Begini Caranya Memberikan Dukungan pada Anak Berkebutuhan Khusus
Mari memberikan dukungan agar mereka tidak putus asa
27 Agustus 2019
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Penyintas autisme di Indonesia diprediksi sebanyak 2,4 juta orang, dengan pertambahan 500 orang pertahunnya. Angka ini termasuk cukup besar, namun sayangnya tidak diimbangi dengan informasi lengkap mengenai autisme bagi banyak pihak.
Informasi mengenai autisme yang dan menyeluruh akan membantu orangtua, pengajar, terapis, dan pada masyarakat umum untuk lebih memahami dan mendukung anak dengan autisme dan kebutuhan lain (ADHD/ADD dan Kesulitan Belajar) untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan menjadi lebih mandiri.
Hal ini yang mendorong Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) bekerja sama dengan Zally Zarras Learning Center (ZZLC) mengadakan Special Kids Expo (SPEKIX) 2019 dengan tema #BeautyinAbility untuk memberikan informasi mengenai autisme dan bagaimana penanganannya secara lengkap dan menyeluruh.
SPEKIX 2019 diisi penampilan musik dari anak dengan kebutuhan khusus, seminar, workshop, konsultasi, kuliner, dan juga bazaar. Seminar ini, menghadirkan narasumber Ibu Gayatri Pamoedji sebagai Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (Yayasan MPATI), Dian Sastrowardoyo, dan juga Laura I. Sutowo yang merupakan founder dari Zally Zarras Learning Center (ZZLC).
"Kunci utama dari suksesnya penganganan generasi muda dengan berkebutuhan khusus terletak pada informasi yang akurat, sarana pendidikan, dan pelatihan tepat. Serta dukungan dari berbagai pihak, terutama orang tua agar tidak putus asa," ujar Gayatri.
Simak hasil liputan Popmama.com, yuk!
1. Autisme berbeda dengan ADD atau ADHD
Autisme itu keterlambatan dan gangguan perkembangan. Autis spektrum memiliki beberapa tingkatan tidak parah hingga parah. Tidak semua penyintas autis tidak dapat berkomunikasi, karena tetap bisa berbicara namun memiliki 1 topik saja yang diulang.
Sementara ADD, adalah Attention Deficit Disorder yaitu gangguan yang menyebabkan berbagai masalah perilaku seperti kesulitan dalam memberikan perhatian dalam jangka panjang. Biasanya anak-anak dengan ADD ini, di sekolah memiliki perhatian yang pendek pada jam belajarnya, namun memiliki perhatian yang panjang pada permainan dan juga gadget.
"Cara untuk mengukur atensi anak panjang atau pendek, kalau kita minta ia mengerjakan pekerjaan yang anak lain tidak mengalami kesulitan. Jadi pekerjaan biasa seperti menulis dan membaca, kalau ia tidak tertarik, perhatian mereka akan cenderung hilang," menurut Gayatri.
Jika ditambah dengan hyperactive menjadi ADHD. Anak dengan ADHD, memiliki perhatian yang pendek dan juga banyak bergerak. Tingkatan terakhir yang cukup parah adalah Autisme, hal ini karena Autisme Sang Anak sudah memiliki dunianya sendiri dan tindakan-tindakan ganjil.
Tindakan ganjil ini menjadi jalan keluar karena anak tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Biasanya anak-anak autisme yang sudah bisa berkomunikasi, akan mengurangi kebiasaan-kebiasaan berperilaku ganjil ini
Editors' Pick
2. Autisme tidak dapat menular
Autism bukannya sebuah penyakit, faktor penyebab dari autisme bisa berasal dari genetik dan juga dari faktor lingkungan. Faktor genetik berarti jika ada salah satu anggota keluarganya pernah ada yang didiagnosa autisme, maka kemungkinan besar anggota keluarga selanjutnya bisa terkena autisme.
Namun, Gayatri kemudian menegaskan bahwa autisme ini tidak menular. Ia menyayangkan beberapa orangtua di sekolah, cenderung tidak mau menyatukan anaknya dengan anak-anak penyandang autisme karena disangka akan menular.
Gayatri juga menambahkan, sebagian anak-anak dengan autisme memiliki intelegensi dibawah rata-rata, tetapi juga ada yang diatas rata-rata. Sehingga menghakimi anak autisme dengan sebutan keterbelakangan merupakan hal yang salah besar.
Kesembuhan anak autisme bisa berdasarkan banyak faktor, namun orangtua, pengajar, dan terapis dapat membantu anak dapat lebih mandiri dalam menjalani kehidupannya kedepan.
