mana yang engkau maksudkan itu wahai Abu Nawas?” tanya baginda masih bingung.
“Karpet hamba sendiri tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi,” ujar Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.
“Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa." kata baginda raja bertambah bingung.
“Baiklah baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas sambil beringsut-ringsut kedepan.
Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan dibagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-seolah memantati Baginda Raja Harun Al-Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel dipantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para tamu yang datang.
Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum. Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.
8. Tingkatan mata, tingkatan otak, tingkatan hati
Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit. Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu.
Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya, "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu. Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama."Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa' besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas.
Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas. Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya. "Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda, la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?" "Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu. "Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta murid Abu Nawas.
"Doa itu adalah llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi."
"Sedangkan arti doa itu adalah Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar." Jelas Abu Nawas.
Melihat kisah di atas bahwa Abu Nawas menunjukkan kecerdasannya, dan kerendahan hatinya kepada Allah Swt.
9. Jalan ke neraka
Suatu ketika Abu Nawas ditanya seseorang, "Kapan kamu mati?
"Maaf, barang kali Tuan bisa memberikan penjelasan sedikit terkait dengan pertanyaan Tuan tadi,' pinta Abu Nawas yang ternyata juga bisa menampilkan mimic serius.
"Begini, kalau kamu mati saya mau titip surat buat mendiang ayah saya yang telah mati beberapa tahun yang lalu," sambungnya.
"Terimakasih sebelumnya atas kepercayaan Tuan," jawab Abu Nawas, "Tapi maaf sekali, dengan sangat terpaksa keinginan Tuan tidak bisa kupenuhi.
"Kenapa?" Tanya Tuan kepada Abu Nawas.
Lalu Abu Nawas menjawab, "Sebab aku tak tahu jalan ke neraka Jahannam."
Mendadak wajah orang itu merah padam, dan sambil merunduk ia pun segera pergi.
Pertanyaan yang nyelekit dari Tuan kepada Abu Nawas, dijawab lebih nyelekit oleh Abu Nawas, itulah pintarnya Abu Nawas dalam kondisi yang seperti itu bisa membalasnya dengan cerdas dan penuh makna.
10. Abu Nawas dan ibu yang sebenarnya
Pada suatu hari, hakim pengadilan dibuat bingung oleh dua orang ibu yang merebutkan seorang bayi. Karena sama-sama mempunyai bukti yang kuat, hakim tidak tahu bagaimana caranya untuk menentukan siapa ibu kandung dari bayi itu.
Akhirnya, dia pergi menghadap Raja Harun Al Rasyid untuk meminta bantuan supaya kasus tersebut tidak berlarut-larut.
Raja kemudian turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, dia malah dibuat putus asa karenanya. Kedua wanita itu sama-sama keras kepala dan tetap menginginkan bayi itu.
Kemudian, Raja memanggil Abu Nawas ke istana. Setelah mengetahui duduk permasalahannya, dia mencari cara agar nasib bayi itu tidak terlunta-lunta dan bisa bersama lagi dengan ibu kandungnya.
Keesokan harinya, Abu Nawas pergi ke pengadilan dengan membawa serta seorang algojo. Abu menyuruh meletakkan bayi yang diperebutkan itu di atas sebuah meja.
"Apa yang akan kalau lakukan pada bayi itu?" tanya kedua ibu yang saling berebut itu bersamaan.
"Sebelum menjawab pertanyaan kalian, saya akan bertanya sekali lagi. Adakah di antara kalian berdua yang bersedia menyerahkan bayi itu kepada ibunya yang asli?" kata Abu Nawas.
"Tapi, bayi ini adalah anakku," jawab kedua ibu itu serentak.
"Baiklah kalau begitu. Karena kalian berdua sama-sama menginginkan bayi ini, dengan terpaksa saya akan membelah bayi ini menjadi dua," jawab Abu Nawas.
Mendengar jawaban tersebut, perempuan pertama sangat bahagia dan langsung menyetujui usulan tersebut. Sementara itu, perempuan yang kedua menangis histeris dan memohon agar Abu Nawas tidak melakukan hal tersebut.
"Tolong jangan belah bayi itu, serahkan saja dia pada wanita itu. Aku rela asalkan dia tetap hidup," isaknya.
Puaslah Abu Nawas ketika mendengar jawaban itu. Akhirnya, dia tahu siapa ibu dari bayi itu yang sebenarnya. Lalu, dia menyerahkan sang bayi pada perempuan kedua yang merupakan ibu kandungnya.
Setelah itu, Abu meminta agar pengadilan menghukum wanita yang pertama sesuai dengan kejahatannya.
Hal ini dikarenakan tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya dibunuh, apalagi di hadapannya sendiri. Akhirnya, masalah pun selesai dan si bayi akhirnya dapat bersatu kembali dengan ibu kandungnya.
Itulah dia 10 kisah Abu Nawas yang begitu jenaka serta mempunyai pesan moral yang dapat dijadikan inspirasi kehidupan.
Baca juga:
- Kisah Nuaiman Sahabat Nabi Muhammad SAW
- Kisah Wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang Ditebas saat Salat
- Kisah Nabi Muhammad Selamatkan Umat yang Ahli Maksiat Masuk Neraka