Setiap orangtua tentu ingin melindungi dan melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, sehingga mencoba untuk selalu mengawasi anak setiap waktu. Namun, sikap mengawasi ini bisa berkembang jadi berlebihan jika tidak dikontrol dengan benar.
Misalnya, Mama tidak tahan jika membayangkan anak membuat kesalahan pada PR-nya, atau takut anak tidak membuat keputusan yang baik jika Mama tidak mengawasinya dan turun tangan secara langsung.
Meskipun tidak sehat menjadi orangtua yang membebaskan anak pada segala hal, menjadi orangtua yang sangat mengontrol juga memiliki dampak negatif. Jika Mama merasa terlalu mengatur aktivitas anak, ada beberapa konsekuensi yang dapat terjadi.
Simak bahaya dari terlalu mengontrol anak yang telah Popmama.com rangkum di bawah ini berdasarkan informasi dari Very Well Family.
1. Dapat melelahkan fisik dan emosional anak
Freepik/peoplecreations
Orangtua yang bersikeras untuk memiliki tingkat kontrol yang tinggi di atas anak mereka, seringkali melibatkan anak dalam banyak kegiatan terstruktur, dari pelajaran biola hingga latihan sepak bola. Mereka percaya bahwa dengan melakukan hal tersebut maka anak akan mendapatkan keunggulan kompetitif.
Sebuah studi 2011 yang diterbitkan dalam Journal of Child and Family Studies menemukan bahwa mendaftarkan anak dalam banyak kegiatan ekstrakurikuler tidak membuatnya merasa lebih bahagia, lebih sehat, atau lebih sukses.
Terburu-buru mendaftarkan anak dari satu aktivitas ke aktivitas berikutnya tentu dapat melelahkan anak, dan tak menutup kemungkinan dapat menguras keuangan keluarga.
2. Anak tidak akan belajar dari konsekuensi alami
Freepik/gpointstudio
Orangtua yang terlalu protektif menghindarkan anak dari semua konsekuensi alami. Akibatnya, anak tidak memiliki kesempatan untuk bangkit kembali dari kegagalan atau belajar bagaimana bangkit dari kesalahan.
Misalnya jika Mama selalu turun tangan untuk mencegah pertengkaran di antara anak-anak, maka mereka tidak akan belajar bagaimana menyelesaikan masalah sendiri.
Penting bagi orangtua untuk membiarkan anak menghadapi konsekuensi alami ketika itu dirasa aman untuk dilalui dan ada pelajaran yang bisa anak ambil.
Mengajarkan konsekuensi alami berarti Mama harus mentolerir melihat anak melakukan kesalahan atau melakukan hal-hal yang tidak akan Mama lakukan untuknya. Melepaskan kendali bisa jadi sulit jika Mama tidak terbiasa melepaskannya, sehingga latihan adalah cara yang tepat.
Editors' Pick
3. Menghilangkan kreativitas anak
Pexels/Monstera
Orang-orang yang ingin semuanya terkendali mengirim pesan, "Hanya ada satu cara yang benar untuk melakukan ini, dan itu cara saya."
Menurut sebuah penelitian tahun 2012 dalam Journal of Psychologists and Counsellors in Schools, meskipun ada banyak cara untuk menyelesaikan satu masalah, jika orangtua suka mengontrol anak, maka ini akan mengurangi atau menghilangkan segala jenis kreativitas yang seharusnya anak miliki.
Ketika ingin mengontrol anak dalam membuat keputusan, ingatlah bahwa anak mungkin memiliki cara yang berbeda untuk memecahkan masalah, dan itu belum tentu salah.
Hampir setiap masalah memiliki banyak solusi. Sehingga bersedialah untuk membiarkan anak mengeksplorasi, belajar, dan melakukan upaya berulang kali untuk memecahkan masalah sebelum Mama turun tangan dan memberi tahunya "bagaimana melakukannya dengan benar."
4. Meningkatkan risiko kecemasan anak
Freepik/bearfotos
Kebanyakan orangtua yang menjadi super protektif pada anak, bisa cemas ketika mereka merasa seolah-olah tidak memegang kendali.
Mereka berpikir, "Jika saya tidak mengendalikan semuanya, sesuatu yang buruk akan terjadi." Namun, baik disadari atau tidak, anak mama bisa sensitif dan peka, sehingga ia mampu menangkap kecemasan Mama dengan cepat, bahkan jika kecemasan itu tidak pernah diucapkan dengan keras.
Orangtua yang gugup cenderung memiliki anak yang gugup. Sebuah penelitian di tahun 2016 dalam jurnal Child Psychiatry & Human Development mengatkan bahwa kecemasan orangtua dapat menghalangi pengasuhan yang sehat.
Alih-alih terus-menerus memikirkan semua hal buruk yang bisa terjadi, berusahalah untuk memberi anak kebebasan untuk menjadi seorang anak dan belajar mengambil konsekuensi darinya.
5. Anak menjadi takut ketika membuat kesalahan
Free
Sebuah penelitian dalan jurnal Psychological Science di tahun 2016 mengatakan, jika orangtua terus-menerus memantau setiap gerakan anak, maka kemungkinan anak akan takut membuat kesalahan. Dan seperti yang kita ketahui, kesalahan bisa menjadi alat pengajaran yang hebat.
Kesalahan dapat membantu anak belajar bagaimana menghadapi kegagalan. Namun jika orangtua tidak membiarkan anak punya kontrol yang cukup, ketika anak melakukan kesalahan, ia mungkin akan berpikir bahwa kesalahan itu buruk dan mungkin mencoba untuk menutupi kesalahan yang ia buat.
Sebaliknya, ajari anak bahwa kesalahan itu wajar dan tidak apa-apa. Selain itu, bicarakan tentang pentingnya bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuat dan tunjukkan kepada anak bahwa setiap orang terkadang membuat kesalahan.
6. Meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental
Pixabay/rubberduck1951
Menurut sebuah penelitian di tahun 2016 dalam Journal of Child and Family Studies, anak-anak yang memiliki orangtua yang terlalu mengontrol berada pada risiko yang lebih tinggi untuk gangguan kesehatan mental tertentu.
Depresi dan kecemasan dapat terjadi ketika orangtua menuntut kepatuhan, dan anak-anak tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri.
Selain itu, sebuah studi di tahun 2013 yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology juga menemukan bahwa anak-anak dengan orangtua yang aktif mengontrol, tidak memiliki keterampilan koping yang efektif. Mereka bahkan berjuang untuk mengatasi kecemasan dan stres hingga dewasa
Itulah beberapa dampak bahaya jika anak memiliki orangtua yang terlalu mengontrol. Jika Mama merasa terus mencoba mengendalikan segalanya, tanyakan pada diri sendiri apa yang lebih penting, kesalahan yang anak buat, atau kesehatan mentalnya secara keseluruhan?
Memberikan anak kebebasan untuk memilih bisa berdampak baik, tak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Mama. Yuk mulai ambil langkah-langkah untuk membesarkan anak yang kuat secara mental, yang juga siap menghadapi tantangan hidup mandiri.