3. Penanganan orang tua dan terapi bagi anak penyintas autisme
Autisme dengan penanganan yang kurang tepat, akan terlihat dari komunikasinya yang juga terlambat dan cenderung memiliki dunianya sendiri. Anak ini juga memiliki perilaku-perilaku ganjil yang dimana jika mereka frustasi akan melakukan kegiatan yang berulang seperti mengepakan kedua tangan, memutar ruangan, atau pergi ke sudut ruangan dan berdiam diri.
Ciri-ciri tersebut diakibatkan oleh diberikan stimulasi yang berlebihan atau stimulasi yang kurang. Agar dapat menghindari stimulasi yang kurang tepat, orangtua dapat memberikan 3 terapi pada anak sejak dini dengan melalukan pelatihan terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi selama 30 hingga 40 jam perminggu.
Terapi perilaku mengajarkan anak untuk mengenali namanya sendiri, dapat menatap wajah, patuh pada instruksi, dan dapat duduk untuk memberikan perhatian. Hal ini dapat berguna ketika anak sudah mulai mengikuti kegiatan sekolah.
Selain perilaku, juga membutuhkan terapi wicara yang bertujuan untuk mengajari anak dapat mengatakan apa yang perlu untuk dikatakan, terapi ini dapat dimulai dari mengajari 10 benda yang paling sering mereka pakai. Lalu ada terapi okupasi yang mengajarkan anak supaya koordinasi motorik halus yaitu jemari dan motori kasar seperti kaki itu bisa dilakukan oleh orangtua dirumah.
"Ahli di Indonesia cukup terbatas sehingga selalu kebanjiran pasien. Dalam hal ini, orangtua harus belajar, 80 persen anak-anak berkebutuhan khusus yang sukses berasal oleh orangtuanya. Orangtua dapat rajin mengikuti seminar dan bertemu ahli yang sudah berkecimpung lama di dunia autisme," ujar Gayatri.
4. Anak dengan autisme perlu dukungan masyarakat
Acara SPEKIX 2019 ini juga menyadarkan masyarakat tentang adanya anak-anak dengan autisme dalam lingkungannya dan mengingatkan untuk tidak menganggap autisme itu sesuatu yang rendah hanya karena tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Dukungan masyarakat dapat dilakukan dengan hal-hal seperti ketika orangtua dan anak dengan autisme berjalan-jalan di pusat keramaian, pihak keamanan harus mengetahui jika anak sedang tantrum atau ledakan emosi. Dengan memberitahukan keamanan, dapat membantu mengamankan situasi agar tidak terlalu banyak kerumunan.
Gayatri juga mengingatkan kepada masyarakat, agar tidak melihat anak yang sedang tantrum lebih dari 5 detik atau yang disebut dengan Five Second Rule. Karena dengan melihat terlalu lama, cenderung tidak menolong anak, membuat orangtua merasa terpojok, dan membuat anak menjadi sedih dan takut.
"Ketika saya bicara dengan anak-anak autis yang sudah bisa bicara, mereka bilang kalau mereka merasa kalau orang-orang memperhatikannya seakan-akan mereka manusia dari planet," Menurut Gayatri.
Ia menambahkan bahwa anak-anak dengan autisme perlu 3 kali porsi yang lebih besar kasih sayang di rumah karena mereka tidak merasa aman ketika berada di luar rumah.
5. Kelebihan anak autisme dan cara orangtua menggali kemampuannya
Anak berkebutuhan khusus memiliki 4 kategori kelebihan, seperti musikal, visual, data, dan kelebihan pada bidang matematika. Kadang, kelebihan di bidang matematika ini dapat digabung dengan kelebihan musikal. Karena musik itu memiliki hitungan seperti matematika.
"Tuhan kan adil, kalau kurang disatu hal, dilebihkan di hal yang lain. Kalau mereka punya bakat, tapi tidak dikasih wadah, tidak akan kelihatan bakatnya. Makanya dibentuk expo ini dan gratis, agar masyarakat bisa mempelajari tentang autisme," ujar Gayatri.
Cara orangtua melihat kemampuan anak, dengan memberikan kesempatan pada bidang yang mereka sukai. Salah satu caranya dengan membuat SWOT Analysis, SWOT terdiri dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (kesempatan), dan Threats (ancaman).
Dengan mengetahui kekuatan anak dan kelemahan anak orangtua dapat memilihkan bakat yang sesuai. Terkadang orangtua cenderung fokus pada kekurangan Sang Anak sehingga tidak memikirkan kelebihannya dan tidak dikembangkan, sedangkan bakat menjadi modal anak untuk mandiri.
"Tidak perlu anak-anak ini lulus sekolah, yang penting anak-anak ini dapat bekerja," menurut Gayatri.
Yuk mari mulai untuk memberikan dukungan kepada anak-anak dengan autisme atau kebutuhan lain dengan tidak menggunakan kata autis sebagai ejekan serta mendukung dan menghormati keunikan mereka.