Sesuai konperensi pers yang digelar secara online oleh KPAI pada hari Senin (13/4/2020), Ketua KPAI, Dr. Susanto, MA mengatakan bahwa sedikitnya ada 213 laporan yang masuk ke KPAI terkait proses belajar dari rumah atau yang disebut dengan Pembelajaran Jarak jauh (PJJ).
Mulai Senin (16/3/2020) sampai Kamis, 9/4/2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus mendapatkan pengaduan dari para siswa di berbagai daerah di Indonesia terkait berbagai penugasan sekolah yang mereka harus kerjakan di rumah.
Setelah penerapan kebijakan belajar dari rumah berlangsung 3 minggu, KPAI sudah menerima pengaduan terkait PJJ sebanyak 213 kasus, di mana pengaduan didominasi oleh para siswa sendiri terkait berbagai penugasan guru yang dinilai berat dan menguras energi serta kuota internet.
Dari 213 pengaduan tentang PJJ tersebut, setelah dianalisis oleh tim pengaduan KPAI di bidang pendidikan. Kemudian diperoleh beberapa fakta terkait Pembelajaran Jarak Jauh di musim Covid-19 ini, antara lain seperti yang telah Popmama.com rangkum berikut ini:
1. Penugasan yang maha berat dan waktu pengerjaan yang pendek
Freepik/Senivpetro
Pengaduan terkait penugasan adalah pengaduan yang tertinggi, hampir 70% pengadu menyampaikan betapa beratnya penugasan-penugasan yang diberikan setiap harinya oleh para guru, dan waktu yang diberikan untuk mengerjakan juga sangat pendek.
Menurut rangkuman tertulis KPAI yang dibagikan Senin (12/4/2020), disebutkan bahawa KPAI menerima laporan oleh Siswa sebagai berikut:
Siswa SMA/SMK banyak yang ditugaskan menulis esai hampir di semua bidang studi.
Ada siswa SMP yang pada hari kedua PJJ sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya.
Ada siswa SD di Bekasi yang diminta mengarang lagu tentang corona. Dinyanyikan disertai musik dan dan harus di videokan.
2. Banyak tugas merangkum Bab dan menyalin soal di buku
Freepik/master1305
Tugas yang paling tidak disukai anak-anak adalah merangkum bab materi dan menyalin soal di buku cetak.
Ada guru di jenjang SMP dan SMA selalu yang memberikan tugas merangkum bab baru setiap jam pelajarannya tiba.
Ada siswa SD yang mendapat tugas menyalin 83 halaman buku cetak sebagai bentuk penugasan dari gurunya.
Selain itu, siswa SD kelas 4 ditugaskan untuk menuliskan bacaan salat, mulai dari bahas Indonesia, bahasa latin dan bahasa arab, padahal semuanya ada di buku cetak.
Banyak siswa yang mengaku dapat tugas menjawab soal, tetapi harus dituliskan soalnya padahal ada di buku cetak mereka.
Editors' Pick
3. Jam belajar kaku, seperti jam sekolah normal
Freepik/suksao
Proses pembelajaran di sekolah seharusnya tidak disamakan dengan jam belajar di sekolah, tidak kaku menerapkan jam pertama sampai jam trerakhir, padahal mayoritas ganti jam, ganti mata pelajaran, berarti dapat tambahan tugas baru yang tak kalah berat, padahal tugas sebelumnya belum selesai dikerjakan para siswa.
4. Tidak memiliki kuota dalam pembelajaran daring
Freepik
Sebagian anak mengeluhkan soal tidak memiliki kuota terutama untuk pengadu yang kepala keluarganya merupakan pekerja upah harian. Ini jelas menjadi kendala.
Pembelajaran daring ternyata juga dikeluhkan oleh anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Ada supir ojek online (ojol) yang memiliki 3 anak (2 di jenjang SD dan 1 di jenjang SMA) kewalahan dalam membeli kuota internet, padahal penghasilan sebagai ojol menurun drastis.
Seorang guru di Jogjakarta juga menceritakan bahwa pembelajaran daring dengan para siswa hanya bisa dilakukan pada minggu pertama belajar di rumah, setelah itu sudah tidak bisa lagi karena orangtua peserta didiknya tidak sanggup lagi memberli kuota internet.
5. Tidak memiliki laptop atau komputer PC
Popmama.com/Fx Dimas
This article supported by vivo as Official Journalist Smartphone Partner IDN Media
Keterbatasan siswa yang tidak memiliki laptop atau komputer PC juga menjadi kendala yang banyak dilaporkan selama Pembelajaran Jarak Jauh.
Keterbatasan ini membuat anak kesulitan mengikuti ujian daring yang akan dilaksanakan akhir April-Mei 2020 oleh sebagian siswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa memang tidak semua anak memiliki fasilitas elektronik tersebut. Ini jelas ada kesenjangan karena kondisi setiap keluarga berbeda-beda.
Ada anak supir ojol yang mengaku gantian menggunakan handphone dengan ayahnya.
Kalau siang dipakai bekerja, jadi malamnya baru bisa digunakan si anak untuk mengerjakan tugas dari gurunya. Masalah sinyal juga menjadi kendala di beberapa daerah yang berbukit-bukit, akibatnya ada siswa yang setiap hari harus berjalan 10 KM untuk mendapatkan signal dan wifi, demikian disampaikan oleh KPAI.
6. Masih adanya aktivitas siswa dan guru di sekolah, padahal seharusnya belajar dari rumah
Freepik
Pada awal penerapan kebijakan belajar dari rumah, KPAI menerima 3 pengaduan (DKI Jakarta, kota Bekasi dan Palangkaraya) yang menyatakan bahwa sekolah anaknya belum libur, padahal pemerintah daerahnya memutuskan meliburkan sekolah.
Ketiganya sekolah swasta di jenjang SD, dan pada minggu kedua KPAI menerima pengaduan ada SD swasta di kabupaten Bogor meliburkan sekolah tetapi tetap melayani les/privat di sekolah.
7. Penolakan membayar biaya SPP bulanan secara penuh karena siswa belajar dari rumah bersama orangtua
Popmama.com/Fajar Perdana
Menjelang minggu ke-4 kebijakan belajar dari rumah, ada beberapa pengaduan siswa sekolah swasta yang menyatakan keberatan membayar uang iuran sekolah/SPP secara penuh karena tidak ada aktivitas pembelajaran di sekolah dan banyak orangtua mengalami masalah ekonomi pasca perpanjangan masa belajar dan bekerja dari rumah.
Bahkan, orangtuanya yang pengusaha pun turur terpukul secara ekonomi sehingga memiliki masalah finansial.
Itulah pengaduan di bidang pendidikan yang paling banyak dikeluhkan anak sekolah selama pandemi virus corona berlangsung dan anak diwajibkan belajar dari rumah.